TASIKMALAYA (Arrahmah.com) – Setelah menyepakati persoalan talak di luar pengadilan, dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Ulama kali ini Komisi Fiqhiyah Muashirah juga menyepakati sebuah keputusan berkaitan permasalahan penyitaan aset dan harta pelaku tindak pidana korupsi.
Berkenaan dengan hal tersebut Komisi fiqhiyah mengeluarkan lima putusan hukum. Diantaranya, pertama, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi adalah bukan milik pelaku karena diperoleh dengan cara yang tidak sah.
“Maka dari itu, aset tersebut harus disita dan diambil oleh negara,” kata Asrorun Ni’am Sholeh yang merupakan Sekretaris Komisi Fatwa dan Pengkajian MUI Pusat kepada arrahmah.com, di Ponpes Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, (1/7).
Kedua, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti bukan berasal dari tindak pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tidak boleh disita untuk negara.
Ketiga, ketika pengadilan tidak dapat membuktikan harta yang dimiliki pelaku tindak pidana korupsi sebagai hasil dari kejahatan korupsi, pelaku tindak pidana korupsi dituntut untuk membuktikan secara terbalik asal usul aset tersebut. “Jika ia tidak bisa membuktikan kepemilikannya secara sah, maka aset tersebut diambil oleh negara,” ungkap Ni’am.
Keeempat, hasil penyitaan yang dilakukan oleh negara terhadap aset milik koruptor, kata Ni’am, akan digunakan untuk kepentingan umum. “Aset pelaku tindak pidana korupsi yang disita oleh negara dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat (maslahah ‘ammah),” tuturnya.
Dan terakhir, menurut Ni’am, tindakan perampasan dan penyitaan aset hasil korupsi tidak menghilangkan hukuman bagi sang pelaku, serta aset hasil korupsi akan menjadi beban pelaku korupsi di akhirat. “Dan menyebabkan pelakunya masuk ke neraka,” tambahnya.
Lebih dari itu, Komisi fiqhiyah dalam rekomendasinya meminta kepada penegak hukum untuk bertindak secara tegas dan terukur dalam penyitaan aset pelaku tindak pidana korupsi.
Kemudian, penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya dalam penegakan hukum pada kasus penyitaan aset hasil korupsi harus diberi sanksi tegas.
Serta, meminta ulama agar berpartisipasi aktif dalam pencegahan tindak pidana korupsi, di antaranya dengan mensosialisasikan ancaman hukuman duniawi dan ukhrawi bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Komisi Fiqhiyah telah memberikan ketentuan umum mengenai korupsi dan aset koruptor. Korupsi dalam pandangan Komisi Fiqhiyah merupakan tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syari’at Islam. Sedangkan aset koruptor merupakan harta kekayaan yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Keputusan Komisi Fiqhiyah ini akan diajukan terlebih dahulu kepada sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI untuk tahapan akhir sebelum disepakati sebagai fatwa. (bilal/arrahmah.com)