KAIRO (Arrahmah.com) – Tim SOS Egypt 1 yang dipimpin oleh Doddy CHP, Direktur Global Humanity Response (GHR) Aksi Cepat Tanggap berhasil tembus Kota Kairo, ibukota Mesir Senin (19/8) pukul 16.00 WIB atau 11.30 waktu setempat.
Tim berangkat dengan menggunakan pesawat Etihad EY 471, bertolak dari Bandara Soekarno Hatta Senin dini hari pukul 01.45 WIB, yang kemudian transit selama 3 jam di Bandara Internasional Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Proses keberangkatan di Bandara Soekarno Hatta tidak mengalami hambatan serius, sejumlah petugas imigrasi memberikan keringanan pada tim, meski pemeriksaan barang-barang terbilang ketat berlaku pada kami. Petugas membuka tas dan menanyakan isinya.
Suasana tak biasa mulai terasa saat tim tiba di Abu Dhabi pada pukul 09.30 WIB. Ketika sedang duduk-duduk menanti keberangkatan ke Mesir, kami sempat bertemu dengan Zulaikha, pramugari Qatar Airways. Dia sempat menanyakan kondisi yang kacau di Kairo saat ini, di mana banyak korban masyarakat sipil berjatuhan dan ia peringatkan kami untuk tidak bepergian ke sana. “It’s so dangerous in Cairo, I don’t like killing by millitary,” ungkapnya sambil menunjuk tayangan televisi.
Pukul 13.05 WIB, kami menaiki pesawat Etihad dengan nomor penerbangan EY 653 yang bertolak menuju Kairo. Kali ini pemeriksaan barang-barang saat check in di gate 10 tak seketat sebelumnya. Namun yang kontras, pesawat dengan model Air Bus A320-200 berkapasitas 160 penumpang ini, hanya terisi puluhan penumpang. Berbeda dengan pesawat Etihad seri 777-300 sebelumnya yang kami naiki dari Jakarta berpenumpang 412 terisi penuh.
Pukul 16.00 WIB atau 12.00 waktu setempat, kami mendarat di Bandara Internasional Kairo, Mesir. Suasana bandara tampak lengang, sesaat keluar dari pesawat Relawan Lokal Mesir menyambut kami dan mengecek kelengkapan dokumen lalu membawanya ke ruang imigrasi.
Selama 30 menit kami menunggu, belum ada tanda-tanda berkas kami selesai dan bisa keluar dari bandara. Tiba-tiba petugas berpakain putih datang menghampiri, “Why you didn’t get visa?” Dengan sigap relawan lokal segera mengambil alih pembicaraan dan menjelaskan jika kami sudah dapat visa. Info dari petugas imigrasi kepada relawan lokal, bahwa visa kami sudah kadaluarsa dan kami terancam untuk di deportasi ke Jakarta.
Tak berlangsung lama, petugas imigrasi menggiring kami ke ruang khusus yang letaknya di lorong sebelah loket imigrasi. Kami disuruh beristirahat di ruangan berukuran 2 x 10 meter, duduk di kursi besi yang berhadapan, berdinding kaca yang bisa dilihat dari luar, tapi tak bisa memandang dari dalam sehingga mereka dengan mudah mengawasi gerak gerik kami di dalam, ruangan di lengkapi kipas angin atap berputar lambat dan exhaust fan yang mati, tanpa pendingin ruangan.
Perangkat komunikasi (handphone) tim diminta oleh petugas imigrasi beserta barang-barang bawaan kami dari Jakarta. Otomatis di ruangan ini kami tak bisa apa-apa, seluruh perangkat komunikasi terputus.
Ternyata di ruang ini ada 3 kamar, 2 kamar berisi masing-masing 7 ranjang kayu bertingkat dan 1 kamar gudang dipenuhi perkakas yang usang, terlihat ada beberapa orang wanita, anak laki-laki usia 10 tahun, anak perempuan usia 11 tahun dan laki-laki paruh baya tengah tertidur, sementara ada puluhan lainnya yang tengah duduk-duduk seperti tahanan yang sudah berdiam sekian lama. Terlihat dua pemuda perawakan Timur Tengah terlihat resah sambil sesekali menghisap rokok dan dua pemuda perawakan Afrika yang asik membaca koran dan buku.
