Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
JAKARTA (Arrahmah.com) – Setiap manusia, kafir maupun muslim, secara mutlak memiliki tiga macam unsur kehidupan, sejak dilahirkan sampai mati. Yaitu, fisik, prilaku, dan fikiran.
Dalam buku 15 PRINSIP MEMAHAMI ISLAM Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib menjelaskan ketiga unsur kehidupan tersebut.
Unsur pertama yaitu fisik, tidak dimintai tanggung jawab oleh Allah. Seba
gaimana disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
« إنَّ اللهَ لا يَنْظُرُ إِلَى أجْسَادِكُمْ ، وَلا إِلَى صُوَرِكُمْ ، وَلكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وأعْمَالِكُمْ »
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kalian, tetapi melihat hati kalian dan perbuatan kalian.” [HR. Muslim]
Oleh karena itu bagaimanapun kondisi fisik seseorang, sempurna atau cacat, kerdil atau normal, sakit atau sehat, tidak berpengaruh pada penilaian Allah kepadanya. Artinya sekalipun dia orang yang cacat tetapi melakukan amal yang shalih, maka dia tetap mendapat pahala dari Allah, bahkan mungkin sekali pahalanya lebih besar dibandingkan orang yang normal. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi orang yang ditakdirkan fisiknya cacat meninggalkan perintah ibadah kepada Allah seperti shalat dan puasa. Shalat dapat dilakukannya sesuai dengan kondisi fisiknya dan puasa pun juga demikian.
Unsur Kedua, Perilaku (behaviour). Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kata-kata yang diriwayatkan dari Tuhannya, sabdanya:
« إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَناتِ وَالسَّيِّئاتِ ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها كَتَبَها اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً ، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِها فَعَمِلَها كَتَبَها اللهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَناتٍ ، إِلى سَبْعِمائَةِ ضِعْفٍ ، إِلى أَضْعافٍ كَثيرَةٍ ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْها، كَتَبَها اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً ، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِها فَعَمِلَها كَتَبَها اللهُ لَهُ سَيِّئَةً واحِدَةً » .
“Sungguh Allah telah menetapkan bermacam kebaikan dan keburukan kemudian menjelaskannya dengan rinci. Barang siapa berkeinginan melakukan yang baik tetapi belum melaksanakannya, maka Allah menuliskannya satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Jika seseorang berkehendak baik lalu melaksanakannya, maka Allah menetapkan sepuluh kali lipat kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat bahkan sampai berlipat ganda yang banyak sekali. Barang siapa berniat buruk lalu ia laksanakan keburukan itu, maka Allah mencatat satu dosa saja untuknya.” [HR. Bukhari].
Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Jika ia berbuat dosa dia akan mendapatkan siksa, dan jika dia berbuat kebaikan dia akan mendapatkan pahala. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Setiap manusia hanyalah mendapatkan pahala sesuai dengan amal shalih yang dilakukannya sendiri.” [Qs. An-Najm, 53: 39].
Berkaitan dengan perilaku manusia, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab “Ar-Risalah” yang merupakan induk kitab Ushul Fiqih di kalangan pakar Ushul Fiqih menjelaskan adanya tiga macam perilaku. Beliau mengatakan bahwa perilaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebut sebagai (أفعال النبي صلى الله عليه وسلم) dibagi tiga:
Satu, Qurbah,
yaitu perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan ibadah atau ritual. Setiap perbuatan qurbah pada dasarnya haram kecuali adanya perintah atau anjuran dari Allah dan Rasul-Nya. Misalnya: shalat, puasa, wudhu, i’tikaf, thawaf, umrah, haji, zakat, dan lain-lain. Semua perilaku ibadah hanya boleh kita lakukan berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Katsir menyebutkan adanya kaidah Ushul Fiqih tentang qurbah: Qurbah (ibadah) hanya boleh dilakukan berdasarkan nash, dan tidak boleh dilakukan berdasarkan qiyas atau pendapat. [Tafsir Ibnu Katsir, 7/465].
