Oleh Suci Halimatussadiah
Ibu Pemerhati Masyarakat
Idulfitri menjadi saat yang dinanti dan menjadi kegembiraan tersendiri bagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Pasalnya, negara memberikan remisi atau pemotongan masa tahanan khusus hari raya bagi sejumlah narapidana yang memenuhi syarat. Sebanyak 5.931 warga binaan di sejumlah lembaga permasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Sulawesi Selatan mendapatkan remisi khusus Idulfitri sebanyak 14 orang di antaranya langsung bebas. (ccnIndonesia.com, 11/4/2024)
Sementara itu, narapidana kasus korupsi pun mendapat remisi pada momen Lebaran tahun ini, seperti terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto. Ia kembali mendapat remisi khusus Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah. Mantan Ketua DPR RI itu mendapat diskon masa tahanan bersama 240 narapidana korupsi lainnya di Lapas Sukamiskin, Bandung. (tempo.co, 12/4/2024)
Mampukah berbagai aturan yang ada menekan angka kejahatan?
Remisi atau pemotongan masa tahanan telah lama diberlakukan di negeri ini. Namun, adanya remisi bagi narapidana nyatanya tidak mampu memberikan efek jera bagi pelakunya. Sebaliknya, remisi menjadi bukti lemahnya sistem sanksi yang diterapkan. Sebab, pemberian remisi bisa berimbas pada hilangnya rasa takut pelaku dalam melakukan kejahatan. Maka, tidak heran jika angka kejahatan makin meningkat.
Di sisi lain, sanksi pidana yang diterapkan saat ini tidak mampu menghentikan kejahatan yang ada. Sebab, sistem pidana yang menjadi rujukan bersifat tidak baku sehingga aturan yang ada bisa berubah kapan pun. Ini terjadi karena sistem yang diterapkan merupakan hukum buatan manusia. Keterbatasan akal yang dimiliki manusia menjadikan aturan yang dibuatnya tidak mampu menciptakan keadilan bagi semua, apalagi hawa nafsu dan berbagai kepentingan memungkinkan untuk memengaruhi proses pembuatan hukum yang ada.
Lemahnya sanksi yang ada diakibatkan oleh sistem sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga membuat manusia bertindak sebagai pembuat hukum tanpa peduli dengan perintah maupun larangan agama. Sekularisme pun menimbulkan lemahnya keimanan individu sehingga manusia mudah terjerumus untuk melakukan tindak kejahatan. Tingginya angka kejahatan tidak hanya menandakan lemahnya sistem sanksi dan lemahnya iman, tetapi menandakan kesejahteraan rakyat yang belum terpenuhi.
Sementara itu, peran negara dalam meminimalkan angka kejahatan hanya terpaku pada berbagai aturan semata. Namun, faktor pemicu seperti kemiskinan dan lemahnya iman tidak tersentuh, padahal kejahatan erat kaitannya dengan kemiskinan dan lemahnya keimanan. Ini terjadi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini.
Sistem yang menghalalkan sumber daya alam dikuasai oleh swasta maupun asing menjadikan negara tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Alhasil, terjadilah ketimpangan sosial yang mengakibatkan naiknya angka kejahatan.
Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan. Dalam mengatasi kejahatan, Islam tidak hanya mengatur sanksi yang tegas, tetapi memberikan tindakan preventif (pencegahan) agar kejahatan bisa diminimalkan. Dalam Islam, akidah menjadi fondasi utama yang harus ditanamkan kepada setiap individu. Kesadaran individu akan hubungannya dengan Allah menjadikannya memiliki rasa takut jika melakukan tindakan kejahatan yang merupakan perbuatan dosa. Ketaatan kepada syariat Islam ini mampu menekan angka kejahatan.
Sementara itu, negara dalam sistem Islam wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. Penerapan ekonomi Islam membuat negara leluasa mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini karena dalam pandangan Islam, SDA yang ada, haram dikuasai oleh swasta maupun asing. Alhasil, negara mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai, menstabilkan harga kebutuhan pokok agar terjangkau oleh rakyat, dan menyediakan berbagai fasilitas umum, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya secara gratis. Jaminan kesejahteraan ini tentu akan mampu meminimalkan angka kejahatan.
Di sisi lain, penerapan sanksi yang tegas dalam Islam akan membuat efek jera bagi pelaku kejahatan, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hingga hukuman mati bagi para koruptor. Pemberian sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa bagi pelaku kejahatan) dan zawajir (pencegahan) agar tidak ada individu yang melakukan tindak kejahatan yang serupa. Alhasil, angka kejahatan makin bisa diminimalkan.
Sementara itu, aturan yang diterapkan di dalam Islam bersifat baku dan tidak akan berubah. Sebab, Al-Qur’an sebagai sumber hukum dalam Islam merupakan wahyu yang berasal dari Sang Pencipta kehidupan, Allah Swt. Dalam Islam, manusia tidak diperkenankan membuat aturan/hukum, tetapi hanya diminta untuk melaksanakan aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt sebagaimana firman Allah Swt:
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Ma’idah: 50)
Namun, sempurnanya aturan Islam tidak bisa diterapkan jika kita masih bertumpu pada sistem kapitalisme sekuler yang masih bercokol. Dengan demikian, sudah saatnya kita menerapkan Islam secara menyeluruh (kafah) dalam seluruh aspek kehidupan agar pelaku kejahatan mendapatkan efek jera dan angka kejahatan bisa menurun.
Wallahua’lam bisshawab