Oleh:
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
(Arrahmah.com) – Revolusi Iran dan kebangkitan Syi’ah
Iran pada saat ini telah lebih maju dan berhasil melakukan politik konsolidasi, sehingga mengantarkannya di level integrasi. Semenjak berdirinya revolusi Iran, Khomeini dengan faksi ushulinya bekerja keras untuk mencapai kebangkitan Syi’ah yang kita ketahui dalam perjalanan sejarahnya mengalami berbagai perpecahan dan bahkan beberapa kali terjadi krisis imam.[1]
Saat ini, perpecahan dan krisis imam tidak lagi menjadi masalah. Diyakini oleh kaum Syi’ah bahwa Khomeni telah berhasil “mengatasi masalah tanpa masalah”. Namun, dalam perjalanannya telah menimbulkan masalah baru, yang justru lebih hebat, yakni pertentangan antara Sunni dengan Syi’ah yang semakin tinggi dan meluas di berbagai negara, tak ketinggalan di Republik Indonesia. Terjadinya konflik berdarah tidak dapat dilepaskan dari rencana besar Khomeini untuk menguasai dunia melalui ekspansi ideologi imamah Syi’ah Iran.
Tidak ada suatu negara di dunia ini yang mampu melahirkan ideologi yang bersumber dari ajaran agama yang menyimpang. Tidak pula ada suatu negara yang berhasil melakukan ekspansi ideologi politik dan ajaran keagamaan secara bersamaan ke berbagai negara.[2] Hanya satu-satunya negara yang berhasil melakukan itu, yakni Iran. Sejatinya jika kita meneliti suatu gerakan ideologi-keagamaan yang hendak diekspansi ke suatu negara, dalam hal ini Iran, maka kita harus mengacu kepada sistem politik dan sistem hukum serta faktor geopolitik[3] yang mempengaruhinya, selain pendekatan sejarah keagamaan. Pasca revolusi Iran, Khomeini telah mengambil bentuk ideologi-politik tersendiri yang dielaborasi melalui doktrin keagaman Syiah Imamiyah-Itsna Asyariyah.
Terdapat suatu teks makalah karya Mahdi al-Husaini, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamil al-Hasyimi dalam bukunya “Aqaidus-Syi’ah fil-Mizan,” disebutkan: “bahwa Revolusi yang dikehendaki Allah adalah Revolusi Syi’ah pada permulaannya, Islam pada lafalnya, dan Internasional pada tujuannya.” Islam yang dimaksudkan oleh Iran adalah Madzhab Jafari-Itsna Asyariyah (dua belas imam), dan itulah yang tertulis dalam Konstitusi Republik Syi’ah Iran yang menjadi pedoman Revolusi Khomeini.
Membedah Integrasi Syi’ah Iran dan Ekspansi Ideologi ke Negara-negara Sunni
Dalam konstitusi Iran disebutkan bahwa:
“Republik Islam adalah suatu rezim yang berdiri di atas Imamah dan pemerintahan yang terus menerus.” (Pasal 2). “Agama resmi Republik Iran adalah Islam yang bermadzhab Jafari dua belas Imam,dan pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.“ (Pasal 12).
Kedua pasal ini adalah pasal kunci (sentral). Namun, mohon pembaca perhatikan! adakah suatu hal yang bersifat kebetulan? Substansi Pasal 2 adalah imamah dan pemerintahan yang terus menerus, imamah bagian dari aqidah (Rukun Iman Syi’ah) sedangkan “pemerintahan” (al-wilayah) bagian dari syariat (Rukun Islam Syi’ah). Kedua rukun tersebut (imamah dan wilayah) bersifat fundamental, dan menariknya kedua rukun tersebut ditempatkan di “Pasal Dua”. Mungkin pembaca menganggap ini suatu hal yang tidak direncanakan oleh pembentuk konstitusi, tetapi asumsi ini terbantahkan ketika kita melihat rumusan Pasal 12, “Agama resmi Republik Iran adalah Islam yang bermadzhab Jafari dua belas Imam dan pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.” Dua belas Imam masuk ditempatkan dalam “Pasal Dua Belas”, apakah ini kebetulan?