Dua, Jibillah,
yaitu perbuatan yang muncul dari dorongan naluriyah. Pada dasarnya semua perilaku atau perbuatan jibillah boleh dilakukan, kecuali ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya. Mislanya: makan, berjalan, tidur, bergurau, berolahraga, berobat bila sakit, dan lain-lain boleh dilakukan tanpa perlu mencari dalilnya terlebih dulu dari Al-Qur’an dan hadits Nabi. Sebaliknya seseorang yang menyatakan suatu perbuatan jibillah haram, maka yang bersangkutan wajib menunjukkan dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama Ushul Fiqih menjelaskan:
Perbuatan-perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersifat jibillah tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hanya baik ditiru, kecuali ada dalil tegas yang menetapkan wajibnya. [Taisirul ‘Allam lil Bassam, 1/123]
Perbuatan-perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sengaja dilakukan, maka perbuatan semacam itu menjadi contoh dan panutan. Tetapi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersifat kebetulan tidak masuk kategori contoh. Misalnya: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bepergian lalu singgah di suatu tempat tanpa direncanakan, atau beliau shalat di suatu tempat tanpa direncanakan lebih dulu, atau beliau memakai pakaian tertentu tanpa diniatkan, dan lain sebagainya, maka perbuatan-perbuatan semacam itu tidak masuk kategori yang menjadi contoh atau uswah.
Tiga. Tha’ah,
yaitu perbuatan yang bersifat jibillah tetapi oleh syari’at Islam ditetapkan aturan-aturan tertentu untuk melaksanakannya. Misalnya: Perkawinan. Perbuatan ini pada dasarnya bersifat jibillah yaitu penyaluran dorongan biologis atau seksual antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi syari’at Islam menetapkan aturan tertentu untuk halalnya melaksanankan perbuatan ini, yaitu dengan melakukan akad nikah, tidak boleh antara perempuan dan laki-laki yang masih mahram, tidak boleh dengan perempuan yang masih punya suami dan aturan lainnya.
Perbuatan-perbuatan yang masuk kategori tha’ah haram dilakukan kecuali ada dalil yang menghalalkannya. Mislanya: Menikah dengan perempan musyrik, perempuan Islam menikah dengan laki-laki kafir, muslim mewarisi harta keluarganya yang kafir dan sebaliknya, adalah perbuatan yang haram.
Perilaku manusia dalam bentuk apapun, pasti pelakunya dimintai tanggung jawab di hadapan Allah di akhirat kelak. Hal ini Allah tegaskan pada ayat:
{وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا (13) اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا (14) }
“Kami kalungkan catatan amal setiap orang pada lehernya. Kami akan mengeluarkan catatan amal itu pada hari kiamat kelak sebagai sebuah catatan terbuka yang akan diberikan kepadanya. Kepada setiap orang dikatakan: “Bacalah catatan amalmu. Pada hari ini cukuplah catatan itu bagi dirimu untuk kamu ketahui apa saja yang telah kamu lakukan di dunia dahulu.” [Qs. Al-Israa’, 17: 13-14].
Unsur Ketiga, fikiran. Yaitu aktivitas yang dilakukan oleh akal manusia untuk memahami dan menilai sesuatu. Ketika kita membaca buku, akal beraktifitas untuk memahami. Ketika kita menyampaikan pendapat atau mengungkapkan sesuatu yang kita pahami, masuk kategori aktifitas menilai.
Aktifitas memahami atau menilai yang dilakukan oleh akal harus dilakukan dengan benar. Karena salah di dalam memahami atau menilai akan sangat berpengaruh pada perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap manusia diperintahkan untuk mandiri dalam berfikir. Artinya, setiap orang dilarang untuk membeo kepada orang lain, karena apa yang dia pahami dapat mendorong dirinya melakukan perbuatan yang benar atau tidak benar.
Hal ini Allah sebutkan dalam firmanNya:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak tahu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati setiap orang kelak di akhirat akan dimintai tanggung jawab.” [Qs. Al-Israa’, 17: 36].
