OMDURMAN (Arrahmah.com) – Seorang remaja berusia 16 tahun tewas setelah ditembak di kepala oleh pasukan keamanan di kota Omdurman, Sudan, kata Komite Sentral Dokter Sudan dalam sebuah pernyataan.
Insiden pada Ahad (21/11/2021) terjadi selama protes yang berlanjut meskipun Perdana Menteri Abdalla Hamdok diangkat kembali dalam perjanjian politik dengan pemimpin militer Abdel Fattah al-Burhan, yang berjanji untuk membebaskan semua tahanan politik setelah berminggu-minggu kerusuhan mematikan yang dipicu oleh kudeta.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Hamdok, yang pertama kali ditunjuk setelah penggulingan pemimpin lama Omar al-Bashir dalam pemberontakan 2019, akan memimpin pemerintahan sipil teknokrat untuk masa transisi.
Kesepakatan itu ditentang dari kelompok pro-demokrasi yang menuntut pemerintahan sipil penuh. Sebagai pahlawan gerakan protes, Hamdok dengan cepat menjadi penjahat bagi sebagian orang.
“Hamdok telah menjual revolusi,” teriak pengunjuk rasa setelah kesepakatan diumumkan, lansir Al Jazeera.
Asosiasi Profesional Sudan (SPA), sebuah kelompok protes terkemuka, menyebutnya “berbahaya”.
Puluhan ribu orang bergabung dalam aksi unjuk rasa yang dijadwalkan di ibu kota, Khartoum, dan kota kembarnya Omdurman dan Bahri. Pasukan keamanan menembakkan peluru dan gas air mata untuk membubarkan mereka, kata saksi mata kepada kantor berita Reuters.
“Hamdok mengecewakan kami. Satu-satunya pilihan kami adalah jalan,” kata Omar Ibrahim, seorang pengunjuk rasa berusia 26 tahun di Khartoum.
Kudeta tersebut memicu demonstrasi massa menentang militer. Pembunuhan pada Ahad menambah jumlah orang yang tewas dalam protes sejak kudeta militer pada 25 Oktober menjadi 41, kata Komite Pusat Dokter Sudan, yang mendukung gerakan protes.
Setelah kesepakatan tercapai, Hamdok mengatakan dia telah menyetujui kesepakatan untuk mencegah lebih banyak korban.
“Darah Sudan sangat berharga, mari kita hentikan pertumpahan darah dan arahkan energi pemuda ke dalam pembangunan,” katanya pada upacara penandatanganan yang disiarkan di televisi pemerintah.
Al-Burhan mengatakan kesepakatan itu akan inklusif. “Kami tidak ingin mengecualikan siapa pun, seperti yang telah kami sepakati, Partai Kongres Nasional,” katanya, merujuk pada mantan partai penguasa al-Bashir.
Namun, perjanjian itu tidak menyebutkan Forces of Freedom and Change (FFC), koalisi sipil yang berbagi kekuasaan dengan militer sebelum kudeta.
FFC mengatakan tidak mengakui kesepakatan apa pun dengan angkatan bersenjata.
“Kami menegaskan posisi kami yang jelas dan diumumkan sebelumnya: tidak ada negosiasi dan tidak ada kemitraan dan tidak ada legitimasi untuk para putschist [orang yang mengambil bagian dalam kudeta],” ujar aliansi itu dalam sebuah pernyataan. (haninmazaya/arrahmah.com)