JAKARTA (Arrahmah.com) – Rekonsiliasi secara alamiah bisa diberikan kepada eks tahanan politik (Tapol) PKI Golongan C dan keluarganya. Dengan rekonsiliasi alamiah ini, mereka diberi kesempatan berperan dalam kehidupan publik, baik swasta maupun pemerintahan atau birokrasi.
Demikian saran Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen, saat berbicara dalam Pengajian Reboan di Aula Menara Da’wah Jakarta, Rabu (30/9/2015), seperti dilaporkan Zuhdi babur dan Nurbowo.
Namun, lanjut mantan Kepala Staf Kostrad itu, rekonsiliasi alamiah tetap tertutup untuk eks-tapol PKI Golongan A dan B. Bahkan, katanya, kelompok ini harus diwaspadai sehubungan dengan semakin kuatnya indikasi kebangkitan komunisme di Indonesia.
“Hadirin tahu markas pusat PKI sekarang ini? Itu tuh, di samping hotel di Jalan Kramat Raya yang banyak tumbuh-tumbuhannya,” kata Kivlan menunjuk kantor sebuah organisasi politik.
Dia mengungkapkan, gerakan berpaham komunis tersebut sempat menggelar Konggres Nasional VIII di hotel itu pada 24-26 Maret lalu. Organisasi itu, sebut Kivlan sambil menunjukkan buku saku bersampul merah tentang AD/ART Partai Rakyat Demokratik, dipimpin Agus Jabo sebagai Ketua Umum dan Dominggus Oktavianus sebagai Sekretaris Jenderal.
Dalam pengajian rutin yang digelar Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tersebut, Kivlan juga menyerukan perlawanan terhadap upaya mencabut TAP MPRS No 25 tahun 1966 dan UU No 27 tahun 1999.
”Jika landasan hukum pelarangan PKI ini dicabut, maka akan terjadi lagi konflik horizontal dan kekacauan sosial politik maupun ekonomi,” tandasnya.
Kivlan Zen memperingatkan agar Presiden Jokowi tidak gegabah membuat dan menerbitkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) jilid 2. Ia mensinyalir, KKR 2 ini hendak menyelundupkan UU KKR Jilid 1 yang sudah dibatakan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Konon, KKR 2 akan diloloskan melalui Perpres dan Keppres yang tidak memerlukan persetujuan DPR.
Jika KKR jilid 2 dilegalkan, maka konsekuensinya eks PKI dan pengikutnya merasa tidak bersalah. Sehingga, semakin deras tuntutan agar PKI direhabilitasi dan dihidupkan kembali. Dampak selanjutnya, TAP MPRS No 25/1966 dan UU No 27/1999 dituntut untuk dibatalkan oleh MK. Bahkan tanpa pembatalan terhadap keduanya pun, eks dan pendukung PKI akan leluasa mendirikan dan memproklamasikan komunisme gaya baru yang bisa langsung disahkan Menkumham.
Dampak yang sangat berbahaya adalah gelombang balas dendam PKI yang akan menyulut kekacauan nasional.
Pada kesempatan yang sama, Kivlan Zen menyatakan bahwa rekonsiliasi justru harus diterapkan pada kasus Tanjung Priok, Talangsari, Trisakti, Semanggi I dan II, Petrus (penembakan misterius), dan peristiwa kekerasan di Wasior. Menurutnya, kasus-kasus ini berbeda dengan kasus-kasus gerakan PKI dan reaksinya. (azmuttaqin/*/arrahmah.com)