oleh: Artawijaya
Seandainya Arab Spring tidak bergejolak di sebagian negara Arab, mungkin ‘Dinasti Al-Asad’ yang sudah puluhan tahun berkuasa dan membangun jejaring kekuasaannya di berbagai lini, tak akan menjadi sorotan dunia.
(Arrahmah.com) – Hafizh Al-Asad, seorang mantan militer yang berasal dari minoritas Alawiyah-Nushairiyah di negaranya, dengan kemampuannya membangun ‘tembok tebal kekuasaan’, mampu bertahan selama kurang lebih 29 tahun, dari tahun 1971-2000. Hafizh Al-Asad masuk dalam deretan pemimpin yang bercokol lama menduduki tampuk kekuasaan, seperti Soeharto, Saddam Hussein, Muammar Qadhafi, Ben Ali, Husni Mubarak, dan lain-lain. Kekuasaannya kemudian beralih pada sang anak, Bashar Al-Asad yang saat ini sudah berkuasa kurang lebih 13 tahun.
Nama lengkapnya Hafizh bin Ali bin Sulaiman Al-Asad. Ia berasal dari keluarga Alawiyyin yang miskin, dari suku Kalbiya yang dikenal menjalin hubungan yang erat dengan Perancis. Pada tahun 1936, sang ayah yang bernama Ali Sulaiman bersama kakeknya Sulaiman Al-Asad, termasuk diantara 80 orang Alawiyyin yang menulis surat dukungan kepada pemerintah Perancis untuk tetap menancapkan kekuasaannya di Suriah. “Alawiyyin menolak bergabung dengan Suriah, dan lebih memilih tinggal bersama mandat pemerintah Perancis,” demikian diantara pernyataan yang dibuat oleh Alawiyyin pada saat itu.
Hafizh Al-Asad adalah anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Ia lahir pada 6 Oktober 1930, di Qardaha, sebuah desa kecil di Suriah yang banyak dihuni oleh penganut Syiah Nushairiyah. Hafizh kecil meninggalkan kampung halamannya yang masuk dalam wilayah Jabal Al-Alawiyah (Alawite Mountain), Suriah Timur Laut, untuk kemudian menempuh pendidikan di Lattakia. Di desa Lattakia (Ladzkiyah), Hafizh Al-Asad menghabiskan masa remajanya, bersekolah dan menghadiri berbagai grup diskusi yang saat itu banyak dilakukan oleh para aktivis komunis, sosialis, Arab, fundamentalis, dan sekularis.
Pada saat itu, di Suriah terdapat tiga partai yang cukup berpengaruh, yaitu Partai Komunis Suriah, Partai Nasionalis Suriah, dan Partai Arab Sosialis Ba’ats (Hizb Al-Ba’ats Al-Arabi Al-Isytiraki). Ketiga partai ini pada intinya menjajakan sekularisme. Khusus untuk Partai Ba’ats, mereka menyebut program mereka adalah mengusung Pan Arab, kebebasan, dan sosialisme (wahdah al-Arab, hurriyah, isytirakiyah). Hafizh Al-Asad memilih bergabung dengan Partai Ba’ats dan menjadi aktifisnya sejak tahun 1946, masa-masa awal dimana pemerintahan Suriah mendeklarasikan kemerdekaannya secara utuh dari Perancis.
Selain pernah aktif sebagai anggota Partai Ba’ats, Hafizh Al-Asad juga pernah menempuh studi di Akademi Militer Angkatan Udara di Aleppo pada kurun waktu 1952-1955. Ia juga pernah dikirim untuk studi menerbangkan pesawat terbang di Uni Soviet pada tahun 1958, negara yang dikemudian hari menjalin hubungan yang erat dengan kekuasaannya. Saat Partai Ba’ats mulia bergerak untuk mengambil alih kekuasaan, Hafizh Al-Asad pada saat itu adalah komandan angkatan udara.
Pada tahun 1961, Hafizh Al-Asad dikeluarkan dari dinas kemiliteran Angkatan Udara, kemudian menjadi rakyat sipil biasa. Ia kemudian melakukan move politik dengan mengikuti Gerakan Koreksionis (Harakah At-Tashih), bersama beberapa orang seperti Muhammad Imran dan Shalah Al-Jadid pada 21 November 1970 untuk meruntuhkan kekuasaan Amin Al-Hafizh. Meskipun di belakang hari, mereka pecah kongsi dan terlibat dalam perseteruan politik.
Jika diurut dalam periodeisasi, maka pergolakan yang terjadi di Suriah yang kemudian menaikkan peran para Alawi-Nushairiy terjadi pada 1963, 1966, 1970, 1971. Pada masa-masa itu, intrik-intrik politik berlangsung secara sengit. Tahun 1963 disebut-sebut sebagai pergolakan yang digerakkan oleh Partai Ba’ats dan penganut Syiah Nushairiyah, yang kemudian menjadikan kelompok ini mulai diperhitungkan di kancah politik Suriah.
Pada 12 Maret 1971, melalui referendum politik, Hafizh Al-Asad berhasil naik ke tampuk kekuasaannya sebagai Presiden Republik Arab Suriah, setelah sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada 1966 dan selama satu tahun menjabat sebagai Perdana Menteri pada 1970. Pada masa-masa itu pula, Hafizh Al-Asad menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Ba’ats untuk kawasan regional Arab, sampai meninggalnya. Meski penganut Syiah Nushairiyah, ideologi politik Hafizh Al-Asad adalah sosialis-nasionalis-sekular.
