Setelah penangkapan Ustad Abu Bakar Ba’asyir menjelang bulan Ramadhan lalu, seorang petinggi di Republik ini yang merupakan anggota Kabinet mendatangi salah satu ketua Ormas Islam yang sering dipandang oleh Pemerintah sebagai Ormas Islam garis keras. Dalam pembicaraan tersebut, sang petinggi meminta agar Ormas Islam tersebut tidak usah mempersoalkan mengenai penangkapan Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Sang petinggi berusaha memaparkan bukti-bukti keterlibatan Ustad ABB dalam kegiatan pelatihan di Aceh.
Namun bukti-bukti tersebut seluruhnya disanggah oleh Ketua Ormas Islam dengan balik memaparkan rekayasa seorang deserter brimob dan dua orang anggota aktif Polri dalam perencanaan dan penyediaan senjata untuk pelatihan militer di Aceh pada Januari 2010.
Cerita yang disampaikan kepada sang Petinggi cukup detail. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Pagi itu, pada setiap akhir minggu sekitar Februari – Maret 2009, 10 orang pemuda Aceh yang direkrut oleh Sofyan Tsauri, ditugaskan untuk pergi ke pasar kaget mingguan, yang berjarak pulang pergi lebih kurang 10 km, dengan berjalan kaki. Ini memang kegiatan rutin mingguan yang diwajibkan oleh Sofyan Tsauri kepada anak didiknya, setiap orang harus berjalan sendirian tanpa boleh didampingi siapapun.
Ada lagi kegiatan lain yang diwajibkan oleh Sofyan Tsauri, yaitu pergi ke sebuah masjid yang sudah ditentukan oleh Sofyan Tsauri, yang juga berjarak cukup jauh dan selalu berpindah dari satu masjid ke masjid lainnya, juga harus berjalan sendirian, dan di masjid yang ditentukan ini Sofyan sudah menunggu anak didiknya, kemudian Sofyan berceramah layaknya seorang Ustad kepada anak muridnya.
Diantara satu dua hari dalam satu minggu, Sofyan mengajak anak didiknya untuk latihan menembak di lapangan tembak Mako Brimob Kelapa Dua Depok. Latihan menembak ini menggunakan senjata sungguhan. Untuk latihan fisik, Sofyan menggembleng anak-anak yang seluruhnya berasal dari Aceh ini berlatih di lapangan samping Mako Brimob Kelapa Dua Depok.
Pada sessi latihan malam hari, Sofyan melakukan indoktrinasi kepada anak didiknya ini dengan menyatakan bahwa dibolehkan untuk mengambil harta dari pemerintah Thogut, dan selain itu juga, untuk dana operasional “jihad” dibenarkan untuk merampok Bank dan harta orang kafir lainnya. Kalimat-kalimat provokasi sering kali diucapkan oleh Sofyan Tsauri dalam sessi latihan malam ini, diantaranya adalah untuk membunuh orang-orang asing yang berada di Aceh.
Sesungguhnya cerita soal Sofyan Tsauri di Aceh ini, bermula dari pembukaan posko relawan untuk Gaza pada awal 2009 yang lalu. Ketika itu, Israel membombardir Gaza secara membabi buta. Umat Islam di seluruh dunia merespon tindakan biadab Israel ini dengan membuka berbagai posko relawan untuk diberangkatkan ke Gaza.
FPI adalah salah satu ormas Islam yang membuka kesempatan bagi para relawan untuk berangkat ke Gaza. Secara teknis FPI Aceh melaksanakan kegiatan ini, hingga mampu menjaring lebih kurang 160 relawan. Dalam pelatihan tersebut FPI Aceh berusaha mencari pelatih yang berpengalaman baik dari pihak TNI maupun Polri. Akan tetapi kedua institusi ini tidak bersedia untuk menyediakan tenaga pelatih.
Akhirnya, entah melalui siapa, datanglah seorang yang mengaku memiliki pengalaman tempur di Afghanistan dan Palestina menawarkan diri untuk menjadi pelatih di Aceh. Tanpa prasangka buruk, panitia rekrutmen relawan untuk Gaza yang ada di Aceh ini, menerima sang pelatih yang kemudian diketahui bernama Sofyan Tsauri. Dilaksanakanlah pelatihan selama lebih kurang satu bulan, mulai Januari hingga awal Februari 2009. Pelatihan ini berlangsung secara terbuka dan tanpa menggunakan senjata.
Ternyata pelatihan ini tidak berhenti hingga disini, secara perorangan Sofyan menghubungi beberapa mantan peserta pelatihan sebelumnya, dan mengajak mereka untuk berlatih di Kelapa Dua Depok. Akhirnya sejak Februari hingga Maret 2009 berlangsunglah cerita pelatihan di Kelapa Dua Depok seperti yang diatas.
