Sarah Zaffar berhenti di depan lampu merah dekat Pantai Huntington, California – kota yang didominasi kalangan pro-Trump – saat sebuah truk besar menghampiri dan berhenti di sampingnya.
“Hey, hey!” seru seorang pria berkulit putih dengan potongan rambut cepak mengenakan kaos tanpa lengan, mencoba mendapatkan perhatiannya.
“Maksudmu?” Kata Zaffar sambil mengacuhkan nada bicara laki-laki itu.
“Hey! Kamu cantik. Kenapa kamu tidak memberikan nomor (telepon), sehingga saya dapat mengirimkan kamu keluar dari negara ini,” lanjut lelaki itu. Zaffar terus mengabaikannya.
Hari itu Kamis, hanya berselang dua hari setelah pemilihan presiden. Ironisnya, mahasiswi pasca-sarjana psikologi yang berusia 29 tahun sedang dalam perjalanan pulang setelah mengikuti kelas multikulturalisme, tempat mereka mendiskusikan cara-cara efektif mengintegrasikan minoritas ke dalam sistem pendidikan. Hari itu Zaffar mengenakan tank top dengan rambut terurai – bahkan tidak mengindikasikan bahwa ia adalah seorang Muslim Amerika keturunan Pakistan, kecuali lewat kulitnya yang kecoklatan.
“Hey, coba lihat yang saya punya!” ujar laki-laki itu. Zaffar akhirnya menoleh dan di tangan laki-laki itu ia melihat sejenis senjata. Perak dan mengkilap. Dia yakin bahwa itu adalah sebuah pisau. Dengan cepat, ia menutup jendela mobilnya. Begitu lampu lalu lintas berganti hijau, Zaffar melesat. Merasa ketakutan, ia tak henti-hentinya menoleh kaca spion untuk memastikan ia tidak diikuti hingga sampai di apartemennya.
Keesokan harinya, Zaffar mendatangi kantor polisi untuk melaporkan kejadian tersebut.
“Saya tidak pernah mengalami kejadian ini sebelumnya,” tutur Zaffar. “Saya masih sedikit terguncang. Kejadian semacam ini menanam benih ketakutan di dalam diri siapapun.”
Sepanjang kampanye, Donald Trump memanfaatkan retorika yang dibumbui xenofobia untuk menyerang kelompok minoritas sambil meraih dukungan dari kalangan kulit putih Amerika yang mengalami kesulitan ekonomi. Pasca pemilu, Trump menegaskan kembali dukungannya terhadap kebijakan anti-Muslim – seperti menolak pengungsi yang melarikan diri dari krisis kemanusiaan di “wilayah rawan teror”. Badan Relasi Islam-Amerika (CAIR) telah mencatat lebih dari 100 insiden anti-Muslim sejak hari pemilihan. Di New York, Gubernur Andrew Cuomo terpaksa membuat unit khusus untuk mengatasi lonjakan kejahatan yang didasari oleh kebencian terhadap Islam di seluruh penjuru New York.
Seiring meningkatnya ketakutan sebagai dampak kejahatan dan diskriminasi rasial, presiden Trump menyebarkan wabah yang mengancam kesehatan publik bagi komunitas Muslim, kata Bob Fullilove, profesor dan dekan urusan masyarakat dan kalangan minoritas di Universitas Columbia.
Penelitian yang dilakukan dekade demi dekade terhadap masyarakat minoritas telah mendokumentasikan bagaimana stres akibat stigma, intimidasi dan diskriminasi merugikan kesehatan fisik dan mental. Efek ini semakin mencemaskan komunitas Muslim pasca dimenangkannya pemilu oleh seorang tokoh yang gigih memberikan landasan legal bagi Islamofobia.
Menurut penelitian, Islamofobia berkait kelindan dengan memburuknya psikologis kalangan Muslim. Sebuah studi mengenai diskriminasi kalangan orang Amerika Arab di Detroit pasca 11 September memperlihatkan diskriminasi meninggikan angka tekanan jiwa, menurunkan tingkat kebahagiaan serta memperburuk kesehatan kalangan Muslim.
Islamofobia juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian tentang pengungsi Irak yang tinggal di AS pasca 11 September menemukan bahwa pemicu stres yang berhubungan dengan ras berkorelasi dengan gangguan neurologis, pernapasan, pencernaan dan darah.
Ancaman kesehatan diperkirakan semakin bertambah jika Trump meneruskan usulannya, Registrasi Muslim. Aksi memata-matai Muslim Amerika ini disinyalir memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan mental, terutama paranoia subklinis dan kecemasan.
Stres yang berkelanjutan akibat sinisme bias agama ini dapat menyebabkan memburuknya kesehatan secara dini, sebuah fenomena yang dikenal sebagai efek pelapukan, kata Merlin Chowkwanyun, asisten profesor ilmu kesehatan sosial di Columbia University Mailman School of Public Health.
“Untuk terus-terusan khawatir bahwa Anda mungkin harus melakukan registrasi, menaruh nama Anda dalam database atau sejenisnya akan menyebabkan beberapa keausan [pada tubuh Anda],” kata Chowkwanyun.
Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa baik pasien Muslim maupun penyedia layanan kesehatan menghadapi diskriminasi agama dalam sistem kesehatan itu sendiri. Seiring pemerintahan Trump terus menargetkan dan menstigmatisasi Muslim, dapat dipastikan berpengaruh negatif pada bagaimana komunitas ini berinteraksi dengan sistem dan penyedia layanan kesehatan.
“Siapapun takut untuk pergi ke klinik, membuat janji dengan dokter, memasuki ruang gawat darurat karena bagaimanapun identitas mereka akan dipertanyakan, status imigrasi mereka akan diinterogasi,” kata Fullilove. “Semua hal yang akan membuat orang enggan mengakses layanan yang kita tahu akan membantu siapapun untuk sehat.”
Selain itu, stigma kesehatan jiwa terus menjadi hambatan yang signifikan untuk mengakses berbagai layanan di antara banyak komunitas Muslim dan imigran. Dan banyak dokter mungkin tidak cukup mampu untuk mengobati penyakit mental yang timbul dari Islamofobia.
“Kebanyakan psikolog dan psikiater secara klinis tidak dibekali cukup wawasan untuk mendiagnosa dan menangani masalah mereka, kecuali hanya pengetahuan tentang konteks sosial dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi kesehatan mental,” lanjut Chowkwanyun.
Jika Trump memenuhi janjinya untuk mencabut atau mereformasi Undang-Undang Perawatan Terjangkau (ACA), fenomena ini akan lebih parah. ACA adalah kebijakan kesehatan masyarakat yang memungkinkan jutaan orang yang tidak pernah memiliki asuransi kesehatan sebelumnya mampu mengakses perawatan preventif. Menghapus ketentuan kesehatan masyarakat yang ramah ini akan mempersulit para profesional medis untuk melaksanakan intervensi, program dan kebijakan yang diperlukan untuk meningkatan kesehatan masyarakat. (althaf/arrahmah.com)