Oleh:
Al-Ustadz Subki Saiman, MA. (Ketua LKS Al-Maqashid Syariah)
DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Divisi Fatwa dan Pengkajian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia DKI Jakarta, dan Peneliti Ahli LKS Al-Maqashid Syariah)
(Arrahmah.com) – Menjadi jelas bagi kita, bahwa batu bangun perjuangan Syi’ah Iran demikian kokoh dan berlapis. Diawali dengan penyatuan aqidah, dibentuknya ideologi-politik yang praktis, diakhiri dengan aqidah pula. Menyakini Imam Zaman adalah wajib, tidak menyakini “mati dalam keadaan jahiliyah”.[1]
Lebih lanjut, doktrin imamah dan pemerintahan yang terus menerus yang tidak dapat dihapus sepanjang masa berimplikasi pada kontruksi politik hukum sistem ketatanegaraan Iran, yakni keterpaduan hubungan sang Rahbar dengan marja-marja di berbagai negara. Melalui kelembagaan sistem politik imamah, iran berupaya menegakkan pemerintahan ala imamah dengan membentuk terlebih dahulu marja al-taqlid [2].
Menurut Khomeini, usaha-usaha pendirian Negara Syi’ah merupakan bagian dari aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan).[3] Di sinilah letak watak ekspansif ideologi Syi’ah Iran, sebagaimana terjadi di Lebanon, Irak, Bahrain, dan Afganistan. Keberlangsungan pemerintahan yang terus menerus itu sangat terkait dengan agenda mempertahankan ruang hidup (geopolitik) Iran dari berbagai kemungkinan ancaman dari pihak lawan.
Kesadaran membangun komitmen ideologis-religius inilah yang membawa Syi’ah Iran pada masa kebangkitannya. Hal ini dapat dilihat dari keberanian dan kemampuannya menandingi Irak dalam perang teluk yang berlangsung selama kurang lebih 8 (delapan) tahun itu. Padahal Iran baru saja berdiri, selepas hengkangnya Shah Pahlevi, sedangkan Irak dalam adalah negara yang sudah lama berdiri, tentunya memiliki kemampuan yang lebih dari Iran, baik dukungan finansial maupun kekuatan militer. Ternyata deterent effect Irak tidak mampu mengalahkan Iran.[4]
Bangunan doktrin imamah dan pemerintahan terus menerus, telah mampu membawa Iran mengembangkan geopolitik dan geostrategi pada masa-masa selanjutnya. Tujuan Iran selanjutnya membangun kekuatan di Timur Tengah dengan mengungguli pesaing-pesaingnya. Iran telah mencapai superioritasnya ketika berhasil mengembangkan kekuatan di Lebanon melalui pembentukan Hizbullah di Lebanon dan kerjasamanya dengan rezim Bashar Assad di Suria.
Telah disebutkan di atas, bahwa pembentukan marjaiyat kaukus Persia merupakan resultan aplikasi ideologi imamah Iran. Ideologi adalah hukum dasar pemersatu bagi kelangsungan hidup negara, maka dari itu Iran membutuhkan geopolitik dan geostrategi demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tidak akan menjadi berarti, jika suatu ideologi hanya suatu simbol belaka tanpa ada upaya merekayasa masyarakat. Roscue Pond memberikan penjelasan bahwa hukum sebagai alat perekayasa masyarakat, “law is a tool of social engineering.” Rupanya Iran lebih maju dalam melakukan perekayasaan ini, menanamkan suatu keyakinan yang sangat kuat kepada pengikutnya untuk mempercayai keabsahan doktrin agama secara total. Totalitas inilah yang membuat perjuangan Syi’ah Iran mencapai klimaknya dengan membentuk wilayat al-faqih yang sangat sentralistik itu.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan doktrin imamah sangat fundamental dan spektakuler dalam ajaran Syi’ah Iran, yang mampu melakukan rekayasa sedemikian rupa. Rekayasa spektakuler yang sedang dipersiapkan oleh Syi’ah Iran adalah menanti kemunculan Imam Mahdi as (versi Syi’ah). Dalam rangka mendukung kemunculan Imam kedua belas inilah label “Pemimpin Besar Revolusi” masih terus disematkan pada diri Rahbar Ali Khamenei. Sebagaimana memang sudah menjadi keyakinan, bahwa Imam akhir zaman haruslah dari kalangan Syi’ah, dan penantian itu terkait pula dengan keyakinan perang akhir zaman (al-Mahamah al-Qubro). Tepatlah julukan Republik Iran adalah “Republik Taqiyyah”, yang menunggu sampai munculnya Imam Mahdi versi mereka.