Lebih lanjut, keberlakuan kedua pasal tersebut harus kita cermati dan kritisi, apa maksud filosofis pembentuk konstitusi Iran menentukan ketentuan imamah dan wilayah serta sebutan madzhab Jafari dua belas Imam. Setidaknya, terdapat beberapa alasan, sebagai berikut: pertama, mengapa harus Jafari dua belas Imam (Itsna Asyariyah) yang tidak dapat dirubah sepanjang masa. Kedua, Republik Islam adalah suatu rezim yang berdiri di atas imamah dan pimpinan yang terus menerus.” Ketiga, adanya kelembagaan otoritas ulama dengan konsep wilayat al-faqih(Iran: velayat-i faqih)dalam memegang kendali kekuasaan baik dalam ranah keagamaan (religius) maupun pemerintahan (politik), yang dikendalikan secara sentralisasi melalui seorang wakil Imam Mahdi yang sedang dalam masa ghaib khubro, yakni dengan sebutan rahbar atau wali faqih, saat ini dijabat oleh Ali Khamenei yang menggantikan Khomeini. Mengapa pula sebutan “pemimpin besar revolusi” masih masih melekat padanya. Mengacu kepada ketiga pertanyaan di atas, maka kita tidak dapat hanya mengandalkan melalui pendekatan teologis Syi’ah semata, melainkan juga dengan pendekatan ilmu politik dan ilmu hukum, dan ilmu lainnya.
Bertemunya paham keagamaan dan ideologi pasca berdirinya Revolusi Iran,[4] sebagaimana tersebut dalam konstitusi menunjukkan adanya dualisme kekuasaan. Dualisme kekuasaan dalam wilayat al-faqih sengaja dibangun sebagai eksistensi (legal standing) wakil imam kedua belas (Imam Mahdi versi Syi’ah) yang dalam masa ghaib khubro. Berdasar kenyataan ketiadaan imam, maka menjadi masuk akal bagi penganut ajaran Syi’ah harus adanya wakil sang Imam Ghaib. Tidaklah mungkin menurut pandangan faksi ushuli,Syi’ah dapat tegak tanpa adanya wakil Imam Ghaib. Untuk meneguhkan abadinya ajaran Syi’ah, maka harus ada suatu hukum dasar (konstitusi) yang berlaku universal, berlaku sepanjang masa bagi semua pengikut Syi’ah dimana saja mereka berada. Universalitas ajaran Syi’ah Iran inilah yang memberi semangat penganut Syi’ah untuk selalu memperjuangkan berdirinya pemerintahan ala imamahSyi’ah Iran, dimana pun mereka berada. Untuk menjaga agar paham ideologi-religius Syi’ah Iran selalu eksis diadakanlah pelarangan penghapusan doktrin imamah dan pemerintahan – yang disebutkan terus menerus – (al-wilayah), hukum imamah harus ditegakkan walaupun “dunia akan runtuh,” persis slogan hukum Yunani “fiat justitia et pereat mundus”.[5] Penyebutan agama Islam sebagai agama resmi Iran sangat penulis ragukan, sesungguhnya Iran menyebut Islam untuk taqiyyah, agar orang suka kepada madzhab Ja’fari dua belas imam atau Syi’ah Imamiyah-Itsna Asyariyah, sehingga Republik Iran dapat juga disebut “Republik Taqiyyah.”Ketika Imam Mahdi muncul menjelang al-Mahamah al-Khubro, maka kekuasaan diserahkan kepadanya dan dengan sendirinya sistem Reppublik berakhir secara otomatis.
