(Arrahmah.com) – Dalam sepuluh hari terakhir Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersungguh-sungguh terhadap hal-hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya, karena itu beliau beri’tikaf pada hari tersebut dan dipergunakannya untuk mencari Lailatul Qadar.
Dalam As-Shahihain, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli istrinya).” (HR. Al-Bukhari).
Imam Muslim menambahkan, “Dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya.”
Kalimat “wasadda mi’zarahu” maknanya adalah kiasan dari sebuah persiapan untuk beribadah dan bersungguh-sungguh padanya melebihi dari biasanya, artinya mengoptimalkan ibadah. Seperti dikatakan dalam bahasa Arab Syadadtu lihadzal amri mi’zari yakni memperkuat dan mengencangkan kainku demi urusan ini.
Dan menurut pendapat lain maknanya adalah kiasan dari menjauhkan diri dari menggauli istrinya. Makna ini yang paling tepat karena kiasan seperti ini telah terkenal di kalangan orang Arab, sebagaimana dalam syairnya:
Suatu kaum apabila berperang,
Mereka mengencangkan kainnya,
Kemudian tidak menggauli istrinya,
Kendatipun dalam keadaan suci.
Dan makna “ahyal laila” ialah mengisi malam dengan melakukan shalat dan lainnya sebagaimana dikatakan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku tidak tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam membaca Al-Qur’an tamat (selesai) satu malam, juga qiyamullail semalam suntuk sampai Shubuh, serta puasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan.” (HR. An-Nasa’i).
Maka kalimat “ahyal lail” dapat diartikan melakukan qiyamullail pada sebagian besar malam atau semalam suntuk selain waktu Isya’ dan sahur, maka jadilah maksudnya menghidupkan sebagian besar malam. Dan makna “wa aiqazha ahlahu” ialah beliau membangunkan istri-istrinya agar melakukan shalat qiyamullail, dan sudah dimaklumi bahwa beliau senantiasa membangunkan keluarganya di sepanjang tahun tetapi tidak untuk semalam suntuk, dalam Shahih Al-Bukhari dikatakan, “Pada suatu malam, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bangun dan berkata,
‘Subhanallah fitnah apa yang akan diturunkan pada malam ini.. dan apa yang akan diturunkan dari perbendaharaan.. dan siapa yang dapat membangunkan orang yang sedang tidur di kamarnya .. betapa banyak orang yang berpakaian di dunianya tetapi telanjang di akhiratnya.” (HR. Al-Bukhari).
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam membangunkan Aisyah radhiallahu ‘anhu apabila beliau hendak melakukan shalat witir, akan tetapi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan beliau membangunkan keluarganya lebih tampak jelas dari hari-hari yang lainnya.
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid dengan niat taat kepada Allah Ta’ala. Ia disyari’atkan dan hukumnya sunnah menurut kesepakatan para ulama. Imam Ahmad berkata “Saya tidak tahu komentar seorang pun dari para ulama kecuali i’tikaf itu disunnahkan.” Imam Malik berkata, “Saya telah merenungkan masalah i’tikaf serta hadits-hadits tentangnya, tapi kenapa kaum muslim meninggalkannya? Padahal Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam belum pernah meninggalkannya, menurut saya mereka meninggalkannya karena terasa berat oleh mereka.” Dan beliau berkata, “Saya tidak mendapatkan seorang pun dari salaf bahwa yang beri’tikaf itu hanya Abu Bakar bin Abdur Rahman saja.” Apa yang dikatakan Imam Malik ini sebenarnya telah didapatkan dari orang-orang salaf ternyata mereka beri’tikaf.
Az-Zuhri rahimahullah Berkata, “Saya heran melihat kaum muslim! Kenapa mereka meninggalkan i’tikaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tidak pernah meninggalkannya sejak kedatangannya ke Madinah sampai Allah menjemputnya.”