Imam Mahdi sebagaimana dinubuwwatkan oleh Nabi Muhammad SAW, “namanya seperti namaku dan nama bapaknya seperti nama bapakku”. Menurut literatur Sunni,[5] Imam Mahdi adalah keturunan dari jalur Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, bukan dari jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah sama persis dengan Yahudi yang mengharap Nabi terakhir dari golongan (bangsa) mereka, namun ternyata dari keturunan Nabi Ismail AS, yang dalam rentang waktu lama (para keturunannya) tidak ada Nabi, ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi penutup, mereka ingkar dan berbuat makar. Hal yang sama bisa saja terjadi, Syi’ah mengharap apa yang bukan menjadi haknya, kemudian ingkar dan makar sebagaimana kaum Yahudi. Singkat kata Imam Mahdi fiktif berada di pihak Syi’ah, mungkin yang dimaksud al-Masikhhul Dajjal al-Muntazar![6]
Ekspansi ideologi imamah Syi’ah Iran, juga tak luput dari penolakan dan dianggap sebagai suatu bid’ah Khomeini oleh sebagian tokoh dan ulama Syi’ah sendiri. Muhammad Kamil Al Hasyimi dalam bukunya “Hakikat Akidah Syiah” mengutip kata-kata Al Musawi (Ketua Majlis Ulama Syi’ah Amerika Serikat) yang menyatakan:
“Untuk kepentingan siapa Khomeini mengekspor revolusi pemikirannya yang rusak dan prinsip-prinsip yang sesat kepada bangsa-bangsa Islam yang aman untuk menimbulkan ketakutan dan kekacauan, peperangan, dan perselisihan? Semua itu adalah untuk kepentingan Zionis dan musuh-musuh Islam yang berusaha keras untuk menghabiskan kekuatan umat Islam dan mengalirkan darahnya dengan tangan mereka sendiri tanpa campur tangan dari luar.”[7] (garis bawah dari penulis)
Ali Gadhanfari Karari (Ketua Majlis Ulama Syi’ah Pakistan) dalam pernyataan yang mengingatkan ancaman bahaya revolusi Khomeini, ia menuturkan:
“Perlu sekali kita membuka sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, menjelaskan penyelewengan -penyelewengannya, sehingga kita dapat menyelamatkan Islam dan umat Islam dari terjerumus dalam pengakuan-pengakuannya yang palsu. Dan cukup saya jelaskan bahwa konstitusi Iran pada dasarnya berdiri di atas teori Wilayat Faqih yang diciptakan oleh Khomeini.”[8] (garis bawah dari penulis)
Basyar Awwad, Sekretaris Jenderal Muktamar Rakyat Islam, senada menyatakan: “Tak diragukan lagi bahwa umat Islam sekarang menghadapi aksi-aksi agama Khomeini yang munafik dan yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Islam sebagai gerakan yang keluar dari batas Islam.”[9] (garis bawah dari penulis)
Idealisme Khomeini tentang Revolusi Iran tahun 1979 menginspirasi aktivis Islam di belahan dunia, sekaligus menyingkap intrik-intrik politik Khomeini untuk internasionalisasi Syi’ah yang ambisius. Strategi dan perencanaannya sangat politis, namun tetap ideologis. Ambisinya boleh dikata melebihi batas-batas ajaran Syi’ah. Tapi memang, status ajaran Syi’ah pasca imam kedua belas ghaib tidak selalu stagnan, tapi berkembang. Mungkin mengikuti jalur pemikiran para pengganti sementara imam Syi’ah. Dia menegaskan, revolusi yang ia gerakkan bukan sekedar revolusi lokalitas Syi’ah Iran, namun mencitrakan Republik Iran sebagai pusat global Islam (baca: Syi’ah). Ambisinya bukan sekedar menjadikan dirinya pemimpin tertinggi Iran, atau pempimpin kaum Syi’ah di dunia, tapi juga memimpikan semua elemen dunia mengakuinya sebagai pemimpin tertinggi. Mimpi politis ini digerakkan oleh tuntutan ideologis dengan konsep imamahnya.