Oleh karena itu, ambisi untuk merobah mental manusia jadi lebih baik, atau memperbaiki prilaku sosial masyarakat, tanpa landasan agama Allah. Ibarat ungkapan, “Betapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depan, tapi menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. – Ali bin Abi Thalib.
Revolusi Mental
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi maknanya adalah perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (perlawanan bersenjata). Sedangkan kata mental, dalam pengertian sehari-hari di Indonesia, terkait dengan kesehatan atau gangguan jiwa, alias sakit mental.
Bila kata revolusi mental dimaknai, pengertian yang paling dekat adalah sebuah gerakan masif atau perubahan radikal yang berkaitan dengan mental manusia.
Karl Marx, tokoh komunis revolusioner, memakai kata mental revolution dengan maksud utk melahirkan revolusi sosial, yakni merebut kekuasaan dari kapitalis menuju masyarakat sosialis.
Di Indonesia, Revolusi Mental merupakan jargon yang diusung Presiden Joko Widodo sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014, yang tertuang dalam butir ke-8 dalam Nawa Cita, yang isinya antara lain:
“Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.”
Dalam sebuah tulisan berjudul Revolusi Mental di Kompas, Sabtu (10/5/2014) Jokowi mengatakan bahwa Revolusi Mental adalah kembali ke ajaran TRI SAKTI Bung Karno yakni: Indonesia yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, berkepribadian secara sosial dan budaya.
Bila kita mengacu pada ajaran TRI SAKTI Bung Karno, yang menjadi rujukan tunggal revolusi mental Jokowi. Maka jargon revolusi mental Jokowi telah gagal total, bahkan akan membawa bangsa Indonesia kearah kondisi yang sangat berhaya.
Periode pertama (2014-2019) rezim Jokowi, tidak ada kemandirian secara ekonomi. Yang terjadi justru’perselingkuhan’ antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar. Ketergantungan pada hutang luar negeri telah melewati batas yang dibolehkan konstitusi negara. Perselingkuhan itu semakin jahat sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker. Mulai dari investasi, tenaga kerja hingga mata uang, semuanya made in China.
Bagaimana bisa berdaulat secara politik, jika kiblat politik rezim Jokowi ke negeri komunis Cina. Sebagaimana di zaman orba, Pemerintah memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik.
Sejumlah parpol koalisi penguasa, ramai-ramai mengirim kadernya untuk dididik oleh komunis Cina. Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein mengatakan, sejumlah partai politik peserta pemilu 2019 telah mengirimkan kadernya ke China untuk belajar idelogi komunis tentang politik dan pengkaderan untuk diterapkan di Indonesia.
Dia menjelaskan beberapa partai peserta pemilu 2019 yang dituding telah mengirimkan kadernya ke China untuk mempelajari ideologi itu adalah Partai NasDem, Partai Golkar, dan PDI-Perjuangan. Menurutnya, ketiga partai tersebut juga dinilai dekat dengan komunisme.
Sebagai akibatnya, adanya pembelokan sejarah, merobah hari lahir Pancasila 18 Agustus jadi 1 Juni melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016. Selanjutnya, muncul tuduhan jahat dari Ketua BPIP, bahwa agama merupakan musuh terbesar Pancasil. Puncaknya, munculnya RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang diusulkan oleh anggota DPR dari PDIP. Isinya, merobah dasar negara Ketuhanan YME menjadi Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan Mengganti Pancasila menjadi trisila atau ekasila.
Berkepribadian secara sosial dan budaya. Kondisi social dan budaya masyarakat Indonesia di bawah rezim Jokowi, persis seperti dideskrepsikan oleh seorang budayawan sekaligus wartawan di masa orla, Mochtar Lubis.
Dalam bukunya berjudul Manusia Indonesia menggambarkan sikap mental bangsa Indonesia sangat buruk. Katanya, “bangsa Indonesia bermental munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, watak lemah, boros, tidak suka bekerja keras, dengki, suka menggerutu, sok, plagiator.”
