Hussein Kazemi telah menghadapi bahaya berkali-kali sebelumnya. Mungkin itu sebabnya remaja ini masih bisa tersenyum saat ia duduk di ranjang rumah sakit, luka peluru di kedua tangan dan kakinya dan rekaman seorang pria gila di kepalanya.
Pencari suaka dari Afghanistan, tiba dua tahun lalu dengan selamat di pelabuhan Norwegia, merupakan salah satu dari puluhan korban luka yang masih di rawat di rumah sakit setelah penyerang mengamuk di sebuah kamp musim panas yang menewaskan sedikitnya 86 orang-sebagian besar remaja dan pemuda.
Seorang warga Norwegia dengan pandangan anti-imigrasi telah ditangkap dalam serangan, yang menyebabkan sejumlah besar korban luka dan beberapa orang diduga hilang.
“Saya mengalami banyak bahaya di Afghanistan. Tapi ini adalah pengalaman terburuk yang pernah saya alami dalam hidup,” ujar pria berusia belasan tahun tersebut dalam sebuah wawancara dua hari setelah serangan.
Meski begitu, ia masih memiliki pandangan positif dari rumah adopsinya. “Aku mengalami banyak hal baik di Norwegia, begitu banyak yang baik,” ungkapnya.
Banyak imigran atau imigran anak-anak yang berada di kamp itu, sebuah acara tahunan yang diselenggarakan aktivis Partai Buruh Norwegia. Kazemi mengatakan penembakan dimulai tak lama setelah ia selesai bermain pertandungan sepak bola.
Pemerintah liberal Norwegia relatif terbuka untuk pencari suaka dari negara yang tengah dilanda perang. Ini merupakan keluhan utama dalam kata-kata kasar yang dipublikasikan secara online oleh seorang pria bersenjata berusia 32 tahun yang menyatakan visinya ingin membersihkan Eropa dari Muslim.
Kazemi mengatakan pria bersenjata itu tampaknya tidak menargetkan perkemahan berdasarkan agama tertentu.
“Dia sepertinya ingin membunuh semua orang. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindar,” ujarnya dalam sebuah komentar yang diterjemahkan oleh kaka tirinya dari bahasa aslinya ke bahasa Inggris.
“Jadi aku menjatuhkan tubuhku, namun aku tidak mengetahui apapun,” ujarnya.
Kemudian ia melihat pria bersenjata. Orang-orang disekelilingnya jatuh akibat tembakan. Ia mengejar orang-orang yang selamat dengan berlari cepat selama sepuluh menit menuju hutan.
Ketika ia mencapai garis pantai berbatu, terengah-engah karena kelelahan, teman-teman Kazemi menatap ke arah Kazemi, ketakutan. Dia ditembak setidaknya satu kali.
“Kaki saya berlumur datah. Aku tidak memperhatikan. Aku terlalu sibuk untuk berupaya menyelamatkan diri agar tetap hidup,” lanjutnya.
Dia tidak memiliki waktu untuk mempertimbangkan pertolongan pertama. Sang penembak mengikuti mereka dan melepaskan tembakan membabi buta dari senapan serbunya. Para remaja yang panik hanya memiliki dua pilihan berbahaya : bersembunyi di balik batu atau menyelam ke dalam air yang dinginnya hingga ke tulang dan berusaha mencapai daratan yang jauhnya sekitar 600 meter.
Kazemi mencoba kedua pilihan tersebut, pertama bersembunyi di balik batu sampai hujan tembakan mereda di sekelilingnya lalu ia terjun ke dalam air, meskipun tidak pernah belajar berenang.
Penembak itu terus menembak. Mayat terapung di sekeliling Kazemi, yang darah mereka telah berubah warna. Ia memperkirakan sekitar 20 orang tewas atau sekarat di dalam air.
Dia mencoba untuk berbaring diam. Segera pria bersenjata itu dialihkan perhatiannya dari garis pantai, di mana para gadis berteriak dan menangis. Setelah suara tembakan kembali pecah, teriakan mereka terhenti.
Setelah setengah jam, polisi tiba dan menangkap di penembak.
Kazemi terlihat lebih ceria, tersenyum tanpa henti menunjukkan ia telah kembali sehat. Walaupun harus dibantu dengan kaka dan saudara tirinya, Kazemi dengan berhati-hati mengangkat lembaran-lembaran kassa yang membalut lengannya yang terluka dengan lengan lainnya yang tak terluka.
“Dokter bilang aku akan kembali berjalan dengan baik, namun aku harus dioperasi malam ini,” ujarnya. “Aku kuat.” (haninmazaya/arrahmah.com)