Negara-negara Syi’ah selalu bercirikan lima sifat sebagaimana disebutkan di bawah ini:[10]
- Ulama melakukan oposisi sekalipun pemerintahan dikontrol oleh kaum Syi’ah;
- Ayunan bandul komitmen politik antara posisi taqiyyah dan ta’bi’ah, yang keduanya menolak otoritas duniawi;
- Intensitas kehidupan ritual, yang membuat dampak agama dirasakan dalam kegiatan sehari-hari manusia;
- Variasi luas para spesialis agama, yang meresapi seluruh struktur komunitas agama; dan
- Unsur pemberontakan yang tersirat dalam berbagai bentuk ibadah dan ritus kolektif, yang hampir seluruhnya berasal dari kesyahidan Imam Husaindi pertempuran Karbala.
Unsur pemberontakan Syi’ahsangat terikat secara religius, memancar dari ajaran agama Syi’ah, perhatikan pidato Syaikh Mahdi Syamsuddin dalam peringatan Asyura di Lebanon tahun 1983:[11]“Islam (Syi’ah) adalah pemberontakan yang terus-menerus, gerakan yang terus-menerus, proses pembaruan yang terus-menerus dalam diri manusia.” (dalam kurung dari penulis)
Dukungan pemerintah Iran dalam gerakan Syiahisasi, dapat diketahui salah satunya dari Majalah Al Mujtama, Rabi’ul Awwal 1408H mengatakan:
“Bahwa pemerintah Teheran mengeluarkan belanja untuk propaganda sama persis dengan belanja perang. Mereka lebih mengutamakan untuk menyiarkan buku-buku yang lebih bercorak pemikiran revolusi Iran dan mengelirukan aqidah Ahlussunnah. Mereka telah mencetak berjuta-juta buku dalam berbagai tajuk di dalam berbagai bahasa di dunia.”
Syi’ah saat ini tengah berupaya memperkuat posisinya, terlebih lagi telah banyak dari mereka yang masuk ke Parpol dan menjadi anggota DPR, salah satunya adalah Gembong IJABI, Jalaluddin Rakhmat. Dia bersama isterinya Emilia Renita AZ termasuk orang yang paling aktif melecehkan Islam, paling gemar menista Ummahatul Mukminin dan Sahabat Nabi Muhammad SAW dalam banyak tulisannya. Kegemaran menista merupapakan amalan wajib bagi agama Syi’ahRafidhahmamiyah-itna asyariyah (Syi’ah Iran). Pengakuan Roeis Hukama, adik Tajul Muluk alias Ali Murtadlo, yang juga mantan penasehat IJABI Sampang, menyatakan bahwa:[12]
“Pada saat Shalat tidak pakai bacaan kiblati dan bacaan fardhu, kemudian sesudah salam ada takbir 3 (tiga) kali yang intinya melaknat ke 3 (tiga) sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin Khathab ra, dan Usman bin Affan ra, karena dianggap kafir.” (garis bawah dari penulis)
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh terpidana Tajul Muluk adalah sama dengan yang dilakukan oleh semua Syi’ah di Indonesia, dan apa yang dilakukan oleh Syi’ah di Indonesia adalah sama dengan yang dilakukan oleh Syi’ah Iran.
Lebih lanjut, menyangkut gerakan politik Syi’ah di Indonesia, mereka saat ini tengah memperjuangkan beridirnya marja al-taqlid[13], suatu otoritas yuridis perpanjangan wilayat al-faqih[14] di bawah kekuasaan wali al-faqih (rahbar) Ali Khamenei, imam Syi’ah sedunia, penerus Khomeini.