Cerita terus berlanjut, Sofyan dengan modal akses anak anak Aceh, bahkan merencanakan untuk melakukan pelatihan militer di Aceh. Senjatapun disiapkan melalui dua orang anggota polisi aktif yaitu Briptu Tatang Mulyadi dan Biptu Abdi Tunggal sebagai pemasok senjata dan amunisi. Namun sepertinya, pelatihan yang berlangsung Januari 2010 kali ini, memang disiapkan untuk disergap dan dikampanyekan sebagai kegiatan terorisme. Sehingga para peserta pelatihan banyak yang menyerahkan diri dan bahkan menyerahkan senjata yang sudah ada ditangan.
Dari pelatihan yang berlangsung Januari 2010 inilah kemudian cerita berkembang dan berujung pada penagkapan Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Dikatakan oleh Polisi bahwa perancang pelatihan ini adalah Dul Matin yang sudah tewas ditembak oleh Polisi, sehingga tidak bisa lagi di konfirmasi. Dul Matin mendapatkan restu dari Ustad Abu untuk melakukan pelatihan di Aceh, pertemuan meminta restu ini diatur dan disaksikan oleh seorang bernama Lutfhi Haidaroh alias Ubaeid. Ini sebetulnya pengulangan dari scenario bom bali I, ketika dakwaan terhadap Ustad Abu juga disambungkan secara kasar kepada Amrozi, Muklas dan Imam Samudra.
Kali ini cerita agak lebih seru, karena rekayasa issu terorisme ini sudah tercium sejak awal. Dalam konferensi persnya, Kepolisian membenarkan keterlibatan dua personel polisi dan satu mantan personel polisi dalam jaringan teroris yang melakukan pelatihan di Aceh. “Betul ada keterlibatan anggota Polri,” kata Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Mabes Polri, Jakarta, Selasa 10 Agustus 2010.
Dia mengatakan, tiga orang itu adalah Sofyan Tsauri, bekas anggota Sabhara Polda Meto Jaya; Brigadir Satu Tatang Mulyadi; dan Brigadir Satu Abdi Tunggal dari Satuan Logistik Bagian Gudang Senjata. “Sofyan sebelumnya sudah dipecat,” kata Edward.
Menurut Edward, Sofyan pernah dikirim bertugas di Aceh. Di sana, Sofyan yang beristrikan orang Aceh itu kembali ke Jakarta, namun kemudian tidak masuk kerja hingga dipecat.
Sofyan yang suka berdakwah itu kemudian mengumpulkan orang-orang yang memiliki latar belakang militer yang punya kemampuan melatih dari kesatuan-kesatuan kepolisian. Sofyan pun kemudian kembali ke Aceh dan kemudian berkenalan dengan Yusuf Kurdowi.
Selanjutnya, Sofyan merekrut orang-orang yang akan diberangkatkan ke Jalur Gaza Palestina pada 2009. “Dibawa latihan menembak. Kebetulan Sofyan punya teman di Brimob dan punya klub menembak dan melakukan latihan menembak ilegal,” kata dia.
Untuk menyuplai senjata bagi kelompok teroris di Aceh, Sofyan kemudian menghubungi dua petugas logistik Polri yakni Tatang Mulyadi dan Abdi Tunggal. “(Sofyan) Berhasil mempengaruhi dua anggota kami yang bertugas sebagai bintara urusan logistik, khususnya menyangkut senjata yang akan dihapus (disposal) dan di sana Sofyan berhasil mendapatkan senjata dan amunisi yang diserahkan ke kelompok pelatihan di Aceh,” kata dia.
“Ketiganya sudah ditahan dan termasuk 102 yang ditahan. Satu Sofyan dan dua anggota Polri aktif. Jadi betul ada keterlibatan anggota polri di dalamnya secara perseorangan,” kata Edward.
Cerita mengenai penyusupan dan rekayasa intelijen di tubuh gerakan Islam memang sudah tidak asing lagi di Republik ini. Salah satu yang memberikan informasi tersebut adalah Mardigu. “JAT itu sudah lama disusupi intel, dan sampai sekarang hal itu masih dilakukan oleh kepolisian,” ujar pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasantyo saat dihubungi detikcom, Jumat (13/8/2010).
Menurut Mardigu, intel memiliki dua cara kerja, yakni mengawasi dari dalam dan masuk ke jaringan, atau hanya mengawasi dari luar tanpa harus masuk kedalam jaringan yang sedang diawasinya.
“Kalau JAT itu diawasi dari luar, sekarang sudah jarang intel yang menyusup sampai ke dalam jaringan teroris, saya juga tidak tahu kenapa?,” terangnya.
