Agus Setio Pembudi telah bekerja sebagai relawan pemadam kebakaran selama hampir dua bulan, mencoba memadamkan kebakaran hutan yang telah merusak sebagian wilayah Indonesia termasuk pulau-pulau di Sumatra dan Kalimantan sejak Juli.
Minggu lalu, dia hampir membayarnya dengan nyawanya.
“Saya sudah keluar di ladang sejak pagi hari dan pompa air yang saya gunakan kehabisan bensin (untuk menyalakannya),” ujar Pembudi, seorang petani setempat, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Tanpa air, saya tidak bisa menyingkirkan asap dan saya tidak bisa mendapatkan oksigen yang cukup. Saya mulai berteriak ke tim saya. Saya tidak ingat apa pun setelah itu.”
Pembudi pingsan di tengah hutan yang terbakar dan diselamatkan saat relawan lain mendengar tangisannya.
“Saya mendengar dia berteriak, tetapi saya tidak bisa melihatnya karena kabut pekat,” ujar Pastor Polke Pelle, relawan pemadam kebakaran lainnya di desa Catur Rahayu di Jambi, Sumatra.
“Untungnya dia menjerit lagi dan kami dapat menemukannya. Salah satu anggota tim yang lebih kuat menyeretnya keluar, dan saya naik sepeda motor untuk mendapatkan ambulans untuk mengevakuasinya.”
Beberapa wilayah Indonesia telah terbakar sejak Juli, menyelimuti Kalimantan dan Sumatra dalam kabut tebal beracun yang menyebar ke negara-negara tetangga termasuk Malaysia dan Singapura.
Sebagian besar kebakaran disalahkan kepada pemilik perkebunan yang membakar tanah untuk musim tanam baru -sebuah praktik yang telah merusak Asia Tenggara selama bertahun-tahun tetapi seharusnya dilarang.
Pemerintah Indonesia mengklaim telah melakukan “segala upaya” untuk mengatasi masalah tersebut, termasuk mengirim 6.000 tentara ke daerah-daerah yang terkena dampak.
Tetapi di Jambi, aktivis lingkungan setempat, Irmansyah, yang bekerja untuk organisasi non-pemerintah, Yayasan Keadilan Rakyat, mengatakan respon pemerintah sangat mengecewakan, dan bahkan di daerah pedesaan kekurangan pasokan masker wajah.
Di lokasi kebakaran terburuk di sekitar desa Catur Rahayu, masyarakat setempatlah yang berada di garis depan. Tidak ada anggota militer, polisi atau lembaga pemerintah yang hadir.
“Pasca-2015, perusahaan lokal dan pemerintah telah mengorganisir kelompok-kelompok relawan untuk memerangi kebakaran,” kata Irmansyah, merujuk pada terakhir kali kebakaran begitu parah.
“Mereka memberi pelatihan tetapi tidak memberi peralatan pemadam kebakaran yang cukup atau perlindungan seperti masker wajah penuh. Kami juga tidak tahu efek jangka panjang yang terjadi pada para relawan jika berada dalam kabut untuk jangka waktu yang begitu lama.”
Kami semua berdonasi
Andre adalah kepala salah satu kelompok sukarelawan yang awalnya direkrut oleh pemerintah bernama Masyarakat Peduli Api (MPA) atau “Komunitas Pemadam Kebakaran”.
Melawan api setiap hari melelahkan banyak orang, yang sebagian besar adalah petani lokal.
“Kami memaksakan diri untuk bekerja, dan semua orang sangat lelah,” kata Andre. “Kita tidak dapat membagi diri menjadi dua, tetapi kita harus membantu, jadi kita terus saja masuk.”
Para relawan harus meninggalkan pekerjaan mereka untuk membantu upaya pemadaman kebakaran dan walaupun mereka menerima enam juta rupiah dari pemerintah, itu belum cukup.
Sekarang mereka menggunakan uang mereka sendiri untuk membeli makanan dan bahan bakar untuk pompa air.
“Dibutuhkan 10 liter bensin untuk menyalakan pompa air selama setengah hari dan bensin sekarang Rp9.000 per liter,” kata Andre. “Kita semua menyumbang dan membayarnya sendiri.”
Untuk mendapatkan izin operasional, perusahaan perkebunan harus setuju untuk membantu memadamkan api dalam radius lima kilometer (3,1 mil) dari konsesi mereka. (haninmazaya/arrahmah.com)