Apakah Revolusi di Tunisia menjadi tanda berakhirnya era para diktaktor yang bengis dan dimulainya era khilafah Islamiyah ? Apa peranan dakwah dan jihad global di tengah kecamuk politik negeri-negeri Islam yang terpengaruh efek domino dari revolusi Tunisia? Siapkah umat Islam dengan kembalinya khilafah memimpin dunia?
Revolusi Seorang Pedagang Sayur
Revolusi di Tunisia bermula dari seorang tukang sayur bernama Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun. Muhammad Bouazizi adalah simbol pemuda tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibukota Tunisia. Pemuda di sana banyak yang bergelar sarjana namun sehari-hari hanya berkeliaran di café-cefe di jalan berdebu kota miskin, menunjukkan kegagalan pemerintah memberikan jaminan pekerjaan yang layak.
Bouazizi, selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur hingga polisi menyita gerobak sayurnya, 17 Desember 2011 dengan menuduhnya berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah mencoba membayar 10 dinar Tunisia dan membayar lagi sekitar 7 dolar, namun ia malah ditampar, diludahi dan ayahnya yang sudah meninggal dihina. Bouazizi tidak terima dihina seperti itu, dan melapor ke markas provinsi berharap didengarkan keluhannya. Namun, sebagaimana biasanya para pejabat bertemu dengannya pun tak mau. Bouazizi pun mengambil langkah sendiri, dia menuangkan bahan bakar ke tubuhnya dan membakar dirinya sendiri. Ternyata Bouazizi tidak hanya membakar dirinya tetapi membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran rezim yang berkuasa.
Ben Ali, sang diktaktor sempat mengunjungi Bouazizi pada tanggal 28 Desember untuk meredam api yang sudah membakar rakyat Tunisia. Namun, api di dada rakyat Tunisia sudah tidak bisa lagi dipadamkan, dan pada tanggal 14 Januari, hanya 10 hari setelah Bouazizi meninggal, kediktaktoran Ben Ali tergulingkan oleh sebuah intifadhah yang dipicu seorang tukang sayur.
Ben Ali, sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun adalah lambang pemerintahan sekuler negara-negara Islam, khususnya dunia Arab yang gagal menjalankan sistem pemerintahannya di segala aspek kehidupan. Pengangguran, liberalisasi ekonomi, pasar bebas adalah sumber masalah bagi Tunisia. Apalagi Tunisia tidak memiliki sember daya alam dan sangat bergantung pada asing. Ditambah lagi pemerintahan yang korup, represif, ketertutupan akses politik, maka lengkaplah penderitaan rakyat Tunisia yang akhirnya berujung kepada perlawanan untuk sebuah perubahan. Sebuah revolusi telah dimulai.
Masa Berakhirnya Para Diktaktor?
Runtuhnya rezim diktaktor Tunisia teryata menjadi kekhawatiran tersendiri bagi semua diktaktor, khususnya di negara-negara Arab. Mereka khawatir rakyat di negara mereka akan menjadikan revolusi di Tunisia sebagai inspirasi, dan itulah yang saat ini terjadi!
Abdul Bari Atwan, editor Al Quds Al Arabi yang berbasis di London menulis sebuah artikel berjudul Terima Kasih Rakyat Tunisia mengungkapkan kekhawatiran para diktaktor Arab atas revolusi Tunisia.
“Beberapa hari ini merupakan hari yang kritis bagi kebanyakan kediktaktoran pemimpin Arab. Kondisi kehidupan di Tunisia masih lebih baik dibandingkan kebanyakan negara Arab lainnya. Lebih lagi, diktaktor Tunisia tidak terlalu represif dibandingkan di dunia Arab lainnya”.
Abdul Bari Atwan, yang pernah menulis buku The Secret History of Al-Qa’ida (bercerita ttentang Syekh Usamah bin Ladin dan Al Qaeda) juga memberikan ‘saran’ menarik untuk pemerintahan Amerika terkait revolusi di Tunisia. Atwan menyarankan pemerintahan AS menyiapkan sebuah pulau di Kepulauan Pasifik untuk menerima sekutu Arab dan para diktaktor lainnya.
Pakar politik Arab, Hussein Majdoubi juga menganalisa kemungkinan terjadinya revolusi serupa di Tunisia akan merembet ke negara-negara Arab. Penguasa Maroko, Libya, Aljazair, dan Mesir menurutnya merupakan target revolusi selanjutnya. Dia juga kecewa dengan Barat yang terus menerus memberikan dukungan kepada para diktaktor Arab dan mengabaikan keadaan politik yang menyedihkan.