Keberlakuan marja al-taqlid yang bermuara kepada wilayat al-faqih menunjukkan adanya potensi intervensi dari wali faqih. Contoh aktual adalah sebagaimana yang terjadi di Lebanon dengan menguatnya gerakan Hizbullah. Sejak kemunculan Hizbullah hingga sekarang, fungsi wali faqih senantiasa tidak terpisahkan sari ideologinya.[15]Keberlakuan marja al-taqlid bersifat lintas negara atau nonteritorial. Sifat nonteritorial keberlakuan wilayat al-faqih dapat juga dilihat dari pernyataan Naim Qassem (Sekjen Hizbullah), yang menyebutkan bahwa Imam Khomeini sebagai pemimpin yang menetapkan instruksi politik yang umum bagi seluruh muslimin di manapun berada.[16]Dikatakan juga bahwa keberadaan wali al-faqih merupakan wali bagi seluruh umat Islam (baca: Syi’ah) dan yang kekuasaan perintahnya tidak terbatas pada lingkungan di dalamnya.[17] Naim Qassem, juga menyatakan bahwa negara asal seorang wali al-faqih tidak memiliki hubungan dengan ruang lingkup kekuasaannya. Hal yang sama juga berlaku bagi otoritas spiritual dan ruang lingkup geografis dari otoritas semacam itu. Boleh jadi, ia adalah orang Iran atau Irak, orang Lebanon atau Kuwait, atau negara lainnya. Karenanya, kebangsaannya tidak terkait dengan berbagai kualifikasinya, karena dia melaksanakan tugas Islam dan bekerja untuk agama ini yang merupakan rahmat bagi seluruh mahluk.”[18]Pendapat wali faqih sangat strategis dan menentukan dalam bidang partisipasi, oposisi atau pemberontakan.[19] Sehingga terlihat, wali faqih tampak sekali menentukan perintah yang terkait dengan masalah-masalah seluruh umat, seperti penentuan “lawan atau kawan.”[20]
Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.[21]Mohammed Hussein Fadlullah, sebagai marja mengatakan:
“Pendapat seorang faqih adalah pendapat yang memberikan legitimasi secara syari dan sebagai wakil Imam, dan Imam adalah wakil Nabi Salla Allahu alaihi wa Sallam. Karena Nabi Salla Allahu alaihi wa Sallam lebih lebih berhak untuk diutamakan daripada diri mereka sendiri, maka Imam juga demikian. Faqih yang adil juga demikian adanya.”[22]
Ideologi jihad Hizbullah terikat secara keagamaan dengan lembaga wilayat al-faqih yang berfungsi sebagai pengendali strategis dalam segenap aktivitas jihad. Dengan demikian, Hizbullah meletakkan ideologi dan strategi jihadnya dalam kerangka legitimasi keagamaan dan tidak membiarkan ideologi berjalan secara terpisah dari strateginya.
Syi’ah Iran istilah yang tepat
Dengan menguatnya ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran ke berbagai negara, menjadi bahan renungan bagi kita untuk mendefinisikan ulang tentang aliran-aliran Syi’ah sebagaimana banyak disebut dalam berbagai literatur. Terkait dengan ini, tahukah pembaca, bahwa pendefinisian atas Syi’ah bukan lagi disebut Syi’ah Jafariyah, Imamiyah, Itsna Asyariyah, Zaidiyah, dan lain sebagainya, semuanya sekarang sudah tidak relevan lagi! Apalagi nama samaran yang mereka kembangkan saat ini “Madzhab Ahlul Bait” adalah suatu kebohongan besar,mengatasnamakan keluarga Nabi Muhammad SAW, padahal mereka menghancurkan ajaran Islam yang ditransmisikan melalui sahabat dan para keturunan Nabi Muhamamd SAW. Untuk itu penulis menamakannya dengan “Syi’ah Iran.”Dikatakan demikian, oleh karena Syi’ah yang dikembangkan sekarang ini berpusat dan dikendalikan oleh Iran, hanya untuk kepentingan Iran belaka. Dalam analisis penulis, Khomeini dengan faksi ushulinya telah banyak melakukan perubahan-perubahan mendasar, penyimpangan di atas penyimpangan, kebohongan di atas kebohongan demi mewujudkan “kebangkitan bangsa Persia.”
Mendukung pernyataan bahwa Syi’ah yang ada di Indonesia dengan Syi’ah Iran, diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, dalam rekaman wawancara, yang menanyatakan: “apa perbedaan Syi’ah di Indonesia dengan Iran?”, maka ia menjawab:
“Tidak ada. Syi’ah di Iran menganut Syi’ah Itsna Asyariyah atau Imamah, yakni ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan. Ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Iran. Dan kami juga Syi’ah Itsna Asyariyah.”[23]
Dia menyebutkan ajaran yang mengutamakan masalah kepemimpinan, dimana ajaran itu tercantum dalam Undang-Undang Dasar Iran, dengan demikian ia sebenarnya hendak mengatakan bahwa Syi’ah Iran mengedepankan wilayat al-faqih dan dengannya Syi’ah di Indonesia memiliki pandangan yang sama yakni mengacu kepada wilayat al-faqih dimaksud.