Rahasia i’tikaf
Sesungguhnya dalam ibadah terdapat rahasia dan hikmah yang banyak, karena poros amal itu ada pada hati, sebagaimana dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam dalam haditsnya,
“Ingatlah sesungguhnya pada jasad itu terdapat segumpal darah, bila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan bila rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kebanyakan yang merusak hati itu adalah permainan yang melalaikan dan berbagai aktifitas yang memalingkan dari Allah Ta’ala, seperti makanan dan minuman yang berlebih-lebihan, perempuan, banyak bicara, banyak tidur, banyak persahabatan dan yang lainnya dari hal-hal yang membuat hati rusak dan hilangnya ketaatan kepada Allah, maka Allah Ta’ala kemudian mensyari’atkan berbagai bentuk penghambaan kepada-Nya demi terjaganya hati, puasa misalnya, itu sebagai sarana untuk memperkuat perjalanan seseorang menuju Allah Ta’ala dan menyelamatkan diri dari tipuan syahwat yang selalu memalingkan dia sehingga asik dengan urusan dunia dan lupa akan akhirat.
Sesungguhnya menahan diri dari segala keinginan di saat berpuasa adalah penahanan yang seimbang, tidak seperti pada agama dan ajaran-ajaran yang lain di mana mereka melakukannya dengan ghuluw (berlebih-lebihan) seperti puasa sebu-lan penuh siang dan malam, atau tidak makan dan minum serta tidak tidur dalam beberapa hari, atau mengubur diri, atau menganiaya diri, atau yang lainnya; ini semua tidak terdapat dalam ajaran Islam, tetapi yang ada adalah puasa yang seimbang (tidak berlebih-lebihan) yang dengannya lahirlah pembinaan diri, pemeliharaan hati, dan peningkatan ruh.
Sebagaimana puasa merupakan perisai hati dari segala bentuk yang bernuansa hawa nafsu seperti berlebih-lebihan dalam makan dan minum serta berhubungan suami istri, maka juga sama halnya dengan i’tikaf di dalamnya terdapat rahasia yang agung yaitu memelihara seseorang dari pengaruh persahabatan yang berlebih-lebihan, karena persahabatan terkadang membawa dia keluar dari koridornya, maka keadaannya laksana orang sakit perut dikarenakan makanan yang ia makan.
Penyair berkata:
Bisa jadi musuh itu datang dari temanmu,
Maka janganlah memperbanyak persahabatan,
Karena penyakit seringkali terjadi,
Disebabkan makanan dan minuman.
Di samping itu i’tikaf juga bisa menjaga hati dari segala bahaya lisan karena di saat i’tikaf ia mengkonsentrasikan dirinya kepada Allah Ta’ala melalui shalat, baca Al-Qur’an, dzikir, berdoa, dan yang lainnya. I’tikaf juga bisa menjaga seseorang dari banyak tidur, karena ketika itu ia sedang bertaqarrub kepada Allah dengan berbagai macam ibadah, bukan untuk tidur di masjid.
Dengan demikian seseorang tidak dapat dipungkiri keberhasilannya dalam upaya penyelamatan dirinya dari penyakit persahabatan, bicara, dan tidur melalui infestasi i’tikaf yang ia lakukan.
Memadukan shaum (puasa) dan i’tikaf
Tidak dapat dipungkiri bahwa berpadunya beberapa faktor untuk menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi dari ketaatan kepada Allah, itu akan lebih dapat menjadikan seseorang lebih terfokus dalam beribadah kepada Allah Ta’ala karena itu para salaf menyunnahkan untuk memadukan antara shaum (puasa) dan i’tikaf, sehingga Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak pernah diriwayatkan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bahwa beliau beri’tikaf dalam keadaan tidak puasa.” Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Tidak ada i’tikaf kecuali dalam keadaan puasa.” (HR. Abu Daud).
Allah tidak pernah menyebut I’tikaf kecuali selalu diiringi dengan shaum, Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam juga tidak pernah melakukannya kecuali diiringi dengan shaum.
Maka pendapat yang kuat menurut mayoritas salaf: “Bahwa puasa adalah syarat i’tikaf,” pendapat ini diperkuat juga oleh Syaikh Islam Abdul Abbas Ibnu Taimiyyah.
Mengenai masalah puasa syarat i’tikaf telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dan ini adalah pendapat Imam Malik, Al-Auza’i, dan Abu Hanifah. Adapun pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafi’i tentang hal ini masih diperselisihkan, dan mengenai perkataan Imam Ibnul Qayyim tentang “Tidak diriwayatkan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bahwa beliau beri’tikaf dalam keadaan tidak puasa.” Pernyataan tersebut perlu ditinjau kembali, karena dalam riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam sempat i’tikaf pada bulan Syawwal (Al-Bukhari dan Muslim) dan tidak ada kepastian pada waktu itu beliau puasa atau tidak. Maka yang paling tepat adalah orang yang melaksanakan i’tikaf disunnahkan untuk berpuasa, tetapi puasa itu bukan syarat sahnya i’tikaf.