Selanjutnya, penggunaan nama Jafari yang disebut mendahului dua belas imam,menjadi alat propaganda untuk menunjukkan bahwa Imam Jafar adalah sebagai pendiri madzhabJafari. Klaim sebagai pendiri madzhab ini demikian kuat pengaruhnya di kalangan para kaum Sunni yang awwam, mengingat semua keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali Bin Abi Thalib ra harus melalui “pintu nasab” Jafar As-Shadiq ra. Terlebih lagi para Imam Sunni pernah belajar kepada Ja’far As-Shadiq ra[6], seperti Imam Malik ra dan Imam Hanafi ra. Kepopuleran madzhab Jafari, pasca Revolusi Iran sampai ke negeri Malaysia dan Indonesia. Sebagai contoh di Malaysia sebelum adanya pelarangan ajaran Syiah pada tahun 1996, pengakuan dan kebolehan mengamalkan ajaran Syiah disebutkan Syi’ahJafariyahatau Zaidiyah, bukan Itsna Asyariyah. Syi’ah Jafariyah ini kemudian diklaim oleh Syi’ah sebagai madzhabAhlul Bait, dan hingga sekarang istilah ini tetap melembaga, suatu madzhab keluarga suci Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, pelekatan kata madzhab ini juga sengaja diarahkan oleh Syi’ah Iran, dimaksudkan agar orang mempercayai bahwa Syi’ah adalah sebagai salah satu dari madzhab resmi Islam. Seolah-olah perbedaannya dengan Sunni hanya di ranah furuiyyah/fiqiyyah belaka dan bukan dalamranah ushuluddin (aqidah). Melalui propaganda penamaan Madzhab Jafari dua belas imam inilah Iran telah berhasil menghimpun pecehan-pecahan aliran Sy’iah yang terserak di berbagai dunia, terlebih lagi dengan keberhasilan Khomeini membentuk Republik Islam (baca: Syi’ah) Iran dan kampanye melawan AS dan Zionis Yahudi. Iran melekatkan nama dua aliran – Jafariyah dan Itsna Asyariyah – yang sesungguhnya berbeda, Jafariyah adalah salah satu aliran dalam Syi’ah yang menganggap imamah berhenti pada Imam Jafar as-Shadiq, dengan demikian terkenal dengan sebutan aliran sittah (enam imam). Sedangkan Itsna Asyariyahberpendirian bahwa imamah itu masih berkelanjutan dari turunan Ja’far As-Shadiq ra sampai kepada al Imam yang kedua belas, yakni al Imam Muhammad bin Hasan Askari.
Penelusuran literatur menunjukkan perpecahan Syi’ah paling banyak pasca Imam Jafar As-Shadiq wafat, dengan lahirnya aliran Ismailiyah, Druze, Dawoodi Bohra, Hafizi, Nizari, dan lain-lain. Adapun aliran Zaidiyah tidak dimasukkan sebagai bagian dari Itsna Asyariyah, dikarenakan pemikirannya yang dekat dengan Sunni.
Keuntungan lain menggunakan term madzhab adalah meniadakan penetangan dari kalangan Sunni, kalaupun ada penetangan maka pendekatan yang dibangun adalah melalui media taqrib antara Sunni dengan Syi’ah. Media taqrib inilah yang cenderung diperjuangkan oleh Syi’ah Iran sebagaimana pertemuan antara tokoh-tokoh agama dari berbagai negara terkenal dengan Deklarasi Amman (Amman Mesaage). [7]
Taqrib diberdayakan ketika posisi Syi’ah dalam situasi dan kondisi yang lemah, tapi tidak berlaku ketika ia mampu menandingi Sunni seperti yang terjadi di Irak, Lebanon dan Suria, apalagi di Iran.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Syi’ah Iran menggunakan penamaan Jafari dengan mengambil nama madzhab Ahlul Bait, dimaksudkan untuk mengelabui kaum awwam Sunni agar percaya dan yakin bahwa ajaran itu memang berasal dari keluarga suci Nabi Muhammad SAW. Sifat yang sangat berlebihan (ghuluw) dan pengkultusan para imam yang melebihi derajat para malaikat dan para Rasul memang dikehendaki agar menumbuhkembangkan kepatuhan dan ketaatan. Adapun setiap orang yang menentang ajaran Syi’ah Iran akan selalu disematkan tuduhan nawashib/khawarij (golongan anti Ahlul Bait).[8]
Pengakuan Syi’ah bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq merupakan Imam dari golongan Syi’ah Imamiyah, sejatinya tak lebih hanya sekedar apologi belaka, sebab kenyataannya keyakinan dan perilaku beliau bertolak belakang dengan keyakinan dan perilaku Syiah. Contoh kecil, sudah tidak asing bahwa komunitas Syiah sangat benci terhadap Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra dan Sayyidina Umar bin Khathtab ra. Namun sikap Imam Ja’far ash-Shadiq kepada beliau berdua sangat mengagumkan. Dalam kitab al-Masyra’ ar-Rawi, juz I hlm.86 yang dikutip dari Mauqif al-‘Alawiyyin Tujjah as-Syiah, hlm.12, Imam Ja’far ash-Shadiq berkata “Aku lepas tangan dari orang-orang yang membenci Abu Bakar dan Umar. Jika sekiranya aku berkuasa, niscaya aku akan mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah orang-orang yang membenci keduanya.”[9]