Di samping itu, katanya lagi, manusia Indonesia mempunyai sifat bisa kejam, bisa meledak, ngamuk, membunuh, membakar, khianat, menindas, memeras, menipu, mencuri, korupsi, tidak peduli dengan nasib orang lain, dan lain-lain.
Selain Mochtar Lubis, Petualang Swedia Cristian Skoda menggambarkan sikap buruk orang Indonesia adalah, senang jadi pengikut, penakut, suka korupsi, pemalas, hidup hanya untuk hari ini, tidak punya perencanaan, sering telat, diam dalam rapat, tidak rasional, tidak mematuhi peraturan, lambat, kurang disiplin, gunakan perasaan bukan logika.
Memasuki periode kedua (2019-2024) pemerintahan rezim Jokowi, bangsa Indonesia tertinggal dan semakin terpuruk dalam segala bidang. Negeri kita dijajah dari jalur ekonomi, politik dan ideologi. Masuknya Narkoba ke pusat kekuasaan, keamanan yang semakin tidak terjamin, bangsa kita akan mudah diadu domba bangsa lain. Dekadensi moral masyarakat dan pejabat semakin tidak terkendali.
Problem kenegaraan bermunculan akibat buruknya karakter dan mental bangsa, tanpa landasan agama. Contohnya, mulai dari rakusnya para pejabat dengan kasus korupsi yang tiada henti, pelanggaran hak asasi manusia, sampai hal-hal kecil seperti malas antri dan mau menang sendiri. Tingkat kasus korupsi di Indonesia sudah sangat tinggi, bahkan menjadi salah satu yang terburuk di Asia.
Rezim Jokowi adalah rezim yang panjang lidah tapi pendek akal. Belum pernah terjadi sepanjang sejarah RI, penguasa menyewa jasa Buzzer dan influenser untuk membenarkan segala prilaku zalim pemerintah dan menyalahkan setiap orang yang mengeritiknya, demi mempertahankan kekuasaan.
Firman Allah Swt:
وَمَن يَكْسِبْ خَطِيٓـَٔةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِۦ بَرِيٓـًٔا فَقَدِ ٱحْتَمَلَ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Siapa saja yang berbuat kesalahan atau dosa kemudian ia menuduh orang lain yang menjadi pelakunya karena ingin berlepas diri, sungguh ia telah memfitnah dan berbuat dosa yang sangat nyata.” (Qs. An Nisa [4]:112).
Ayat ini menunjukkan bahwa sikap melemparkan kesalahan pada orang lain termasuk dosa besar dan hal yang membinasakan seseorang, karena dia sama saja telah melakukan banyak kerusakan, di antaranya yaitu: telah mengerjakan dosa atau kesalahan, menuduhkan kesalahan kepada orang yang tidak berdosa, berbuat dusta dengan menyatakan dirinya bersih dan menuduh orang yang tidak berdosa, mengakibatkan adanya hukuman duniawi yang tidak benar, orang yang salah tidak terkena, bahkan orang yang tidak bersalah malah diberi hukuman.
Demikian juga, orang yang tidak bersalah menjadi bahan pembicaraan orang lain dan mafsadat lainnya. Kita meminta kepada Allah agar dilindungi daripadanya dan dari setiap keburukan, Allahumma aamin.
Seperti yang dilakukan oleh Bani Ubairiq, ketika ia melemparkan tuduhan perbuatan jahatnya kepada orang lain yang dikenal saleh, yaitu Labid ibnu Sahl. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas atau seperti apa yang dituduhkan orang-orang kepada Zaid ibnus Samin (seorang Yahudi), padahal Zaid tidak bersalah; dan mereka yang menuduhnya sebagai orang-orang zalim yang berkhianat, seperti yang diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
Ancaman dan cemoohan ini bersifat umum, mencakup mereka yang disebut dari kalangan orang-orang yang melakukan perbuatan jahat seperti mereka dan berkarakter seperti mereka; maka baginya hukuman yang sama seperti yang diterima mereka.