Clovis Maksoud, mantan utusan Liga Arab untuk PBB mengatakan revolusi Tunisia adalah inspirasi dunia Arab yang dipakai oleh negeri-negeri dengan rezim diktator. Dalam sebuah wawancara dengan Press TV, dia mengatakan “revolusi Tunisia merupakan salah satu peristiwa paling inspiratis di dunia Arab di waktu kontemporer ini”.
Yvonne Ridley, jurnalis Muslimah yang juga seorang mualaf asal London, UK, berpendapat bahwa rakyat dunia Arab saat ini telah kehilangan rasa takut terhadap rezim-rezim Arab yang menindas dan korup yang disangga oleh kekuatan AS dan Eropa, dan akan mulai berjatuhan seperti kartu domino. Dia melanjutkan :
“Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengirimkan Air Force One untuk mengumpulkan semua diktator, tiran dan para penguasa yang lalim yang digaji oleh AS dan membawa mereka kembali ke Washington. Seperti kotoran hewan peliharaan di New York Central Park, anda harus bertanggung jawab atas kekacauan anjing Anda.”
Revolusi rakyat Tunisia membuat para diktaktor Arab panik. Hal yang menimpa Ben Ali merupakan penghinaan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap seorang pemimpin Arab. Sebuah kejadian luar biasa bila diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun akhirnya ditumbangkan oleh perlawanan rakyat yang kecewa dan muak dengan sistem yang mengatur mereka selama ini. Era para diktaktor nampaknya segera akan berakhir.
Efek Domino Revolusi Tunisia
Aksi tukang sayur, Muhammad Bouazizi, yang mencetuskan revolusi Tunisia teryata segera menjadi inspirasi rakyat di beberapa negeri Arab lainnya. Ada hampir selusin orang meniru aksi bakar diri di beberapa ibukota Arab, beberapa diantaranya termasuk di Kairo dan Aljazair. Bahkan, hingga saat ini, demonstrasi menuntut turunnya diktaktor Mesir, Husni Mubarak masih terus terjadi di jalan-jalan kota Mesir. Mesir kini bergolak.
Para pengunjuk rasa di Mesir bahkan membakar gedung pemerintah di kota pelabuhan Suez. Seorang saksi mata mengatakan protes terhadap pemerintahan diktaktor Husni Mubarak terus berlanjut di Mesir.
Pengunjuk rasa juga melemparkan bom molotov ke gedung pemerintah pada Rabu (26/1/2011), pembakaran dan pelemparan bom juga dilakukan di markas partai yang berkuasa, Partai Demokrasi Nasional, seperti yang dilaporkan AFP.
Ribuan penduduk Mesir turun ke jalan di seluruh negeri untuk melanjutkan aksi unjuk rasa yang belum pernah terjadi sebelumnya, menentang larangan pemerintah yang sebelumnya diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pengunjuk rasa membakar ban dan melempari polisi dengan batu di Kairo sementara polisi anti huru-hara yang bersenjata lengkap telah dikerahkan di kota-kota besar untuk membubarkan masa yang menentang aturan diktaktor Mesir tiga dekade, Mubarak.
Bentrokan dilaporkan terjadi di kota Alexandria dan Suez, di mana tentara keamanan menggunakan meriam air, gas air mata, pentungan dan peluru karet untuk membubarkan massa. Setidaknya 70 orang-55 pengunjuk rasa 15 polisi-terluka dalam bentrokan di Suez.
Demonstrasi besar-besaran di Mesir telah berjalan lima hari dan hingga hari ini terus terjadi bahkan semakin memanas. Polisi Mesir bahkan menembak 17 orang yang mencoba menyerang kantor polisi di Kairo, Mesir. Aksi ini terjadi menyusul peryataan diktaktor Mesir Husni Mubarak yang menolak turun tahta. Peryataan ini sontak semakin memanaskan suasana dan menambah semangat puluhan ribu massa turun ke jalan-jalan di kota-kota besar di Mesir. Efek domino revolusi Tunisia kini merambat dan terjadi di Mesir dengan satu tujuan yang sama, menurunkan para diktaktor!
Di Yaman, rakyat pun menuntut turun diktaktor bengis Ali Abdullah Saleh. Ribuan penduduk berdemonstrasi di ibukota, Sanaa, menyerukan sang diktaktor selama 30 tahun, Ali Abdullah Saleh, mundur. Keberanian rakyat Yaman untuk menggulingkan presidennya muncul setelah protes massa di Mesir dan revolusi di Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim berkuasa.
