JAKARTA (Arrahmah.com) – Dari perbincangan arrahmah.com, dalam waktu yang terpisah dengan beberapa pengamat, praktisi dan aktifis pergerakan Islam antara lain Din Syamsuddin (PP Muhammadiayah), ustadz Abu Muhammad Jibriel (MMI), Mustofa B. Nahrawardaya (IJF), dan Hariadi Nasution (Pushami). Ada benang merah yang nyata dari beberapa rangkaian peristiwa belakangan ini yang dilakoni oleh BNPT dan Densus 88. Berikut catannya.
Isu dan kampanye apa yang dinamakan dengan terorisme, telah membuat bangsa ini karut marut. Terpecah belah dalam pro kontra; saudara-saudara muslim habis tenaganya mengurus peredebatan, pembelaan, provokasi dan lain-lain yang terkait dengan isu itu. Kaum muslimin yang paling menderita dalam hal ini. Padahal pekerjaan umat Islam sangat banyak untuk menjadiakan negeri tunduk di bawah syari’at Allah Ta’ala.
Nampaknya penguasa negeri ini dengan aparat-aparat di bawahnya ingin tetap mempertahankan terorisme di negeri ini. Terbukti dengan cara-cara penanganan orang-orang yang dituduh teroris seperti itu; melanggar hukum, menebar teror, kejam dan sadis. Hal ini malah memupuk teroris di bumi Indonesia. Padahal, kata Hariadi Nasution (Ombat Nasution), di seluruh dunia isu teroris sudah usang, hanya di Indonesia yang masih laku. Karena itu masyarakat bawah bertanya-tanya, ada apa ini sesungguhnya, siapa yang memainkan isu terorisme, siapa yang merancang supaya terorisme tetap ada di Indonesia. Jika terus hal ini dilakukan maka ke depan Indonesis akan memanen apa yang ditanam hari ini. Siapa menabur angin, akan menuai badai.
Maka siapa yang rugi? Siapa yang menjadi korban? Dan siapa pula yang mendapatkan keuntungan dari ini semua? Kaum muslimin adalah yang paling dirugikan dalam hal ini. Tentunya korban-korban kekerasan Densus 88 juga adalah kaum muslimin. Apakah pernah peluru senjata Densus 88 menyalak orang selain muslim? Apakah pernah senjata Densus 88 diarahkan, ditodongkan kepada orag kafir? Namun yang diuntungkan adalah elit rezim signifikan negeri ini yang keji menggadaikan jiwa-jiwa dan darah-darah kaum muslimin.
Padahal bangsa ini bangsa yang besar, punya tradisi yang bagus dalam bermusyawarah. Tengoklah sejarah pergerakan, pemikiran dan perdebatan di negeri ini. Mereka menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa dengan bermusyawarah.
Tetapi tidak untuk hari ini. Mereka berideolgi anti Islam, bahkan memusuhi Islam. Pantas kiranya mereka melakukan kedzaliman kepada umat Islam tak terkecuali para ulamanya. Seorang ulama yang sudah sepuh ditangkap dijebloskan ke penjara dengan cara-cara yang kasar dan tanpa prosedur. Rezim signifikan Indonesia hari ini menjadi antek zionis memerangi kaum kaum muslimin.
Alih-alih pemerintah memperbaiki cara-cara dalam menaggulangi bahaya teror di masyarakat, negara malah melakukan teror balik kepada masyarakat khususnya umat Islam. Densus 88 menunjukkan kesombongan jahiliyah, seolah olah mereka hendak mengatakan bahwa kami eksis dan tidak ada yang bisa membubarkannya. Densus 88 bangga dan congkak merasa sebagai tangan penguasa yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.
Negara menakut-nakuti umat Islam dengan menggembok idiom-idiom yang ada pada agama Islam. Ada upaya yang sistematis untuk menutup kata-kata kunci dalam Islam, seperti jihad, fa’i, ta’lim, silaturrahim, thoghut, rohis, dan khilafah. Istilah dalam Islam itu mau dihilangkan dan supaya ditakuti sendiri oleh umat Islam, paranoid. Umat Islam sendiri dibuat phobi dengan kata-kata tersebut. Dalam bahasa Abu Jibriel menakut-nakuti umat Islam yang sedang berjihad agar tidak adalagi jiwa-jiwa mujahidin muncul di Indonesia.
Masyarakat bawah juga akhirnya mulai kritis melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dikaitkan dengan isu terorisme. Masa sih untuk menangkap seorang warga biasa saja, dilakukan dengan puluhan personel Densus dengan senjata lengkap. Seberapa bahayanya sih orang tersebut? Masyarakat sudah jenuh melihat kebohongan ini, “sandiwara”, katanya. ” Bohong, semua sudah diatur,” tambah yang lainnya. Jangankan dalam kasus sperti ini, yang di dalamnya penuh intrik intelejen, dalam kriminal murni pun banyak sekali rekayasanya.
Boleh jadi ini jadi bahan jualan yang sangat tinggi di luar negeri, sudah menjadi rahasia umum densus 88 melimpah dengan materi, dari mulai peralatan tempurnya sampai kesejahteraan personelnya. Sehingga Din Syamsuddin meminta DPR dan BPK mengusut aliran dana BNPT dan Densus 88. Densus 88 adalah tangan penguasa yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.
Upaya memecah belah muslim Indonesia adalah adalah rencana basarnya. Kasus-kasus “terorisme” dalam bahasa umum, membawa umat Islam pada pro kontra berkepanjangan dan tak kunjung usai. Belum lagi istilah deradikalisasi yang ditelorkan oleh BNPT, adalah istilah yang menyesatkan. Melalui ideologi deradikalisasi ini jugalah muslim dipecah belah. Beberapa orang atau Ormas dari unsur umat Islam diajak untuk ikut dalam kampanye menyesatkan itu. Bertarunglah saudara-saudara muslim yang berideologi sama dan ditonton jutaan umat Islam.
Ajaran jihad yang mulia terdegradasi oleh publikasi media masa. Media masa berpihak. Omong kosong tidak berpihak.Hampir semua media tidak melakukan peliputan dari dua sisi. Media masa hanya mengambil sumber dari satu mulut, yakni polisi, tidak ada cek silang dan meliput dari sisi korban. Bahkan ada media masa umum yang menjadi public relations dari lembaga dan aparat jahat.
(azmuttaqin/arrahmah.com)