I’tikaf Bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam beri’tikaf pada sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan, beliau juga pernah i’tikaf pada sepuluh hari pertengahan, di situlah beliau mencari Lailatul Qadar, tetapi setelah mendapatkan kejelasan bahwa Lailatul Qadar terdapat pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka beliau membiasakan i’tikaf pada hari-hari tersebut. Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan pada bulan Ramadhan, ketika sudah lewat dua puluh malam dan masuk di malam kedua puluh satu, beliau pulang ke rumahnya begitu juga orang-orang yang ikut bersamanya, tetapi kemudian beliau melaksanakan lagi pada bulan yang sama, lalu berkhutbah dan berkata,
‘Sesungguhnya aku baru saja beri’tikaf pada sepuluh hari (pertengahan), kemudian telah jelas bagiku untuk aku beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir ini, maka siapa yang i’tikaf bersamaku hendaklah ia mabit (tidur) di tempat i’tikafnya, karena aku telah melihat lailatul qadar, tetapi aku lupa lagi (hari dan tanggalnya) karena itu carilah pada sepuluh hari terakhir pada setiap hitungan yang ganjil, dan sungguh aku telah mimpi bersujud dalam keadaan basah dengan air dan berlumuran dengan tanah.” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Abu Sa’id berkata, “Pada malam ke-21 kami diguyuri hujan sehingga atap masjid bocor dengan air hujan, aku melihat beliau shallallahu ‘alaihui wasallam selesai melaksanakan shalat Shubuh wajahnya basah dengan air hujan yang sudah bercampur dengan debu, maka sangat benarlah apa yang dikatakan olehnya (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan inilah sebagian dari tanda kenabiannya.”
Kemudian setelah itu, beliau senantiasa melaksanakan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir sebagaimana dikatakan dalam Shahihain dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha: “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam senantiasa melaksanakan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau menemui ajalnya, kemudian istri-istri beliau melaksanakan i’tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan pada tahun kewafatannya beliau melaksanakan i’tikaf sampai dua puluh hari yaitu sepuluh hari pertengahan dan sepuluh hari terakhir, hal tersebut karena ada beberapa faktor:
Pertama: Pada tahun tersebut jibril mengajak beliau untuk mudarasah Al-Qur’an dua kali, maka tepatlah kalau beliau melaksanakan i’tikaf sampai dua kali, sehingga tercapai apa yang diinginkan.
Kedua: Beliau shallallahu ‘alaihui wasallam berkeinginan keras untuk melipatgandakan amal shalehnya serta ketaatannya kepada Allah Ta’ala, bisa jadi karena perasaan beliau akan dekatnya ajal. Sebagaimana dipahami dari firman Allah Ta’ala,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3).
Dalam surat tersebut Allah Ta’ala menyuruh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihui wasallam untuk memperbanyak tasbih dan beristighfar di akhir usianya, maka begitulah beliau dalam ruku dan sujudnya sering berdoa dengan: “Subhanakallahumma Wabihamdika Allahumagfirli” (Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu, ya Allah, aku memohon ampun).
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melakukan hal tersebut karena ingin mewujudkan rasa syukurnya kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang telah diberikan kepadanya seperti amal shaleh, jihad, ta’lim, puasa, qiyamullail, keistimewaannya, turunnya Al-Qur’an, dan yang lainnya. Faktor inilah faktor yang paling tampak –wallahu a’lam– yang memotifasi beliau beri’tikaf sampai dua puluh hari pada tahun kewafatannya.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam memulai i’tikafnya sebelum matahari terbenam, misalnya jika seseorang mau i’tikaf pada sepuluh hari pertengahan hendaknya dia masuk masjid pada malam kesebelas sebelum terbenam matahari, dan apabila i’tikafnya pada sepuluh hari terakhir hendaknya ia masuk masjid pada malam ke-21 sebelum terbenam matahari.
Adapun riwayat yang terdapat dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam sehabis shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya, maksudnya ke tempat khusus bukan tempat i’tikaf beliau, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa beliau beri’tikaf pada sebuah kubah turkiyyah (kubah buatan Turki).
Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam di saat i’tikaf sempat mengeluarkan kepalanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha yang sedang ada di kamarnya, kemudian ia mencucinya dan menyisir rambutnya padahal ia sedang haid. Begitulah yang dikatakan dalam Shahihain. Dan dalam Mus-nad Ahmad dikatakan beliau bersandar ke pintu kamar Aisyah, lalu mengeluarkan kepalanya kemudian Aisyah menyisir rambutnya.
Dengan hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang mu’takif (orang yang beri’tikaf) tidak apa-apa mengeluarkan sebagian anggota badannya seperti tangan, kaki, atau kepala. Begitu juga wanita haid tidak apa-apa memasukkan tangan atau kakinya ke masjid, karena hal tersebut tidak termasuk kategori masuk masjid. Faidah lain dari hadits di atas ialah: bahwa seorang mu’takif tidak berdosa apabila mandi, pakai parfum, mencuci kepalanya, serta menyisir rambutnya, itu semuanya tidak membatalkan i’tikaf.
Sebagian peristiwa yang terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam di saat melaksanakan i’tikaf adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam apabila mau i’tikaf beliau shalat fajar (Shubuh) kemudian masuk ke tempat i’tikafnya, dan sesungguhnya beliau meminta agar dibuatkan baginya kamar khusus, maka dibuatkanlah, ketika itu beliau merencanakan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir, pada waktu yang sama istri beliau Zainab meminta agar dibuatkan baginya kamar khusus maka dibuatkanlah, begitu juga istri beliau yang lainnya meminta agar dibuatkan kamar khusus maka dibuatkanlah, sehabis shalat fajar Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melihat kamar-kamar khusus tersebut, lalu berkata, ‘Apakah kebaikan yang kalian inginkan?’ Maka beliau menyuruh membongkarnya, maka dibongkarlah kamar-kamar tersebut. Akhirnya Nabi membatalkan rencana i’tikafnya pada bulan Ramadhan tersebut dan menggantikannya di sepuluh hari pertama pada bulan Syawwal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Makna “albirro turidna” ialah apakah yang memotifasi perbuatan ini, kebaikan atau karena cemburu ingin dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Yang jelas dari hadits tersebut wallahu a’lam bahwa i’tikafnya beliau shallallahu ‘alaihui wasallam pada bulan Syawwal di tahun yang sama mulainya setelah hari ‘Ied yakni ada tanggal 2 Syawwal, tetapi mungkin juga beliau memulainya pada hari ‘ied, jika hal ini shahih maka itu menjadi dalil bahwa dalam i’tikaf tidak disyaratkan puasa, karena pada hari ‘Ied tidak boleh puasa.
Peristiwa lain yang terjadi dalam i’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam adalah: “Shafiyah istri Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam sempat datang menemui beliau di masjid ketika i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka ia berbincang-bincang bersamanya sekitar satu jam, kemudian berdiri untuk pulang, Nabi pun ikut berdiri lalu menciumnya, ketika sampai di pintu masjid dekat pintu Ummu Salamah, tiba-tiba lewat dua orang laki-laki dan mengucapkan salam kepada beliau.
Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berkata kepada mereka, ‘Jangan tergesa-gesa! Dia itu Shafiyah binti Huyay. ’ Kata mereka dengan penuh keterkejutan ‘Subhanallah Ya Rasulullah!’ Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berkata, ‘Sesungguhnya syetan merasuk manusia sesuai dengan aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir ada sesuatu yang dilemparkan pada hati kalian,” dalam lafazh lain ‘kejahatan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Karena besarnya perhatian beliau shallallahu ‘alaihui wasallam akan kebenaran iman dua sahabat Anshar, serta kekhawatirannya terjadi sesuatu pada hati mereka akibat ulah syetan yang pada akhirnya mereka ragu-ragu terhadap kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam lantas mereka menjadi orang kafir atau mereka disibukkan dengan mengkonter bisikan syetan seperti ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menjelaskan duduk perkaranya bahwa dia itu adalah istrinya Shafiyah radhiallahu ‘anha.
Begitulah salah satu kisah yang terjadi pada i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya dalam kisah tersebut terdapat hikmah dan pelajaran yang baik bila kita cermati, kalaulah tidak khawatir keluar dari bahasan kita.
Catatan Penting Seputar I’tikaf
Pertama: beberapa para analis berpendapat bahwa tidak ada syari’at i’tikaf selain pada tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjid Nabawi. Pendapat yang benar adalah i’tikaf boleh diselenggarakan di setiap masjid yang didirikan padanya shalat lima waktu. Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (Al-Baqarah: 187).
