Oleh Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) – Runtuh dan bangkitnya suatu bangsa, sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas penguasanya. Jika sang penguasa negeri adil, niscaya masyarakatnya hidup damai dan sejahtera. Sebaliknya, bila penguasanya zalim, sehingga keadilan tidak tegak di negerinya, kemungkaran muncul dan kemaksiatan merajalela; sementara tidak ada manusia yang berani mencegahnya. Maka alamat keruntuhan negara tersebut sudah dekat.
Aksioma Ilahiyah terkait hal itu tersebut dalam kitab suci orang beriman:
“Jika Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri, Kami jadikan orang-orang yang suka berbuat sesat di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat zhalim kepada rakyat di negerinya. Akibat perbuatan rusak pemimpin mereka, turunlah adzab kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-Isra’ [17]:16)
Indonesia di bawah kekuasaan Presiden Joko Widodo, bukanlah negara yang menjadi cita-cita kemerdekaan. Dalam pembukaan UUD 1945, alinea ke empat, secara gamblang menyebutkan tentang cita-cita dan tujuan kemerdekaan.
Yakni, untuk membentuk suatu pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tapi lihat saja apa yang terjadi sekarang, apakah pemerintah telah melindungi kepentingan dan kesejahteraan rakyat Indonesia sesuai UUD ‘45?
Baru tiga tahun berkuasa, dominasi asing semakin tidak terkontrol, nyaris membuat bangsa kehilangan kedaulatan. Hingga peraturan perundang-undangan negara pun tidak bebas dari intervensi dan dominasi asing, yang membuat pihak asing memperoleh kebebasan luar biasa di negeri ini.
Perpres No. 21 Tahun 2016, adalah contohnya. Pemerintah memberikan bebas visa kunjungan kepada 169 negara. Kedatangan orang asing yang mendapatkan bebas visa kunjungan itu, kini mulai menuai akibat buruk. Seperti ungkapan Jawa, “Sapa nandur bakalan ngunduh”. Siapa menabur angin akan menuai badai.
Masuknya ribuan buruh China, dan menggelontornya berton-ton narkoba, juga suplai pelacur dari China, adalah contoh kasus yang salah satu penyebab utamanya karena adanya kebijakan bebas visa kunjungan tersebut.
Bukan itu saja, lahan pertanian di Bogor tercemar karena adanya bibit cabai illegal yang berasal dari benih yang dibawa warga negara China. Cabai ini diketahui mengandung bakteri Erwinia chrysanthemi yang diyakini membahayakan produksi nasional cabai di Indonesia. Kasus bibit wortel beracun terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Benih Wortel yang didatangkan dari China dan di budidayakan di Pegunungan Dieng, Provinsi Jateng, sangat membahayakan rakyat Indonesia.
Yang lebih mengkhawatirkan, penyebaran komunisme akan kian massif dengan adanya tuntutan mempercepat disahkannya UU Dwi Kewarganegaraan. Jika kewaeganegaraan ganda ini nantinya disahkan jadi UU dan permohonan mejadi WNI bisa dilakukan melalui online. Seperti dikatakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Luhut B. Panjaitan, akan meluncurkan aplikasi pengajuan kewarganegaraan secara online untuk memudahkan siapa pun yang ingin mendapatkan kewarganegaraan Indonesia termasuk di luar negeri.
Maka warga China bisa ramai-ramai mendaftar jadi WNI lewat online dan punya hak pilih dalam Pilkada serentak 2018 serta pemilu legislatif dan Pilpres 2019. Mereka bahkan tak perlu datang ke Indonesia untuk mencoblos ikut pemilu. Cukup melakukan pencoblosan di KBRI di luar negeri.
Sementara rakyat China yang sudah mangkir di Indonesia, baik sebagai tenaga kerja asing atau lainnya, dengan sendirinya akan memiliki paspor kewarganegaraan Indonesia, bahkan KTP. Sadarkah bangsa ini, bahwa tujuan sebenarnya dari masuknya rakyat China tersebut adalah untuk menguasai Indonesia?
Sekalipun pemerintah komunis China sudah terbukti menyumbang begitu banyak kerusakan moral, ekonomi dan sosial, namun pemerintah Jokowi justru semakin akrab dengan komunis. Padahal berhubungan dengan komunis, termasuk melanggar UU, sesuai Undang-Undang No. 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
- Barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas/dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
- Barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Berdasarkan Pasal 107e pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun).
Namun larangan ini agaknya sengaja diabaikan. Faktanya, pemerintahan Jokowi telah berkali-kali berhubungan dengan Partai Komunis China secara terbuka.
Pada Rabu sore, 13 April 2016, Presiden Joko Widodo, menerima kedatangan delegasi Partai Komunis China (PKC) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Jokowi didampingi oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Wakil Menteri Luar Negeri A.M Fachir.