Ketika kita menyebut Syi’ah Iran, maka yang dimaksudkan adalah Syi’ah yang dijuluki oleh Nabi Muhammad SAW yakni Syi’ah Rafidhah yang suka mencaci-maki para sahabat, sebagaimana juga perkataan Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Penyebutan Syi’ah Iran menggantikan penamaan Syi’ahImamiyah, Jafariyyah, Itsna Asyariyah dan semua Syi’ah yang dikendalikan dan tunduk kepada Iran.
Perlu juga diketahui bahwa berhasilnya Revolusi Iran dengan mempropagandakan “Tragedi Berdarah Karbala” yang dianggap oleh kalangan Syi’ah sebagai Revolusi Imam Husain as. Khomeini dengan sangat jelas mengatakan hal ini dalam berbagai ceramahnya, bahwa keberhasilan Revolusi Iran tidak lepas dari pelaksanaan tradisi Majelis Asyura.[24] Bahkan Ali Syari’ati menekankan pentingnya berkorban dan kalau perlu setiap orang menjadi martir bagi perjuangan yang mereka yakini. Dari hal itu muncul pernyataan, “Setiap tempat adalah Karbala, setiap hari adalah Asyura.” Begitu pun keberhasilan Hizbullah juga mengangkat tema sentral jihad Imam Husain pada setiap peringatan Asyura (10 Muharram). Ritual Karbala (Asyuro) semakin meningkatkan watak defensif ideologi jihad Hizbullah, sebagaimana juga dipraktekkan pada saat menjelang Revolusi Iran tahun 1979.
Syi’ah dalam banyak ajarannya khususnya tentang imamah dan pengorbanan Revolusi demi Imam Husain as telah menjadikan pengikutnya begitu sangat fanatik. Terkait dengan sifat fanatik ajaran Syi’ah ini, Saefuddin Buchori mengatakan bahwa suatu ajaran yang dipegang secara fanatik biasanya menimbulkan keinginan di kalangan pengikutnya untuk berkuasa.[25]
Bantahan klaim Syi’ah: “NU adalah Syi’ah minus Imamah”
Perlu penulis sampaikan terkait dengan banyaknya ungkapan yang beredar, “NU adalah Syi’ah minus Imamah“, dan “Syi’ah adalah NU plus Imamah.” Ungkapan ini berasal dari alm. Gus Dur, sayangnya kebanyakan orang tidak mengerti apa yang dimaksudkan alm. Gus Dur, dan memang ucapannya yang kadang membuat orang terkecoh.
Perlu diketahui, perbedaan pokok antara NU (termasuk kaum Sunni lainnya) dengan Syi’ah memang imamah, kalau disebut “NU adalah Syi’ah minus imamah” berarti imamah itu tidak ada artinya di mata NU. NU tidak mengakui imamah sebagai doktrin utama Syi’ah.
Sebaliknya jika disebut “Syi’ah adalah NU plus imamah“, maka bermakna Syi’ah telah jauh menyelisihi NU dan tentunya kaum Ahlussunnah lainnya, plus disini berarti Syi’ah sangat berlebihan sampai kepada taraf yang membuatnya terlepas dari persamaannya dengan NU (Sunni). Posisi “plus” sama dengan “Nasrani” yang berlebihan dengan mengatakan Isa AS adalah “anak Tuhan”. Itulah hakikat makna pernyataan alm. Gus Dur yang penulis pahami, walaupun Syi’ah dan sekutunya mengingkari.
Persamaan walaupun ada, tidak dapat dikatakan bisa menyatu, sebagaimana minyak tanah dengan air, sama-sama benda cair tapi keduanya sampai hari kiamat tidak akan pernah menyatu! Demikian pula antara Sunni dengan Syiah! Hanya orang dungu dan bodohlah yang mengatakan keduanya bisa menyatu.
Menghormati Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah tradisi Sunni yang sudah berakar. Karena itu, maka pembacaan Diba’ hanya popular di kalangan Sunni. Diba’ di Iran tidak dibaca seperti di sini. Menghormati Ahlul Bait, sekali lagi, tidak identik dengan Syi’ah.[26] Ungkapan alm. Gus Dur, bahwa “NU itu lebih Syi’ah dari Syi;ah di Iran”, haruslah diartikan bahwa memang keduanya sama-sama menghormati Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Bahkan kaum Nahdhliyn tidak pernah membeda-bedakan para imam seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah: ada yang meyakini enam imam, tujuh imam, ada pula yang 12 imam.[27]
Ketika Bung Karno menggagas konsep Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom), ketika itu pula kalangan Islam menolak, dan menyatakan protesnya, karena Islam dan Komunis tidak mungkin dapat bersatu walaupun untuk dan atas nama perjuangan revolusi. Jika sekarang ada segelintir orang menyataan Sunni-Syiah dapat dipersatukan, maka orang tersebut sama dengan pemikiran orang-orang terdahulu yang menganggap Islam dan Komunis dapat bersatu.