Rakyat Yaman mengeluhkan meningkatnya kemiskinan di kalangan penduduk muda dan frustasi dengan kurangnya kebebasan politik. Juga mengeluhkan korupnya para pejabat.
“Kita berkumpul hari ini untuk menuntut turunnya Presiden Saleh dan pemerintahan korupnya,” ujar para demonstran.
Revolusi Tunisia memicu solidaritas warga di dunia Arab, terutama umat Islam yang muak dengan sistem pemerintahan diktaktor dan sekuleristik yang selama ini diterapkan. Setelah Tunisia, revolusi merembet ke Mesir, bisa jadi meluas hingga ke Yaman, dan mungkin akan terus berlanjut ke seluruh wilayah dunia Arab. Sebuah perubahan besar sedang terjadi. Para Fir’aun tengah menghadapi kemarahan dan perlawanan ‘Musa’ yang bangkit melawan kedzoliman!
Seruan Dakwah & Jihad Global
Revolusi Tunisia juga didukung dan bersinergi dengan seruan dakwah dan jihad global. Semua bermuara kepada ujung yang sama, penerapan syariat Islam dan menegakkan khilafah Islamiyah.
Puluhan aktivis Muslim di London berdemonstrasi di depan Kedubes Tunisia di London, Jum’at (21/1) menyerukan kepada umat Islam di Tunisia untuk menerapkan syariat Islam (Khilafah). Dalam demonstrasi tersebut, para aktivis Islam mengusung tulisan Shariah For Tunisia, dalam bahasa Inggris, Arab, dan juga Perancis. Mereka juga meneriakkan “Shariah Akan Kembali” dan “Khilafah Akan Kembali” yang disusul dengan gema takbir!
Sementara itu, Al Qaeda wilayah Maghrib atau yang lebih dikenal dengan sebutan AQIM mendukung revolusi Tunisia dan menyerukan penerapan syariat Islam sesegera mungkin di Tunisia. Dalam sebuah video berdurasi 13 menit, Syekh Abu Musab Abdul Wadud, amir AQIM, mengatakan mendukung aksi unjuk rasa rakyat Tunisia untuk menggulingkan diktaktor Ben Ali. Dalam video yang dikirimkan ke forum-forum jihad tersebut, beliau juga memberikan sejumlah saran strategis, termasuk siap untuk memberikan pelatihan penggunaan senjata.
Syekh Abu Musab Abdul Wadud juga mengecam Ben Ali karena melakukan penindasan, korupsi, dan tak memedulikan kepentingan rakyat jelata. Ia meminta para demonstran segera menggulingkan Ben Ali dan menerapkan hukum syariat Islam di Tunisia. Ia mengatakan, Muslim Tunisia harus memperluas aksi revolusi menjadi skala nasional.
AQIM pimpinan Syekh Abu Musab Abdul Wadud adalah tandzim Al-Qaeda di Al Jazair, atau lengkapnya Tandzim Al-Qaeda Biladil Maghrib Islami (Al Qaeda di Negara-negara Islam Afrika Utara) yang hingga saat ini eksis dan terus melebarkan pengaruhnya. Dulunya sebelum bergabung dengan Al Qaeda tandzim ini bernama The Salafist Group for Call and Combat (GSPC) atau dalam bahasa Arabnya Al Jama’ah As Salafiyyah lidakwah wal Qital.
Menurut para pakar, basis AQIM kini semakin melebar ke sejumlah negara, seperti Tunisia, Al Jazair, Mauritania, dan Mali. Mereka selalu mengatakan :
“Bencana Anda adalah bencana kami dan penderitaan Anda adalah penderitaan kami”.
Sistem Apa Yang Akan Digunakan?
Ke manakah arah revolusi Tunisia? Akankah syariat Islam segera diterapkan di sana? Tunisia adalah sebuah negara Arab yang berpenduduk Muslim terletak di Afrika Utara, tepatnya di pesisir Laut Tengah. Tunisia berbatasan dengan Aljazair di sebelah barat, dan Libya di selatan dan timur.
Di antara negara-negara yang terletak di rangkaian Pegunungan Atlas, wilayah Tunisia termasuk yang paling timur dan terkecil. 40% wilayah Tunisia berupa padang pasir Sahara, sisanya tanah subur.
Tunisia menjadikan sistem sekuler, yakni Republik untuk mengatur sistem kenegaraan dan bermasyarakatnya setelah merdeka dari penjajahan kafir Perancis pada 20 Maret tahun 1956. Ben Ali, naik ke tampuk kekuasaan melalui sebuah kudeta tak berdarah di tahun 1987 untuk kemudian menjadi penguasa diktaktor selama kurun waktu 23 tahun.
