DAMASKUS (Arrahmah.com) – Sekitar sepuluh juta pengungsi Suriah beresiko kehilangan rumah mereka secara permanen setelah pengumuman undang-undang baru yang akan memungkinkan rezim Nushairiyah pimpinan Bashar Asad untuk menyita properti yang dikosongkan.
“Law Ten” yang mulai berlaku awal bulan ini, memberi pemilik rumah hingga 10 Mei untuk membuktikan kepemilikan properti mereka kepada dewan lokal mereka atau menghadapi likuidasi dan penyitaan rumah mereka, lansir MEMO pada Jum’at (27/4/2018).
Dengan lebih dari enam juta warga Suriah yang tinggal di luar negeri dan tujuh juta lebih pengungsi internal, kemungkinan keluarga yang mampu atau bersedia menjelajah ke zona-zona konflik untuk menghadirkan dokumentasi mereka dalam jangka waktu yang ketat itu, rendah.
Maha Yahya, direktur Carnegie Middle East Center di Beirut mengatakan kepada Guardian: “Undang-undang baru telah meningkatkan kekhawatiran bahwa banyak warga Suriah mungkin menghadapi pengasingan permanen, terutama mereka yang menentang Bashar Asad, sementara mereka yang dianggap sebagai loyalis dapat diberikan akses ke lingkungan tertentu sebagai gantinya.”
Analis lebih lanjut mencurigai bahwa undang-undang telah dirancang sebagai instrumen perubahan demografi dan rekayasa sosial, membandingkannya dengan undang-undang properti yang dilaksanakan oleh “Israel” pada 1950 yang memungkinkan pasukan pendudukan merebut tanah Palestina.
“Dari sudut pandang rezim, hukum akan melayani tiga tujuan: ia memberi instrumen pemeriksaan tambahan atas orang-orang yang kembali dan cara untuk melucuti lawan politik dari aset mereka. Ini akan memungkinkan rezim mengkonsolidasikan basis kekuatannya dengan mempopulasi ulang daerah-daerah strategis dengan loyalis rezim,” Yahya menyimpulkan.
“Ini adalah konsolidasi kekuatan yang mencolok oleh Asad. Itu adalah hukuman, bukan peraturan. Di satu sisi, adalah normal untuk melakukan sesuatu seperti ini setelah bencana alam seperti gempa bumi. Tapi tidak sekarang dan tidak seperti ini. Perang masih berkecamuk dan bermetastasis,” ujar seorang pejabat senior Uni Eropa.
Rencana yang diusulkan datang di tengah berbagai serangan sengit oleh rezim Asad di kubu oposisi di utara dan selatan negara itu. (haninmazaya/arrahmah.com)