Oleh: Adnin Armas
(Arrahmah.com) – Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV ONE, Hari Selasa, 11 Oktober 2016 membahas tema “Setelah Ahok Minta Maaf.”
Seperti biasanya, ILC menampilkan berbagai narasumber pro kontra dan berbagai pihak lain yang terkait dengan persoalan yang sedang hangat dibahas. Banyak hal penting bisa menjadi catatan dalam acara ILC tersebut. Namun, saya ingin fokus kepada pikiran Nusron Wahid (NW) karena gagasan subjektivisme (‘indiyyah) tampak begitu jelas dalam ungkapan kata katanya.
Dalam pandangan NW, orang yang mengucapkan yang paling tahu tentang maksud yang diungkapkannya. Implisit di dalam pernyataan itu, bagi NW, kebenaran adalah menurut masing masing. Dalam konteks al-Qur’an, Hanya Allah yang paling tahu maksud yang dikandung di dalam al-Qur’an. NW menegaskan dengan penuh percaya diri, multi tafsir adalah keharusan yang harus dipertahankan.
Jika pemikiran Nusron Wahid diterapkan dalam memahami ajaran Islam, maka tidak ada pemahaman yang objektif bisa diraih karena kebenaran tergantung kepada masing masing orang. Pemikiran NW ahistoris dan tidak realistis. Saat TV ONE mengundangnya untuk hadir sebagai narasumber untuk hadir di acara ILC, Selasa, jam 19.30 tanggal 11 Oktober 2016, NW hadir. Para narasumber lainnya juga hadir. NW dan semua narasumber bisa memahami jika acaranya Hari Selasa, bukan Hari Rabu. Semua memahami, acaranya tanggal 11 Oktober, bukan Selasa tanggal 18 Oktober.
Semua memahami bukan tahun depan, tapi tahun ini. Semua memahami lokasinya di Studio TV ONE, bukan di Studio RCTI. Fenomena ini menunjukkan NW dan narasumber lainnya tidak menafsirkan undangan TV ONE menurut masing masing. Jika ditafsirkan menurut masing masing dan Hanya Allah paling tahu, maka acara ILC tidak akan pernah dihadiri oleh para narasumber dari beragam unsur.
Sama halnya, jika agama ditafsirkan menurut masing masing dan Hanya Allah yang Tahu¸ umat Islam akan berhaji menurut masing masing.Namun, kenyataannya NW tetap berhaji ke Mekkah. Ratusan juta umat Islam sejak zaman Nabi hingga Akhir Zaman sudah, sedang dan akan selalu tetap berhaji ke Mekkah.
Ini menunjukkan gagasan subjektivismeyang dikemukakan NW adalah utopia, ahistoris dan tidak realistis. Sama halnya, umat Islam setiap hari melakukan shalat. Tidak ada satupun makmum membelakangi Imam.
Termasuk NW juga tidak membelakangi imam. Tidak bisa masing masing menafsirkan menurut masing masing. Jika shalat menurut masing masing, maka tidak akan pernah ada shalat berjamaah.
Banyak contoh lain bisa disebutkan untuk menunjukkan tidak logis, ahistoris dan tidak realistisnya pendapat NW dalam memahami Islam. Jika pikiran NW diikuti, dan sesungguhnya tidak akan pernah diikuti, karena kebenaran menurut masing masing, maka tiada pemahaman yang terjadi, apalagi kesepakatan dalam beragama, bernegara dan dalam kehidupan. Konsekwensi pikiran NW adalah umat Islam sepanjang zaman hidup dalam fatamorgana kebenaran.
Umat Islam akan terombang ambing dalam pemahaman ajaran Islam. Kebenaran dalam pandangan NW hanya berlaku menurut diri masing masing. Artinya, pikiran NW menjustifikasi segala bentuk kesesatan dan penyimpangan karena tidak pernah ada kebenaran objektif.
(*/arrahmah.com)