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Sesungguhnya Aku dilahirkan oleh Abu Bakr dua kali”. Ibunya adalah Ummu Farwah, dan namanya adalah Qaribah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr Ash-Shiddiq Radhiyallaahu ‘Anhu. Dan Ibu dari Ummu Farwah) adalah Asma binti ‘Abdur-Rahman bin Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Contoh konkrit propaganda penamaan madzhab Ahlul Bait ini dipraktekkan oleh Tajul Muluk, yang mengatakan bahwa Syi’ah adalah ajaran yang diajarkan para sesepuhnya dan Habaib dan mereka adalah Syi’ah sejati. Dengan mengatasnamakan para Habaib, sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW yang diklaim sebagai Syi’ah sejati menjadi alat penyebaran dakwah Syi’ah yang sangat efektif. Salah satu Ormas Syi’ah mengambil nama “Ahlul Bait Indonesia (ABI),” lebih kental bernuansa habaibisme dengan dibuktikan para petingginya dari kalangan habaib,[10] antara lain, Umar Shahab, Husein Shahab, Haidar Baqir, Hasan Daliel Alaydrus, dan lain-lain. Perlu diketahui pembentukan Ormas DPP Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini sangat bersifat politis, pada awalnya ia hadir dalam rangka mengcounter peristiwa Sampang.[11]
Tentu menjadi pertanyaan, kemana Jalaluddin Rakhmat selaku penanggung jawab (Ketua Umum) IJABI, yang notabene Tajul Muluk adalah pengurus IJABI Sampang. Jawaban atas pertanyaan itu adalah sebagai siasat mengedepankan ahlul bait sebagai nama samaran memang ditujukan untuk membangun taqrib dan ukhuwah Islamiyyah yang palsu. Dengan hadirnya ABI sebagai ormas Syi’ah yang baru, tentunya agar lebih dapat diterima oleh kalangan Nahdliyin,
Untuk memperjelas rekayasa Khomeini dalam mengembangkan ajaran Syi’ah Iran dijelaskan melalui batu bangun perjuangan Iran dalam menegakkan ideologi-religius sebagai berikut di bawah ini.
[1] Krisis Imam pertama, ketika al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah ra yang terkenal dengan tahun jama’ah (tahun persatuan). Krisis Imam kedua, ketika al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ra terbunuh dalam perang di Karbala. Krisis Imam ketiga, ketika Zaid bin Zainal Abidin tidak mengakui pada pencela Syaidina Abu Bakar as-Shiddiq ra dan Syaidina Umar bin Khathab ra, dan menyematkan julukan Rafidhah kepada mereka. Krisis Imam keempat, ketika wafatnya Ismail bin Jafar as-Shiddiq. Krisis Imam kelima ketika Al-Hasan Askari bin Ali al-Hadi wafat dan tidak meninggalkan keturunan, kemudian direkayasa dalam riwayat mereka bahwa anak dari al-Hasan Askari yakni Muhammad Al-Mahdi sebagai imam terakhir yang dalam masa ghaib khubro, kelak di ahkir zaman akan muncul menjadi pemimpin umat Islam. Lihat lampiran perpecahan imam Syi’ah.
[2] Ideologi politik versi Ikhwanul Muslimin yang di Indonesia – sebagai salah satu contohnya – dikembangkan melalui Hizbut Thahir Indonesia (HTI) dalam tataran keagamaan tidaklah menyimpang sebagaimana Syi’ah. HTI mengusung konsep “khilafah” bukan “imamah.” Tidak ditemukan adanya paham mendiskualifikasikan para khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Iran menjadilan dirinya sebagai pusat (basis) kekuatan dan berbagai negara dijadikannya seperti negara bagian – sebagaimana Suria dan Lebanon – dengan konsep Marjaiyat, dan ini telah terbukti. Adapun HTI yang ada di Indonesia tidak menjadikannya sebagai bagian integral dari Ikhwanul Muslimin yang dikembangkan di Mesir. Bahkan kekuatan Ikhwanul Muslimin – negara asal pembentuk gerakah khilafah – keadaannya tidak menentu dan mengalami kemunduran. Singkat kata, belum pernah ada negara Ikhwanul Muslimin di dunia ini. Adapun gerakan “salafi” tidak dapat dikatakan sebagai gerakan ideologi-politik, namun hanya gerakan keagamaan semata yang tidak ada sangkutpautnya dengan perjuangan mendirikan suatu negara dalam negara.