Selama berkuasa, Ben Ali tiada hentinya melakukan kejahatan kepada umat Islam Tunisia yang hal ini menunjukkan bahwa dirinya memang seorang diktaktor sejati. Bahkan Ben Ali adalah seorang pendukung setia zionis Israel, dimana dirinya melarang rakyat Tunisia demo anti Israel bahkan melarang upaya pengumpulan bantuan untuk Muslim Gaza. Terlalu!
Ben Ali juga seorang kaki tangan Amerika yang setia serta anti syariat Islam. Dia melarang jilbab, menutup masjid dan menugaskan polisi untuk selalu memata-matai masjid. Di tahun 1990-an Ben Ali mulai menangkapi kaum Muslimin yang memanjangkan jenggot di Tunisia- yang sebenarnya mereka ingin kembali kepada syariat Islam- melarang mereka ke masjid dan di tempat kerja dan lembaga-lembaga sekolah.
Ben Ali dan keluarganya teryata juga gemar mencuri kekayaan rakyat Tunisia sementara di waktu yang bersamaan rakyat Tunisia dibiarkan miskin, tak punya pekerjaan dan didzolimi setiap harinya. Korupsi dan kolusi menjadi santapan sehari-hari pejabat Tunisia yang akhirnya membuat rakyat Tunisia muak dengan sistem pemerintahan dan kediktaktoran Ben Ali hingga akhirnya bergerak melawan dan menggulingkan sang diktaktor.
Pasca tergulingnya Ben Ali, untuk pertama kalinya dalam 23 tahun, pemuda Muslim melaksanakan sholat berjamaah di jalan-jalan di kota Tunisia. Semangat untuk kembali dan menerapkan syariat Islam menjadi salah satu alternatif rakyat Tunisia, terutama kaum mudanya. Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran pejabat-pejabat sekuler dan mantan pendukung diktaktor Ben Ali.
Menteri Pembangunan Daerah, Silvan Shalom menyatakan keprihatinan tentang penggulingan penguasa diktator Ben Ali, karena “langkah ini akan memfasilitasi pergerakan Islam di negeri ini”.
Rakyat Tunisia yang tidak puas dengan hasil kudeta terhadap pemerintah negara itu, menyerukan perubahan radikal dalam politik. Mereka melakukan aksi massa menuntut pembebasan tahanan politik dari penjara diktator Ben Ali.
Sebagian besar rakyat Tunisia menyeru untuk mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah Islam dan untuk memastikan konsolidasi negeri-negeri Muslim. Umat yang berdemoa di Tunisia meneriakkan : “tidak ada jalan lain, tidak ada jalan lain, Islam satu-satunya solusi!” “Dengan jiwa kami, dengan darah kami, kami akan berkorban untuk Anda, wahai Islam!”
Berdiri di hadapan tentara Tunisia, mereka mengalamatkan kalimat ini untuk : “Kalian di Palestina, kalian di Irak, jatuhkan rantai penguasa dari leher kalian dan penuhi tugas Anda!” “Wahai tentara Muslim, kami siap bersama Anda, dengan darah kita, dengan jiwa kita, dan anak-anak kita! gulingkan rezim yang menindas!”
Sebuah pilihan tepat bagi rakyat Tunisia adalah menerapkan syariat Islam dan menegakkan sistem pemerintahan secara Islami, yakni dengan menegakkan khilafah Islam. Hendaknya rakyat Tunisia yang mendapatkan ‘berkah’ dari Allah SWT., dengan tumbangnya rezim diktaktor Ben Ali dapat memenfaatkan moment yang sangat berharga ini dan tidak tertipu dengan bujuk rayu dan tipu daya setan yang menawarkan racun demokrasi.
Seorang mujahid pernah menuturkan pengalaman berharga dalam perjuangan :
“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tetapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan. dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita-demikian kosa kata yang biasa mereka gunakan-untuk menjinakkan kita.”
Faktanya, hingga saat ini revolusi di Tunisia belum diketahui akan bermuara kemana. Situasi masih tidak menentu. Saat ini, Perdana Menteri Mohammad Ghannouchi yang menjabat kekuasaan sementara menjanjikan segera digelar sebuah pemilu yang akan mengganti sistem presidensial ke sistem parlemen. Tentu saja janji ini hanyalah sebuah kebohongan saja yang tidak akan membawa dampak perubahan yang berarti. Karena pergantian rezim dan sistemnya masih dalam koridor sistem demokrasi yang anti syariat Islam.