Revolusi Akhlak
Setelah kembali dari pengasingan di Arab Saudi, 10 November 2020 Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerukan gerakan “revolusi akhlak.” Revolusi kearah perubahan perilaku bangsa Indonesia agar sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
“Revolusi akhlak untuk selamatkan NKRI, betul? Dalam rangka Indonesian berkah, siap revolusi akhlak? Kita revolusi akhlak yang enggak taat jadi taat. Kita ganyang segala kezaliman, setuju? Kita ganyang segala korupsi, setuju? Dari sifat khiamat kepada sifat amanat,” tegas HRS dalam orasinya.
Korupsi, berbohong, berkhianat dan menipu adalah contoh kezaliman yang akan diobati dengan gerakan Revolusi Akhlak. HRS pun menyambut serius. Dia akan keliling Indonesia bersama jajaran DPP-FPI untuk sosialisasi dan konsolidasi gerakan revolusi ini.
Akhlak juga menjadi barang vital yang hilang bagi para penyelenggara pemerintahan di negeri kita hari ini. Tebang pilih kasus dalam soal hukum. Tamak dan rakus yang dipertontonkan dalam drama korupsi dan pengelolaan sumber daya alam. Atau rendah mental di hadapan pemilik modal.
Akhlak adalah kepribadian dan karakter yang mulia. Akhlak dari kata “kha la qa”, satu akar kata dengan khaliq (Pencipta) dan makhluq (ciptaan). Artinya akhlak itu perangai yg baik, tidak hanya dari sudut manusia tapi juga dari sudut pandang Allah. Jadi akhlak itu kata yang tepat untuk menjadi MISI dan tagline suatu perjuangan, untuk merubah masyarakat menuju karakter yang mulia.
Apakah hari ini Indonesia memerlukan revolusi akhlak? Tentu saja. Revolusi dari pembohong menjadi jujur; dari korupsi menjadi tidak korupsi; dari tidak adil menjadi adil; dari khianat menjadi amanah; dari perangai buruk menjadi baik; dari penebar fitnah menjadi penebar kebaikan.
Dari sini kita bisa melihat perbedaan antara revolusi mental yang diusung Jokowi dan revolusi akhlak yang ditawarkan Habieb Rizik Syihab.
Revolusi mental berlandaskan ajaran trisakti Bung Karno. Sedangkan revolusi akhlak merujuk pada Nabi Muhammad Saw yang menyatakan: “Tidaklah aku diutus (oleh Allah) kecuali untuk menyempurnakan akhlak”. Karena Nabi yang pakai, maka kita ikuti kata Nabi.
Revolusi mental asing dari UUD 1945, sedangkan revolusi akhlak digunakan dalam UUD 45 pasal 31 mengenai tujuan pendidikan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta AKHLAK mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Revolusi mental (mental revolution) dipakai oleh Karl Marx (gembong komunis, community manifesto), FW. Tylor dan banyak lagi karya yang menulis tentang mental disorder. Sedangkan revolusi akhlak, adalah misi yang dibawa Rasulullah Saw.
Hadits dari Abu Hurairah R.A., ia berkata: Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam– bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Bayhaqi).
Karakter dan budi pekerti Rasulullah adalah budi pekerti yang dibentuk oleh Al-Quran, bukan karakter alamiah yang terpisah dari al-Quran. Dengan kata lain, budi pekerti (adab) Rasulullah S.A.W adalah Islam dan syariat-Nya. Karakter (akhlak) Rasulullah S.A.W merupakan wujud dari ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah S.W.T. Beliau senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya.
Allah berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki khuluq yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia/shaleh itu adalah aku diutus dengan membawa Al-Quran untuk menyempurnakan dien Islam (hukum-hukum/ketentuan Allah S.W.T) yang telah diturunkan kepada nabi dan rasul sebelumnya.
Jika revolusi akhlak HRS seperti yang sudah dijelaskan itu, maka menjadi tanggungjawab umat Islam untuk menyukseskannya. Termasuk mengawal HRS untuk tetap konsisten dalam perjuangan ini. Wallahu a’lam bisshawab.
(*/arrahmah.com)