Mereka tidak boleh keluar masuk ruangan. Saat perempuan usia lanjut mencoba keluar dari kamarnya, langsung oleh petugas disuruh masuk kembali dan kemudian petugas mengunci pintu masuk dengan kasar. Si nenek berontak sambil teriak, “Saya dari Madinah, tempat tinggalnya Nabi, mau ke Iskandaria, kok tidak boleh, di mana rasa keadilan!”.
Ketika pintu terkunci dari luar, benar-benar kami seperti dalam penjara, suasana pengap mulai terasa, meski dua kipas angin tua selalu berputar tak cukup menghilangkan panas, apalagi Mesir sekarang sedang musim panas.
Petugas di balik pintu jaga bergantian mengawasi kami, di antara mereka ada yang berperawakan gemuk, berwajah kaku, tanpa senyum dengan sebuah pistol terselip di antara ikat pinggangnya.
Kemudian kami minta izin untuk shalat, oleh petugas kami disuruh shalat di ruangan saja tak boleh di ruangan lain sambil menunjukkan arah kiblat.
Dengan kondisi toilet yang memprihatinkan, seperti jarang dibersihkan, pintu-pintu sudah mulai berkarat, bahkan saat kami mencoba menghidupkan keran, sambungan pipanya terlepas sehingga membuat salah satu anggota tim basah kuyup terkena percikan air yang bocor.
“Jika kondisi biasa seperti di Indonesia, mungkin saya bakal muntah saat ke toilet di ruang tahanan imigrasi,” ujar Doddy.
“Saya tak terima dengan kondisi ini, kami sudah mengurus visa jauh hari sejak sebulan yang lalu, datang dengan baik-baik, memberi kabar pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Mesir, tapi mengapa kami diperlakukan seperti ini, ditahan seperti seorang buronan saja”, tambah Doddy.
Pukul 16.00 waktu setempat, atau selama 4 jam, tim digiring ke ruangan lain berukuran 2×4 meter. Terpampang bendera mesir merah, putih dan hitam di dinding. Satu meja di atasnya terpampang personal computer (PC) merek Dell, dan 3 buah lemari kabin bercat kuning yang sudah usang dan di atas lemari teronggok monitor tabung tua yang sudah tak terpakai.
Tim duduk di kursi berwarna hitam ditemani satu orang relawan lokal, satu orang petugas imigrasi berpakaian putih dan satu petugas imigrasi yang berpakaian biasa. Mulailah kami diinterogasi satu persatu.
Petugas bertanya, apa tujuan tim ke Mesir, pekerjaan sehari-hari di Indonesia hingga barang-barang dan termasuk besaran uang yang kami bawa.
“It’s imitation?” ujar petugas imigrasi seraya mengecek uang yang dibawa tim. “This money original,” ujar Doddy meyakinkan.
Jam Malam Berlaku
Terjawab, mengapa hari ini pemeriksaan warga asing di Bandara Internasional Kairo begitu ketat. Sejak kemarin jam malam untuk kondisi darurat diberlakukan. Selama sebulan ke depan, mulai pukul 19.00 – 06.00 waktu Mesir masyarakat tidak diperbolehkan keluar rumah.
Aparat keamanan bertindak tegas bagi siapa pun yang melanggar. Untuk warga negara Indonesia yang sedang belajar atau bekerja, diingatkan agar menjaga diri, tidak boleh berhubungan dengan pihak-pihak yang dilarang oleh pemerintah, baik melalui ponsel, buku-buku atau perangkat internet lainnya.
Ketika tulisan ini di buat pada pukul 19.30 di sekitar kawasan Ramses, Kairo suasana jalanan mulai lengang, tampak beberapa panser mulai menutup jalan dan sesekali terdengar suara tembakan membahana.
(azmuttaqin/islamedia/arrahmah.com)