ANKARA (Arrahmah.com) – Turki menolak beberapa keluarga pengungsi dari Suriah karena tidak memiliki paspor setelah masuknya pengungsi ke Turki yang disebabkan oleh bom barel rezim Assad yang secara intensif menghantam kota Aleppo yang penuh dengan kamp-kamp pengungsi, Yayasan Bantuan Kemanusiaan Turki (IHH) mengatakan pada hari Rabu, sebagaimana dirilis oleh WordBulletin, Rabu (5/2/2014).
“Sayangnya, kapasitas kamp-kamp di Kilis sudah penuh tapi ada beberapa tempat yang kosong di kamp kami yang lain, yaitu kamp-kamp pengungsi dekat perbatasan Turki,” petugas pers untuk badan bencana Turki AFAD mengatakan.
Ankara tetap berupaya untuk membuka perbatasan dan pengungsi akan diterima, berikut kontrol keamanan yang diperlukan, kata pertugas pers tersebut.
Sebuah kamp di dalam wilayah Suriah dekat perbatasan Bab al-Salam Suriah, sekitar 50 km (30 mil) utara Aleppo, juga penuh. Jumlah pengungsi di sana meningkat dari 14.000 menjadi 25.000 pada minggu lalu, kata kantor media IHH Kilis.
“Orang-orang Suriah yang tidak bisa masuk ke Turki berlindung di Suriah, hanya memakai selimut,” kata kantor media IHH Kilis. “Suhu di malam hari di daerah tersebut jatuh di bawah titik beku.”
Polisi Turki di pos perbatasan Oncupinar, seberang dari Bab al-Salam, mengatakan bahwa pembatasan diterapkan untuk mereka yang tidak memiliki paspor, tapi penyeberangan itu tetap dibuka, dengan tidak ada kerumunan besar di pintu gerbang.
Penggunaan bom barel – drum minyak atau silinder yang diisi dengan bahan peledak dan fragmen logam yang dilemparkan dari helikopter – telah di dikutuk oleh delegasi oposisi Suriah pada pembicaraan damai bulan lalu di Swiss.
“Rezim telah menjadi bahkan lebih agresif,” kata Yakzan Shishakly, co-founder yayasan amal untuk pengungsi yang berbasis di AS.
“Ini sulit untuk dibayangkan sebelumnya”.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia juga mengatakan bahwa selama 18 hari terakhir pihak berwenang Turki telah mencegah lebih dari 2.000 pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak, yang ingin menyeberang ke Turki setelah melarikan diri dari kota Raqqa. Sebagian besar dari mereka hidup di tempat terbuka, dekat dengan kawat berduri di perbatasan Tel Abyad. (Ameera/Arrahmah.com)