Pergantian rezim atau diktaktor di sebuah negara bukanlah jaminan pasti perubahan kehidupan di negara tersebut. Pengalaman membuktikan pergantian rezim tanpa diikuti pergantian sistem kehidupan secara menyeluruh tidak akan membawa perubahan apapun. Apalagi janji-jani manis perubahan dan reformasi selalu diteriakkan oleh musuh-musuh Islam yang tidak bersedia syariat Islam dan khilafah diterapkan menjadi satu-satunya sistem yang mengatur kehidupan masyarakat Islam. Akhirnya, demokrasilah yang selalu ditawarkan sebagai alternatif terbaik sebuah perubahan. Padahal demokrasi adalah racun berbisa yang sangat mematikan bagi umat Islam yang rindu kembalinya syariat Islam di seluruh aspek kehidupan. Untuk itu, tidak ada alternatif lain, dan tidak ada sistem lain bagi umat Islam dimanapun kecuali kembali menerapkan syariat Islam secara kaafah (sempurna) dalam bingkai khilafah Islam.
Khilafah, Siap Memimpin Dunia
Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman radliallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (KHILAFAH ‘ALAA MINHAJIN NUBUWWAH), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (MULKAN ADLON), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (MULKAN JABARIYYAH), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (KHILAFAH ‘ALAA MINHAJIN NUBUWWAH)”. Kemudian beliau (Nabi) diam.” (H.R. Ahmad dan Al Baihaqi. Misykatul Mashabih: Bab Al Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar Rahimiah, Delhi, India. Halaman 461. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 273).
Berita dari Nabi SAW., di atas menjadi kabar gembira bagi kaum Muslimin saat ini. Masa atau era khilafah (sistem kenegaraan Islam) yang mengikuti jejak kenabian tidak akan lama lagi akan dimulai pasca runtuhnya era ‘mulkan jabariyah’ atau era raja-raja yang sombong (bengis) alias para diktaktor.
Fenomena revolusi Tunisia, disusul Mesir, dan seterusnya bisa jadi menandai kebenaran hadits yang diyakini sebagai fase-fase sejarah kemunduran dan kebangkitan umat Islam. Pasca runtuhnya khilafah Islam terakhir di Turki, 3 Maret 1924, kaum muslimin memasuki periode buruk dalam sejarahnya. Digulingkannya sistem khilafah Islam oleh ‘dajjal’ Mustafa Kemal At Tatruk melahirkan sistem sekuler yang melahirkan para pemimpin diktaktor di seluruh negara-negara Islam. Pada saat itulah berakhir masa “mulkan adlon” dan dimulai masa “mulkan jabariyyah” alias para diktaktor. Para diktaktor ini atas desakan Barat menggunakan sistem demokrasi sekuler dengan pemilu sebagai jargon kebebasan dan perubahan.
Kini, umat sadar betapa bengisnya raja-raja dan pemimpin mereka sang diktaktor. Sistem demokrasi sekuler teryata juga hanya menjanjikan angin surga tanpa ada kenyataan sama sekali. Kondisi kehidupan yang terpuruk akibat menerapkan sistem dan ideologi kufur demokrasi akhirnya membangkitkan kesadaran dan angin perubahan di seluruh negeri-negeri Islam. Revolusi Tunisia menjadi pemicu sekaligus inspirasi.
Bersandar kepada berita gembira dari Nabi SAW., di dalam hadits sejarah umat Islam tersebut, maka pasca tumbangnya para diktaktor yang bengis akan menandai awal kemunculan sistem khilafah Islami dan berlakunya kembali syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Umat pun merindukan kemunculan kembali Al-Mahdi, sosok khalifah yang muncul pasca berakhirnya periode “mulkan jabbariyah” atau para diktaktor bengis. Tergulingnya Ben Ali, dan kemungkinan Husni Mubarak, dan disusuk para diktaktor lainnya menjadi tanda dekatnya masa yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW., tentang munculnya khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian. Revolusi Tunisia bisa jadi menjadi sebuah pengantar datangnya masa yang dijanjikan tersebut, di mana umat Islam dan bahkan umat di seluruh dunia akan hidup dalam ketentraman, kesejahteraan, dan rahmat bagi alam semesta. Untuk itu, bersiapkan wahai kaum Muslimin menyambut datangnya kembali khilafah Islamiyah untuk memimpin dunia!
Wallahu’alam bis showab!
By: M. Fachry
International Jihad Analysis
Ahad, 25 Shafar 1432 H/30 Januari 2011 M
Ar Rahmah Media Network
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media
© 2011 Ar Rahmah Media Network