JAKARTA (Arrahmah.com) – Sudah dimaklumi revolusi di beberapa negara terjadi dengan persiapan-persiapan tertentu, sebutlah ada penanaman ideologi di masyarakat, ada propagandis-propagandis yang menawarkan ide dan penyadaran pentingnya perubahan. Atau, jika di negara-negara berbasis masyarakat muslim, para da’i terlibat dalam khutbah-khutbah dan ajakan-ajakan revolusioner sebagai upaya menciptakan keadaan yang lebih baik. Gamblangnya, ada agen-agen perubahan yang mengkondisikan situasi untuk memulai sebuah revolusi.
“Awalnya, saya pun berfikir seperti itu revolusi di Suriah” tutur Umar Mitha penerjemah yang menemani missi kemanusiaan relawan Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) ke Suriah dalam ceritanya pada silaturahim Forum Indonesia Peduli Suriah di gedung Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta, Selasa (11/12).
Namun, lanjut Umar, ketika ia datang ke Suriah ia menemukan sebuah fakta yang berbeda dan mencengangkan. Ternyata, Revolusi Suriah tidak dikondisikan sebuah organisasi revolusioner ataupun didorong oleh para propagandis handal. Sepertinya, memang sulit jika hal itu dilakukan ketika rezim Al Assad dalam kondisi prima, yang sudah-sudah semua berujung kepada pemenjaraan dan penyiksaan yang kejam atau hilang. Terbunuh!
Seperti biasanya, kehidupan di Suriah berlangsung tanpa perbedaan berarti, damai dan tenang dalam cengkraman kekuasaan tiran rezim Assad dan intelijennya. Meskipun kondisi di kawasan timur tengah sedang memanas dengan Arab Springnya yang sedikit demi sedikit meruntuhkan para thoghut modern. Namun, di Suriah biasa saja hanya berita-berita di televisi yang ramai dengan gundah gulananya perubahan.
Anak-anak di Suriah pun, ternyata ikut menikmati gegap gempita euforia revolusi di sebagian negara-negara Arab melalui kotak televisi di rumah mereka. Meskipun, mereka tidak tahu hakikat apa yang tengah berlangsung.
Tersebutlah, tujuh orang kanak-kanak di Suriah sedang bermain bersama mencari kesenangan dengan ulah-ulah dari naluri masa kecil. Mereka senang mencorat-coret di tembok dan pada sebuah kertas. Corat-coret ini berbeda, mereka menulis sebuah kata yang mereka temukan di televisi akhir-akhir ini dielu-elukan orang banyak di beberapa negara.
Sungguh, mereka tidak tahu makna sebuah kata tersebut, maklum umur mereka rata-rata 7 tahun hingga 8 tahun. Mereka hanya merasa tulisan tersebut istimewa, sebab banyak disuarakan dan ditulis di negara-negara dalam televisi mereka oleh jutaan manusia yang tengah kumpul bersama. Kata tersebut adalah “Hurriyah” atau “Kebebasan” dalam bahasa kita.
Rezim Suriah ternyata memang terkenal kehebatan intelijennya, tembok yang ditulis sebuah kata tersebut seolah-olah mendengar dan melihat lalu dilaporkan kepada antek-antek rezim. Tak pelak, anak-anak tersebut dibawa dan diangkut ke penjara intelijen. Singkat cerita, mereka mengalami siksaan yang dialami orang dewasa. Pasti anda terkejut, tenang di Suriah segala macam siksaan diluar batas kemanusiaan sudah biasa digunakan rezim kepada siapapun yang mengancam pemerintah.
Orang tua mereka pun, mendatangi penjara tersebut memohon agar anak-anak mereka yang masih sangat belia dan belum mampu membedakan benar dan salah secara rasional agar dibebaskan dan dimaafkan oleh intelijen. Tapi, layaknya menghadapi keluarga dari penentang rezim atau ‘penjahat politik’ dengan angkuh petugas penjara menolak membebaskan anak-anak tersebut dan sebaliknya malah dengan arogan melempar kata-kata hina.
“Anak-anak kalian sudah tidak berguna lagi, tidak perlu kalian meminta mereka dikembalikan. Jika kamu mau memiliki anak kembali, sini bawa istrimu ke mari biar aku hamili, agar kalian punya anak kembali” papar Umar mengisahkan.
Tentu saja, kesedihan tersebut berlipat-lipat dan bercampur aduk dengan kehinaan. Mereka pulang dengan tangan hampa dan tidak memiliki sandaran. Mereka hanya mampu menceritakan apa yang baru saja dialami. Mereka bercerita pada jama’ah-jama’ah masjid dan tetangga, dari mulut ke mulut cerita tersebut terus tersebar, hingga hampir ke seluruh Suriah.
Tak disangka, cerita tersebut direspon oleh masyarakat Suriah dengan kemarahan dan ketidak relaan terhadap rezim Suriah. Peristiwa tersebut berubah menjadi sebuah gerakan, di suatu Jum’at setelah menjalankan sholat seluruh warga kota turun ke jalan hingga wanita-wanita yang tidak terlibat aksi tersebut membuka pintu-pintu dan jendela rumah untuk terlibat dalam sebuah aksi yang dikenal sebagai “gerakan takbir”.
Masyarakat bertakbir seisi kota, hanya bertakbir dan terus bertakbir mengagungkan Allah SWT, Allahuakbar..! gerakan takbir terus menerus terjadi namun tidak hanya berhenti situ. Gerakan itu pun berubah menjadi gerakan aksi damai menuntut kebebasan dan keadilan di Suriah.
Masyarakat tanpa senjata turun ke jalan-jalan terutama di hari jum’at, ternyata rezim yang pongah tidak tinggal diam dengan aksi-aksi tersebut. Demonstran yang melakukan aksi damai tanpa senjata serta merta dihadapi dengan represifitas militer. Mereka dihujani peluru dengan membabi buta baik pria dewasa, wanita, dan anak-anak. Jelas, mayat-mayat tanpa dosa pun bergelimpangan di jalan-jalan.
Revolusi pun dimulai, tembakan rezim sebagai pemicunya, berjalan hingga kini dengan penuh pengorbanan puluhan ribu kaum Muslimin dibantai pasukan Assad selama 22 bulan. Dimana, sudah membuahkan hasil yang manis dengan kekalahan-kekalahan pasukan rezim di seluruh Suriah, insyaAllah Bashar Assad akan tumbang.
“Ternyata tidak seperti yang saya duga , revolusi Suriah benar-benar hanya karena sebuah kata ‘Hurriyah..’, ini yang menjadi inthilaqnya (titik berangkat) ” tutup Umar penuh takjub sembari meyakini Allah menurunkan pertolongan tanpa diduga-duga. (bilal/arrahmah.com)