Penutup
Rafidhah semuanya berdiri atas dasar kecintaan kepada Ahlul bait, mereka menyatakan loyalitas terhadap mereka dan berlepas diri dari orang awam yaitu Ahlus Sunnah. Mereka membenci hampir seluruh sahabat Nabi Muhammad SAW, terutama ketiga Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsman bin Affan ra) dan ‘Aisyah binti Abu Bakar ra, hal ini mereka dasarkan dengan fitnah bahwa mereka menentang Ahlul Bait.[28] Sebagai tanda atau alamat Rafidhah mereka mencerca Abu Bakar ra dan Umar bin Khathab ra, sebagaimana perkataan imam Ahmad: “Telah berkata Abdulah bin Ahmad: Aku bertanya kepada ayahku, “Siapa Rafidhah itu?” Dia menjawab mereka adalah yang mencela Abu Bakar ra dan Umar ra.” (Abu Bakr bin Ahmad dalam Assunnah, 3/492)
Fitnah Syi’ah Iran telah merasuk sedemikian kuat ke dalam pemikiran-pemikiran intelektual serta kaum muda bangsa Indonesia. Sungguh kebenaran nubuwwat Nabi Muhammad SAW telah terbukti, beliau Rasulullah SAW bersabda,
“Jika telah muncul fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah serta para sahabatku dicaci-maki, maka seorang alim harus menampilkan ilmunya. Siapa yang tidak melakukan hal itu maka ia akan terkena laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia”.[29]
Oleh karena itu menjadi kewajiban penulis untuk menyampaikan makar provokasi Syi’ah Iran ini kepada ummat Islam, dengan harapan agar selalu waspada dan siaga terhadap gerakan-gerakan mereka yang penuh dengan tipudaya.
————————————–
[1] Ini doktrin fundamental Syi’ah, sangat efektif dalam rangka menjaring massa (kaum awwam Sunni).
[2] Dapat dikatakan marja al-taqlid merupakan resultan aplikasi konsep wilayat al-faqih sebagai kelanjutan ideologi imamah. Kelicikan Khomeini telah berhasil membangun Syi’ah yang agresif, ekspansif dan militan, sehingga Iran memiliki daya tawar di kancah dunia internasional.
[3] Khomeini,al-Hukumah al-Islamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah, tt, hlm.20
[4] Kemampuan Iran menandingi Irak ternyata didukung oleh Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan adanya “Iran Gate” sebagaimana banyak dilaporkan media internasional pada waktu itu.
[5] Pendapat Ibnu Katsir mengatakan Imam Mahdi bukan dari Imam Syi’ah yang diklaimnya, melainkan dari keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Lihat al-Bidayah wa-Nihayah, pembahasan tentang Akhir Zaman (Imam Mahdi), karya Ibnu Katsir.
[6] Skenario dua imam menjelang kiamat bisa saja terjadi, sebagaimana keyakinan Syi’ah meyakini Ali bin Abi Thalib ra sebagai Imam yang sah dihadapkan dengan tiga khalifah: Abu Bakar ra, Umar bin Khaththab ra dan Utsman bin Affan ra. Bedanya Ali bin Abi Thalib ra dikatakan Syi’ah sedang bertaqiyyah pada saat itu, sedangkan pada masa akhir zaman nanti taqiyyah sudah tidak berlaku, digantikan dengan tabi’ah. Tabi’ah adalah suatu kondisi kebalikan dari taqiyyah, yakni menunjukkan jatidiri secara terang-terangan.
[7] M. Kamil Al-Hasyimi, Hakikat Akidah Syiah, (Terjemah H.M. Rasyidi), Bulan Bintang. Jakarta, 1989, hlm.215.
[8] Ibid., hlm. 217.
[9] Ibid., hlm. 211.
