Angkutan massal merupakan sarana yang dapat digunakan manusia untuk melakukan kegiatan sehari-hari, baik untuk kepentingan sosial, ekonomi, maupun kepentingan lain. Jika dikelola dengan baik, angkutan massal bisa menjadi sarana yang menyenangkan dan menguntungkan. Dan dari sekian banyak jenis alat transportasi, penggunaan pesawat terbang merupakan jenis angkutan massal yang tercepat.
Meski punya banyak kelebihan, pesawat terbang secara alamiah adalah alat transportasi yang paling tidak aman. Kenapa? Jika celaka atau jatuh, pasti fatal akibatnya. Namun statistik menunjukkan bahwa pesawat terbang memiliki risiko kecelakaan terendah. Bahkan lebih kecil risikonya dibandingkan dengan naik sepeda. Kenapa bisa demikian?
Penggunaan pesawat terbang dijaga dengan berlapis-lapis aturan, prosedur, standar, lisensi, dan lain-lain. Siapa yang menjaga? Regulator. Dalam hal ini adalah Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Pesawat Udara (DSKU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.
DSKU berfungsi menjaga –sesuai tata cara yang diterbitkan Badan Penerbangan Sipil Dunia (ICAO)– agar semua lapisan aturan pemakaian pesawat dilakukan dengan baik dan benar. Satu lapisan diabaikan mungkin masih selamat. Tapi satu mata rantai menuju kecelakaan sudah terbentuk, tinggal tunggu mata rantai berikutnya.
Sekadar menyebut contoh adalah pesawat Lion Air (PK-LIP 751), yang mengangkut 122 penumpang dan awak, overrun (tergelincir) sampai 30 meter dari ujung landasan AMQ (Ambon), 2 Januari 2007. Pesawat tersebut ternyata tidak di-grounded dan diperiksa oleh Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT), melainkan langsung diizinkan terbang ke Makassar. Ini contoh putusnya satu mata rantai prosedur keamanan dan keselamatan penerbangan.
Kalau sudah ada regulator (DSKU), kenapa masih banyak juga pesawat terbang yang mengalami kecelakaan? Salah satu masalah utamanya adalah kurangnya sumber daya manusia di DSKU dan patut diduga kuatnya aroma perselingkuhan dengan operator penerbangan. Akibatnya, regulator mandul dan menyebabkan melayangnya nyawa ratusan konsumen jasa penerbangan.
Di tahun 2007 ini akan ada sekitar 30 juta penumpang yang harus dipertaruhkan nyawanya oleh pejabat DSKU. Dengan jumlah hanya sekitar 50 orang, dan katakan mereka semua berdedikasi dan tidak berselingkuh dengan operator, jumlah ini jelas tidak memadai untuk menangani sertifikasi dan mengawasi kurang lebih 216 pesawat dan 2.000-an penerbang serta 4.000-an teknisi yang bersertifikat. Apalagi kalau mereka berselingkuh dengan yang diawasi?
Kalaulah benar ada selingkuh, bentuknya seperti apa? Perselingkuhan muncul manakala oknum DSKU menjadi orang gajian operator, seperti menjadi penerbang dan petugas humas di operator. Bagaimana mungkin seorang regulator yang bertugas memberikan sertifikasi dan pengawasan lalu menjadi orang gajian operator yang seharusnya disertifikasi dan diawasi?
Jadi, jangan heran kalau konsumen jasa penerbangan harus siap-siap meregang nyawa begitu pesawat take off. Tidak ada yang tahu jika flaps di sayap pesawat tidak akan berfungsi. Konsumen juga tidak tahu bahwa roda depan pesawat yang ditumpanginya ternyata retak dudukannya karena dahulu pernah overrun di ujung landasan, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan tugasnya, DSKU lebih sering hanya melakukan cek akhir pesawat di bandara yang sering disebut ”ramp check”. Padahal, tugas ramp check ini seharusnya adalah tugas teknisi atau mekanik dari maskapai penerbangan, bukan DSKU. Ramp check hanya untuk mengetahui adanya indikasi masalah, bukan masalahnya sendiri. Namun bukan berarti ramp check tidak perlu. Perlu! Tetapi audit proses lebih penting.
Nah, kalau itu semua belum dilakukan DSKU, maka yang seharusnya diaudit dulu adalah DSKU-nya. Saya yakin, audit terhadap DSKU dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pasti sudah dilakukan. Pertanyaannya, apakah konsumen atau publik layak dan boleh mengetahui hasil audit itu? Publik layak tahu karena menggantungkan nasib pada pesawat terbang dan penerbangnya.
Berkembangnya industri penerbangan yang dimotori pengusaha non-airliners menyebabkan industri penerbangan kita dikelola layaknya industri nasi pecel. Biar untungnya lebih besar, maka bumbu kacangnya harus dikurangi dan air pengencer ditambah atau dijual tanpa kerupuk. Sama dengan industri penerbangan bertarif murah di Indonesia. Apa pun harus dihemat, yang penting operator untung, meskipun memutus rantai prosedur keamanan dan keselamatan penerbangan. Penerbang dilarang menolak terbang. Pilihannya hanya dua: terbang atau dipecat!
Akhir kata, jika regulator (DSKU) tidak direformasi total, jangan heran kalau besok atau lusa atau bulan depan salah satu atau lebih dari kita secara bergiliran akan menjadi korban kecelakaan pesawat terbang. Mau? Tentu tidak. Maka, saatnya kita melakukan advokasi dan protes keras terhadap Menteri Perhubungan agar menertibkan DSKU demi sehatnya industri penerbangan.
Agus Pambagio
*Pemerhati kebijakan publik dan konsumen
[Kolom, Gatra Nomor 9 Beredar 11 Januari 2007]