Sementara itu, delegasi PKC terdiri dari Menteri Departemen Internasional, Komite Sentral Partai Komunis China, Song Tao, Deputi Direktur jenderal Partai Komunis China, Rao Huihua, Konselor Of General Office Partai Komunis China, Peng Xiuben, Ketua Divisi Partai Komunis China, Du Ding Ding, third secretary Partai Komunis China, Cui Xiang dan lainnya.
Pada Rabu, 23 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo menyambut kehadiran Sekjen Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu Trong, di Istana Merdeka. Ternyata, bukan hanya pemerintah yang tidak menaati UU. PDIP dan Nasdem, dua partai pendukung Jokowi, juga berkali-kali mengirim kadernya ke China untuk mengikuti “diklat” kepemimpinan bersama partai komunis.
Oleh karena itu, sangat tragis, di era Jokowi ini usaha-usaha membangkitkan PKI dan ide-ide komunis dilakukan kian masif dan gencar. Kerjasama bilateral antara Indonesia dan China semakin kuat. Bantuan ekonomi kepada Indonesia oleh China cukup banyak. Ribuan orang China (akan/telah) didatangkan ke Indonesia dengan sangat mudah.
Begitu hebatnya infiltrasi komunisme melalui para pemimpin dan pejabat bangsa Indonesia. Sengaja atau tidak, mereka telah “berkomplot” dengan asing (komunis) yang rentan mencederai ideologi bangsa. Wacana rekonsiliasi terhadap sesama anak bangsa dengan keluarga PKI yang semakin gencar disuarakan kian memperkeruh situasi. Diskursus rekonsiliasi itu ternyata tidak hanya datang dari elit-elit negara, akan tetapi juga datang dari elit ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh Said Agil Siradj. Saat ini dia getol menyuarakan pentingnya rekonsiliasi sesama anak bangsa bersama keluarga PKI.
Anehnya, komunis China dirangkul, sebaliknya gerakan Islam dipukul. Komunis Korut dipuji, tapi ulama dan tokoh Islam difitnah keji. Komunis Vietnam disambut, sementara legalitas ormas Islam dicabut.
Pemerintah dililit utang
Utang pemerintah atas nama NKRI, per Juli 2017 tercatat mencapai RP 3.779,98 triliun. Satu bulan sebelumnya hutang RI hanya 3.706,52 triliun ini menunjukan sebuah angka kenaikan yang cukup besar.
Meski hutang luar negeri sudah menggunung, pemerintah seringkali menyampaikan bahwa utang negara masih aman. Rakyat diminta tak khawatir dengan kondisi ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak ingin besarnya utang pemerintah bikin masyarakat ketakutan.
Ketika Sri menjadi bintang tamu pada program Rosi yang ditayangkan Kompas TV, Kamis (10/8/2017) malam. Sri Mulyani menyatakan bahwa seluruh kekayaan negara, baik di bumi, air, dan sebagainya merupakan milik negara. Semua itu masuk ke dalam kekayaan negara yang dihitung dan merupakan kekayaan untuk masa depan Indonesia pula.
“Jadi kenapa takut utang? Harta kita itu masih banyak sekali,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani masih bisa celoteh jumawa, padahal konglomerat China menguasai hampir semua lini bisnis. Mulai BRI, BNI dan Bank Mandiri semua berhutang dengan China. Televisi swasta, media cetak, media online, pabrik dan produk makanan, hampir semua buatan China.
Sedangkan proyek-proyek infrastruktur, rel kereta api dan lokomotifnya, ruas jalan Tol, tambang dan lain-lain, dalam hal ini yang mengerjakan harus China. Itulah mengapa rakyat China didatangkan ke Indonesia secara bertahap.
Ucapan Sri yang belum juga menyadari keteledorannya, mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang seorang pedagang sukses, yang mempunyai anak bebal dan dungu.
Suatu hari, peti-peti yang berisikan barang-barang berharga ayahnya dicuri maling. Sang pedagang tertunduk sedih. Orang-orang menghiburnya dan mendoakan agar hartanya yang hilang diganti dengan yang lebih baik. Tiba-tiba anaknya muncul dan heran melihat banyak orang bersedih.
“Ada apa ini?” tanyanya heran.
“Seseorang telah mencuri peti-peti harta bapakmu,” kata orang-orang yang sedang bersedih itu.
Tiba-tiba anak ini tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Tenang saja, barang-barangnya semua aman”.
Orang-orang menyangka, dialah yang menyembunyikan peti-peti tersebut. Bergegas mereka memberitahu bapaknya. Bapaknya berkata kepada anaknya, “Kabarkan kepadaku apa yang kau ketahui, Nak”.
Masih tertawa anak ini menjawab, “Bapak tenang saja! Barang-barang kita aman. Kunci peti-peti itu aku yang pegang”.
Anak dungu yang malang!
(*/arrahmah.com)