[10] Fuad I. Khuri, Imam dan Emir, Negara, Agama, dan Sekte di Dalam Islam, Judul Asli: Imams and Emirs, State, Religion and Sects in Islam, Ctk Pertama, Bandung: Pustaka, 2002, hlm.121
[11]Ibid, hlm.119.
[12] Berdasarkan hasil wawancara dengan MUI Sampang, Sabtu tanggal 31 Desember 2011, bertempat di kantor Kejaksaan Negeri Sampang. Keanggotaan Tajul Mulul dan Roeis Hukama sebagai pengurus IJABI Sampang diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, dia yang secara resmi melantik keduanya. Pengakuan Jalaluddin Rakhmat ini dapat dilihat pada: http://misykat.net/Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia.
[13]Kelembagaan marjaiyat sebenarnya hanya berlaku di wilayah Iran, namun dengan berhasilnya Khomeini meruntuhkan kekuasaan Shah Pahlevi, kelembagaan marjaiyat dikembangkan di berbagai negara. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pengembangan marjaiyat ke beberapa negara merupakan konsekuensi logis dari konsep wilayat al-faqih yang menempatkan seorang wali al-faqih sebagai satu-satunya pemimpin Syi’ah di dunia ini. Dengan hadirnya otoritas marjaiyat di berbagai negara membuktikan ekspansi ideologi Syi’ah Iran terbukti benar adanya.
[14]Otoritas kelembagaan wilayat al-faqih dibentuk dalam rangka menunggu hadirnya Imam Mahdi as selama dalam masa kegaibannya (ghaib kubro). Secara skematis, tata urutan kepemimpinan menurut Syi’ah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah hak para imam ma’shum(wilayat al-aimmah) mulai dari Ali bin Abi Thalib ra sampai dengan Imam Mahdi as. Ketika Imam Mahdi dalam masa kegaiban, maka kekuasaan kepemimpinan berada pada seorang yang faqih. Dengan demikian, imamah adalah adalah kelanjutan dari nubuwwah, dan wilayat al-faqih kelanjutan dari imamah, begitupun marja al-taqlid adalah pula konsekuensi logis dari wilayat al-faqih.
[15] Hizbullah berpandangan, semua dalil dan kemaslahatan yang meniscayakan kehadiran Nabi SAW dan pengganti belaiu dengan semua sifat dan kualifikasi tertentu yang wajib mereka miliki – dalam bobot yang sama – juga meniscayakan kehadiran wakil Imam di zaman kegaiban ini. Sehingga, keniscayaan ini mengantar Hizbullah untuk berpegang pada wali faqih yang mampu memimpin masyarakat Islam kepada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan mewujudkan keadilan sosial. Lihat: Musa Kazhim, Hizbullah Sebuah Gerakan Perlawanan ataukah Terorisme, Cet.ke-1, Mizan Media Utama, Jakarta, 2013, hlm.76.
[16]Naim Qassem Blue Print Hizbullah, Rahasia Manejemen Ormas Islam Tersukses di Dunia, Ufuk Press, Jakarta, 2008, hlm.80
[17] Ibid, hlm.83.
[18] Ibid, hlm.79.
[19] Ibid, hlm.78.
[20] Ibid, hlm.79.
[21] Ibid, hlm.65.
[22] Al Hukumah Al Islamiyah, Penerbit: Muassasah Tandhim Wa Nasyrut Turats Imam Khumaini, cet ke 4, hlm. 72
[23] Sumber : http://misykat.net/ Kisah Kang Jalal Soal Syiah Indonesia, diunduh pada tanggal 15 Mei 2014, jam: 16.45 WIB.
[24] Hatem Abu Shahba, The Word Finally Speaks at Karbala Tribunals, edisi Indonesia: Mahkamah Internasional Tragedi Karbala, Cet.ke-1, Nur Al-Huda, Jakarta, 2013, hlm.7.
[25] Saefuddin Buchori,Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009.hlm.249.
[26] Mohamamd Baharun, Tantangan Syiah…Op.Cit, hlm.122.
[27] Ibid, hlm.118.
[28] Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori, Bahaya Syiah Rofidhoh Bagi Dunia Islam, cet.2, (Sidorejo: Maktabah Daarul Atsar, 2013), hlm.11.
[29] Ditakhrij oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jami’ fi Adab al-Rawi wa al-Sami”,Kitab Muqaddimah Qanun Asasi Jam’iyah NU, hlm.25-26.
(azm/arrahmah.com)