Partai Ba’ath Sosialis Arab (Hizb Al-Ba’ats Al-‘Arabi Al-Isytiraki) didirikan pada 8 Maret 1943 di Damaskus. Tiga tokoh sosialis berada di balik berdirinya partai tersebut; Michael Aflak, Shalahuddin Al-Baithar, dan Zaki Arsuji. Dari ketiganya, Michael Aflak adalah sosok yang lebih memainkan peran dan mencolok. Ia tak hanya menjajakan paham sosialis di Suriah, tapi juga memiliki pengaruh di Irak. Karenanya, Partai Ba’ats di Irak, dengan salah satu tokohnya, Saddam Hussein, mampu bertahan cukup lama di pemerintahan.
Michael Aflak dilahirkan di Damaskus, pada tahun 1910. Ia berasal dari keluarga kelas menengah penganut Kristen Ortodok. Sebelum mendirikan Partai Ba’ats (Renaissance Party), Aflak adalah aktifis komunis dan pernah bergabung dalam Syirian-Lebanese Communist Party (Partai Komunis Suriah-Libanon). Ia keluar dari partai ini disebabkan kebijakan partainya yang mendukung kolonialisme Perancis.
Michael Aflak adalah seorang pemikir sosialis-sekular jebolan Universitas Sorbonne, sebuah kampus yang cukup terkenal di Perancis. Ia bisa disebut sebagai ideolognya Partai Ba’ats. Sebagai seorang pemikir, aktivis, dan intelektual, Aflak pernah melahirkan karya tulis berjudul “The Battle for One Destiny” (1958) dan “The Struggle Against Distorting the Movement of Arab Revolution” (1975). Bersama teman-temannya, Aflak mendirikan Majalah Ath-Thali’ah dan menyebut kelompok mereka dengan Jama’ah Ihya Al-Arabi.
Selama kuliah, ia banyak terlibat dalam berbagai aktifitas pergerakan mahasiswa komunis. Ia mempelajari pemikiran Karl Max, kemudian menjabarkannya dalam sebuah gagasan yang ia kembangkan dalam Partai Ba’ats ketika kembali ke Suriah pada 1932. Aflak menggambarkan karakter dari Partai Ba’ats, yaitu; Sekularistis, sosialis, nasionalis, dan revolusioner. Prinsip utama partai ini adalah membangun Pan Arabisme di bawah sistem sosialis.
Secara garis besar, ideologi, cita-cita dasar, dan arah perjuangan Partai Ba’ats jauh dari nilai-nilai Islam, seperti:
1. Kata-kata dien (agama) sama sekali tidak tercantum dalam dustur
(AD/ART)
2. Dalam membentuk rumah tangga tidak disebut haramnya zina dengan
segala dampak negatifnya
3.Secara umum, kata-kata “beriman kepada Allah” tidak terdapat dalam inti
dustur, baik di dalam rincian penjelasannya ataupun di dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya
4.Mengenai politik luar negeri tidak tersebut satu isyarat agar berhubungan
dengan dunia Islam.
5. Tidak disebut-sebut sejarah Islam yang telah mengangkat bangsa Arab
menjadi terhormat di tengah-tengah bangsa lain. (1)
World Assembly Moslem Youth (WAMY) dalam penelitiannya menyebut Partai Ba’ats sebagai organisasi politik atau partai politik yang menjadi pengayom bagi kelompok-kelompok seperti; Druze, Isma’iliyah, Nushairiyah, dan Kristen. Menurut WAMY, mereka bergerak dengan motivasi kebatinan yang dilontarkan dan diterapkan di bawah slogan, “Revolusi, Persatuan, Kebebasan, Sosialisme, dan Kemajuan.” Kelompok Nushariyah, kata WAMY berhasil menjadikan Partai Ba’ats sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan mempertahankan eksistensinya. (2)
Kelak Partai Ba’ats melebarkan sayapnya di Irak. Pemimpin partai ini di Irak, Saddam Hussein, adalah aktifis sosialis yang kemudian menjadi tiran sampai kekuasaannya tumbang pada tahun 2003. Di Partai Ba’ats yang sosialis inilah, Hafizh Al-Asad, penganut Syiah Nushairiyah berkiprah. Meski latarbelakang politiknya sosialis, sebagaimana Saddam Hussein, Hafizh Al-Asad juga kemudian menjelma menjadi tiran dan membangun “Kroniisme Kapitalis” yang memperkaya diri dan keluarganya. Baik Saddam Hussein maupun Hafizh Al-Asad, keduanya menggunakan cara-cara kapitalis untuk membangun gurita bisnis dan jejaring kekuasaannya.
Mungkin sosialisme hanya ada diisi kepala, sementara urusan perutnya sama sejalan dengan kapitalis, rakus dan serakah untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya! (Artawijaya)
Footnote:
(1). WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Jilid I (terj), Jakarta: Islahy Press,1993, hlm.55
(2) Ibid.
(3). Istilah “Kroniisme Kapitalis” bisa dirujuk dalam buku yang ditulis Trias Kuncahyono, Musim Semi di Suriah: Anak-Anak Sekolah Penyulut Revolusi, Jakarta: Kompas, 2013
Sumber : Blog Artawijaya
(samirmusa/arrahmah.com)