[3] Posisi Iran sangat menguntungkan, karena menguasai selat Hormuz. Apabila Iran melakukan blokade Selat Hormuz, berpotensi merusak perekonomian dunia. Kapal-kapal tanker pembawa minyak mentah dari negara-negara produsen minyak di Teluk Persia, seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Iran sendiri, harus melewati selat sempit itu untuk menuju lautan lepas. Inilah sebabnya AS tidak berani melakukan perang dengan Iran, beda halnya dengan Irak. Jadi tidak benar jika dikatakan AS merasa takut dengan kekuatan militer Iran, yang benar adalah ketakutan AS dan seluruh dunia jika dilakukan blokade yang berdampak pada tidak adanya suplai minyak dan melambungnya harga minyak dunia, akibat akhir “krisis ekonomi dunia.”
[4] Penulis memandang Revolusi Khomeini bukanlah Revolusi Islam sebagaimana yang didengungkan pada saat itu dan diyakini hingga saat ini. Revolusi itu melainkan hanyalah Revolusi Syi’ah belaka, perseturuan antara faksi Ushuli versus Akhbari yang kemudian dimenangkan oleh Ushuli, dimana Khomeini termasuk dalam faksi Ushuli ini. Untuk mendalami perseturuan faksi Ushuli vs Akhbari serta pengadopsian sistem kepausan dalam konsep wilayat al-faqih(rahbar), baca: Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah, Cet. V. Pustaka Bayan bekerjasama dengan Bina Aswaja, Jawa Timur, 2013.
[5] Tidak dapat dirubahnya ketentuan Pasal 12 ini jelas menunjukkan kediktatoran Iran dalam memaksakan ideologinya dan mengekspornya ke seluruh pengikut Syi’ah dimana saja mereka berada.
[6] Imam Ja’far ash-Shadiq itu adalah guru besar para pendiri madzhab. Beliau adalah ‘allamah besar yang pengajian-pengajiannya digelar di Madinah tanpa taqiyyah. Beliau tidak menginggalkan satu buku standar tentang madzhab seperti para imam pendiri madzhab. Tapi inspirasi para pendiri madzhab itu didapati dari imam Ja’far ash-Shadiq. Beliaulah guru utama mereka.
[7] Kaum Rafidhah selalu berlindung dibalik konsensus Deklarasi Ammanuntuk legitimasi penyebaran Syi’ah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syi’ah untuk menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan aqidah. Menurut Mohammad Baharun, Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif. Solusi damai antara Syi’ah dan Sunni justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan aqidah. Risalah Amman tahun 2005juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman,telah merilis tiga fatwa tentang Syi’ah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Sy’iah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan aqidah antara Sunni dan Syi’ah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007. Lihat: Mohammad Baharun, “Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar“, http://www.hidayatullah.com. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2014, jam: 16.50 WIB.
[8] Hal ini adalah suatu yang lumrah terjadi, dan memang menjadi alat bagi mereka untuk menekan perlawanan terhadap Syi’ah. Menarik untuk disimak adanya pernyataan bahwa masalah Syi’ah adalah masalah habaib, masalah “duren dengan duren”. Pernyataan ini tidak benar, penulis ketika mewancarai Al-Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff, Al-Habib Achmad bin Zein Al-Kaff dan Mohammad Baharun, menolak statemen tersebut. Pernyataan keras dikatakan oleh Al-Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaff, “memangnya agama ini milik Habaib!”.
[9] Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Baharun, Tantangan Syi’ah Terhadap Ahlussunnah, Jawa Timur, Pustaka Sidogiri, 2008, hlm.57-58.
[10] Menurut Al-Habib Achmad bin Zen Al-Kaff, tidak ada Habaib yang menjadi Syi’ah, kalaupun ada orang tersebut bukan Habib tapi “Mantan Habib.” Mereka otomatis telah melepaskan ke-Habaiban-nya ketika menjadi penganut Syi’ah.
[11] Pembentukan DPP ABI dengan menghadirkan kalangan para “mantan Habib” ini didayagunakan untuk membela Tajul Muluk dan sekaligus mengkampanyekan bahwa Syi’ah adalah madzhab Ahlul Bait. Dalam banyak kesempatan mulai dari kegiatan safari petinggi ABI ke pondok-pondok pesantren Sunni pasca kasus Sampang, dan memberikan kesaksian yang meringankan terdakwa Tajul Muluk hingga acara Indonesian Lawyer Club, dengan berbagai pembelaannya. (azm/arrahmah.com)