Maka kata “fil masjid” kata umum menunjukkan bolehnya beri’tikaf pada setiap masjid, tetapi dianjurkan diselenggarakan pada masjid jami’ sehingga seorang mu’takif tidak usah keluar masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at.
Adapun hadits,
“Tidak ada i’tikaf selain pada tiga masjid.”
Berdasarkan pendapat bahwa hadits tersebut shahih, maksudnya adalah bahwa i’tikaf yang paling sempurna dilakukan pada tiga masjid tersebut, begitulah dikatakan oleh para ulama. Akan tetapi terdapat dalam benak saya ta’wil lain dari hadits tersebut yaitu: hadits tersebut dimaksudkan untuk orang yang bernadzar i’tikaf di sebuah masjid yang jauh, maka baginya tidak usah pergi kecuali bilamana ia bernadzar i’tikaf di salah satu masjid tersebut. Misalnya seseorang bernadzar i’tikaf di masjid Jawatsa (masjid yang pertama didirikan shalat Jum’at di luar kota Madinah, masjid tersebut sampai sekarang masih dikenal), maka baginya tidak usah memaksakan diri untuk pergi ke masjid tersebut tetapi ia menggantikannya dengan salah satu masjid yang ada di negerinya, atau ia pergi ke salah satu masjid yang tiga kemudian ia beri’tikaf di sana.
Dan apabila seseorang bernadzar i’tikaf di Masjidil Haram maka wajib baginya melaksanakan nadzarnya, akan tetapi bilamana ia bernadzar i’tikaf di Masjid Nabawi misalnya, maka boleh baginya i’tikaf di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram karena Masjidil Haram lebih afdhal dari Masjidil Nabawi.
Seandainya seseorang bernadzar I’tikaf di masjidil Aqsha, maka boleh baginya I’tikaf di masjidil Aqsha atau masjidil haram dan masjid nabawi, karena keduanya lebih afdhal (utama) dari masjidil Aqsha.
Kesimpulannya, maksud hadits La i’tikafa illa fil masjidits tsalatsah” ialah: tidak ada i’tikaf yang dilakukan karena nadzar dan di sebuah masjid yang harus ditempuh dengan perjalanan yang jauh, dan bahwasanya i’tikaf boleh dilakukan pada setiap masjid jami’ sebagaimana ijma’nya para ulama –imam yang empat– dan tidak ada satu pun dari ulama yang terkenal baik imam yang empat atau imam yang sepuluh serta yang lainnya mengatakan tidak ada i’tikaf selain di tiga masjid kecuali Hudzaifah radhiallahu ‘anhu dan satu atau dua orang saja dari Salaf.
Kedua: Sebagian orang masih ada yang mengira bahwa i’tikaf sebagai kesempatan untuk mengasingkan diri dari teman-teman dan handai taulannya sekaligus memutuskan pembi-caraan dengan mereka, hal ini tidak baik.
Tidak ada salahnya i’tikaf dilakukan secara berjama’ah di masjid, Nabi sendiri sempat i’tikaf bersama istri-istrinya, bahkan sebagian mereka ada yang sedang istihadah, karena itu tidak berdosa seseorang beri’tikaf bersama temannya, kerabatnya, dan istrinya. Yang tidak dibolehkan manakala i’tikaf dijadikan sebagai kesempatan untuk begadang, ngobrol kesana kemari dan sebagainya. Imam Ibnul Qayyim setelah mengkritisi apa yang dilakukan sebagian orang-orang yang bodoh di mana mereka menjadikan i’tikaf sebagai ajang untuk ngobrol, menarik orang-orang pendatang serta tempat persahabatan, beliau berkata, “I’tikaf mereka berada pada suatu model, dan i’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berada pada model yang lain.”
Ketiga: Sebagian orang ada yang meninggalkan pekerjaan dan tugasnya serta kewajibannya hanya karena i’tikaf, perbuatan seperti ini tidak baik, karena tidak dikatakan adil manakala seseorang meninggalkan yang wajib agar dapat melaksanakan yang sunnah, oleh karena itu, wajib bagi mereka yang telah meninggalkan kewajibannya untuk menghentikan i’tikafnya dan kembali kepada kewajibannya.
(alsofwah/arrahmah.com)