Intel akan berusaha meredam setiap aksi yang akan dilakukan jaringan tertentu yang dinilai mengganggu stabilitas negara. Namun bila hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh intel, densus 88 menjadi garda terakhir.
“Biasanya ada jaringan yang tidak kompromis, dalam artian usaha intel untuk membujuk gagal. Kalau sudah seperti ini maka densus yang turun tangan,” terangnya.
Menurut Mardigu, organisasi keras kerap sekali mendapatkan tawaran atau bujukan tertentu agar mengurungkan niatnya. tawaran tersebut biasasnya dilakukan oleh intel. “Itu salah satu cara untuk meredam aksi organisasi tertentu. Biasanya ditawari sesuatu atau uang,” tutupnya.
Rekayasa dalam kasus-kasus terorisme ini nampaknya semakin kental terasa. Salah satu yang cukup aneh dan tidak dikritisi oleh kebanyakan media massa adalah kasus Ali Al khelaw, seorang warga Saudi yang dituduh sebagai penyandang dana peristiwa Bom Marriot dan Rizlt Carlton. Ali dituduh mendanai kegiatan tersebut dari dana yang dibawa dari luar. Padahal dalam fakta persidangan, terungkap bahwa Ali justru kabut dari Saudi Arabia, tempat asalnya karena terlilit hutang. Atas budi baik salah seorang temannya, Ali mendapatkan pinjaman yang sebagaian digunakan untuk membayar hutang dan sebagian digunakan untuk berangkat ke Indonesia. Sisa dari uang inilah sebesar Rp.50 juta digunakan untuk membeli Warnet melalui perantara Saifudin Zuhri yang juga ditembak mati oleh Polisi. Warnet tersebut dijalankan oleh seorang yang bernama Iwan Kurniawan, dan ini adalah bisnis yang halal dan legal. Akan tetapi karena uang fee yang diberikan kepada Saifudin Zuhri karena memperkenalkan dengan Iwan Kurniawan inilah yang menyebabkan Ali harus berurusan dengan pengadilan dan dituduh sebagai penyandang dana bom Marriot dan Rizlt Carlton.
Dalam perang melawan terorisme ini, tidak jarang Kepolisian melalui Densus 88 maupun Satgas Anti Bom melakukan berbagai macam metode penyiksaan. Tujuan dari penyiksaan ini selain mendapatkan pengakuan adalah juga sebagai metode standar dalam perang melawan terorisme.
“Saya kira apa yang selama ini dilakukan Densus 88 dalam menginterogasi dengan cara menyiksa secara keji para tersangka teroris sebelum diadili, merupakan pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini tidak bisa lagi ditoleransi, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka yang menjunjung tinggi HAM. Kita harus hapuskan kekejian semacam ini. Saya mengusulkan agar dibentuk Panja untuk menyelesaikannya,” tegas anggota Komisi III dari FPP, Ahmad Yani, yang akhirnya disetujui seluruh unsur pimpinan dan anggota Komisi III DPR yang hadir dalam pertemuan tersebut.
…apa yang selama ini dilakukan Densus 88 dalam menginterogasi dengan cara menyiksa secara keji para tersangka teroris sebelum diadili, merupakan pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip kemanusiaan…
Sedangkan menurut Nudirman Munir, tindakan Densus 88 itu merupakan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dari Polri terhadap umat Islam dengan tuduhan terorisme. Dengan melakukan penyiksaan, polisi telah melakukan pelanggaran HAM berat.
“Cara yang dilakukan Densus 88 dengan metode penyiksaan kejinya jelas menunjukkan jauhnya mereka dari kepribadian bangsa Indonesia. Apa kita ingin menciptakan Kamp Penyiksaan Guantanamo kedua di Indonesia,” tegas Nudirman Munir dengan merujuk Kamp Penyiksaan Guantanamo milik AS di Kuba.
“Cara yang dilakukan Densus 88 dengan metode penyiksaan kejinya jelas menunjukkan jauhnya mereka dari kepribadian bangsa Indonesia. Apa ingin menciptakan Kamp Penyiksaan Guantanamo kedua di Indonesia?…
“Densus 88 dan Satgas Anti Bom berperan seperti Kopkamtib pada masa Orde Baru dengan melakukan tindakan represif terhadap para aktivis Islam yang berseberangan dengan pemerintah. Saya minta keuangan Densus 88 dan Satgas Anti Bom diaudit, sebab pendanaannya tidak diambilkan dari APBN tetapi dari bantuan asing,” tegas Munarman.
Adapun tindakan keji dan biadab yang dilakukan Densus 88 dan Satgas Anti Bom, diceritakan secara jelas dan terperinci oleh Ustadz Abu Jibril, ayah Muhammad Jibril, tersangka teroris yang sempat mengalami penyiksaan keji dan disaksikan langsung Komjen (Pol) Gories Mere.
“Wajah anak saya sampai hancur dipukuli para interogatornya selama seminggu dan disaksikan langsung Gories Mere. Bahkan anak saya juga ditelanjangi dan dipaksa melakukan sodomi. Padahal sebelumnya tiga Jenderal Polisi dari Mabes Polri yakni Komjen (Pol) Saleh Saaf, Komjen (Pol) Susno Duadji dan Brigjen (Pol) Saud Nasution (Komandan Densus 88) telah menjamin anak saya tidak akan diapa-apakan. Namun ternyata ketiga Jenderal Polisi itu tidak mampu mencegah kekejian Gories Mere dan anak buahnya yang Kristen Katolik itu,” ungkap Abu Jibril dengan menitikkan air mata.
…Satgas Anti Bom yang dipimpin Komjen (Pol) Gories Mere bertanggungjawab langsung kepada Kapolri. Satgas Anti Bom inilah yang paling berperan dalam menyiksa dan membunuhi para tersangka aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris…
Akhirnya, dalam pernyataan yang dibacakan Sekjen Muhammad Al Khaththath, FUI menyatakan menolak segala bentuk terorisasi Islam dan tokoh Islam beserta umatnya. Mengecam penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir oleh Densus 88 ketika sedang berdakwah di Jawa Barat. Penangkapan Ustadz Abu merupakan politik rekayasa terorisme, politik pengalihan isyu dan politik pemberangusan gerakan Islam. Rekayasa terorisme telah dilkukan desersir polisi Sufyan Tsauri dalam merekrut dan membiayai pelatihan militer di Aceh. Sebelumnya pelatihan teroris telah dilakukan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat yang disponsori Sufyan Tsauri. Namun anehnya justru Ustadz Abu yang tak tahu apa-apa dijadikan kambing hitam. Untuk itu FUI menuntut pembebasan Ustadz Abu tanpa syarat serta menyerukan umat Islam Indonesia untuk merapatkan barisan dan memperkokoh ukhuwah Islamiyah dalam melawan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa.
“Kita minta Komisi II bisa mengaudit dana Densus, karena selama ini tidak jelas siapa yang biayai Densus karena Densus tidak pernah dibiayai APBN,” ujarnya.
FUI mengklaim pihaknya memilki bukti aliran dana luar negeri untuk pembiayaan operasional kepolisian. Densus disebutkan menerima USD 7,7 juta. “Ini data dari Deplu Amerika langsung,” klaim FUI. Untuk pembentukannya Densus mendapatkan dana sebesar US $ 12 juta pada tahun 2002.
Setelah mendapat laporan mengenai kebiadaban aparat Densus 88 Mabes Polri dalam menyiksa para tersangka “terorisme” saat interogasi dalam tahanan dan proses penangkapan sewenang-wenang terhadap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, akhirnya Komisi III DPR RI sepakat akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pencari Fakta Pemberantasan Terorisme.
Demikian antara lain hasil dari dengar pendapat antara Komisi III DPR RI dengan Forum Umat Islam (FUI) yang dihadiri hampir 50 ormas Islam di Gedung DPR-MPR Senayan, Jakarta, Selasa (31/8). Dari FUI diwakili KH Muhammad Al Khaththath (Sekjen), Achmad Michdan (TPM), KH Mudzakir (FPIS), Munarman (FPI), Chep Hernawan (GARIS) dan Ustadz Abu Jibril (MMI), Ust. Sobri Lubis (FPI), Aru Syeif Ashadullah (Suara Islam), Ustadzah. Nurdiati Akma (MPU), dan Tokoh FUI lainnya. Sedangkan Komisi III diwakili Fachri Hamzah dan Aziz Syamsuddin (Wakil Ketua), Ahmad Yani, Nudirman Munir, Adang Darojatun (anggota) dan lain-lain.
Sebelumnya, Pimpinan FUI, antara lain HM. Cholil Badawi, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie, Habib Rizieq Shihab, Ahmad Sumargono, KH. Cholil Ridwan, Sekjen FUI M. Al-Khaththath, Munarman serta Luthfie Hakim berhasil menemui Menteri Agama Suryadharma Ali menyampaikan sejumlah tekanan-tekanan yang dialami umat Islam, antara lain kasus Ciketing-Bekasi yang telah dieksploitasi HKBP. Soal lain terkait kasus Ahmadiyah, dan rekayasa pendiskreditan Ormas Islam.
Rupaya Menag Sangat responsif dan membenarkan adanya tangan-tangan jahat yang selalu merekayasa pendiskreditan terhadap Islam dan umat Islam di negeri yang justru mayoritas Islam ini. Beberapa hari kemudian Menag menyatakan dengan tegas pendiriannya bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang harus dibubarkan.
Source : Suara-islam