Ini tulisan bagian III dari Refleksi Jihad Aceh 2010 yang dimuat di blog ‘elhakimi’ dan mendapatkan tanggapan dan respon yang sangat luar biasa. Semoga tulisan ini dapat mencerahkan ummat Islam akan kewajibannya menegakkan Islam dengan dakwah dan jihad sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, As Sunnah, dan teladan salafus sholeh. Insya Allah!
Merumuskan Peta Kontribusi Umat Islam
Mujahidin perlu merumuskan peta kontribusi umat yang dibutuhkan untuk menegakkan Islam, dalam rangka memastikan semua unsur umat bisa mengambil peran sesuai minat dan kemampuan. Karena dalam realita seperti Indonesia saat ini (2010), rasanya tak mungkin berimajinasi bahwa seluruh umat Islam mendukung jihad, apalagi ikut hadir di medan jihad.
Kecuali jika realitanya seperti Iraq atau Afghan, ketika musuh yang kafir dengan beringas menyerang umat Islam, maka diperlukan sebanyak mungkin kader umat yang harus datang ke medan jihad. Dalam situasi semacam ini, kontribusi yang paling dibutuhkan dan efektif bagi umat adalah memanggul senjata untuk mengusir penjajah yang kafir sesegera mungkin.
Peta kontribusi yang dimaksud, misalnya untuk menjawab pertanyaan seorang wartawan muslim, apa kontribusi yang bisa ia berikan untuk jihad dan menegakkan Islam jika tak terjun langsung ke medan laga? Juga pertanyaan serupa dari kalangan pedagang, guru, dokter, petani, sopir, pelaut, ahli IT, insinyur, dan segala macam pernik profesi dan keahlian manusia.
Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong menuju medan jihad? Sekali lagi, untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada “pemantik” untuk menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di sini?
Ataukah ada toleransi dengan membiarkan mereka menekuni profesinya, tapi bisa berkontribusi untuk tegaknya Islam? Jika jawabannya ya, maka yang mereka butuhkan adalah sebuah peta kontribusi. Mereka masih bisa bekerja di bidangnya masing-masing, sambil “menabung” kontribusi dalam sebuah mata rantai yang berujung pada jihad fi sabilillah. Setahu saya, belum pernah dibuat blueprint (cetak biru) peta kontribusi yang mencakup seluruh aliran dan keahlian umat Islam, minimal di Indonesia.
Umat Islam Indonesia memiliki beberapa situs yang gencar menyuarakan tema dan berita jihad, semisal Arrahmah.com, Muslimdaily.net, Eramuslim.com dan lain-lain. Mujahidin tak perlu memprofokasi para admin situs-situs tersebut untuk meninggalkan posnya demi pergi ke bukit-bukit pertempuran. Sebab keberadaan pos-pos tersebut amat vital dalam mengedukasi umat tentang jihad dan mengadvokasi para mujahidin dari kasus-kasus yang menjerat mereka.
Demikian pula jika ada dokter, baik yang umum maupun spesialis. Keahlian mereka perlu dipelihara di tempat kerja mereka masing-masing, untuk suatu saat digunakan. Kader-kader umat yang menggeluti dunia teknik dan rekayasa, biarkan mereka berkembang di tempat kerja mereka masing-masing, karena jihad amat membutuhkan keahlian mereka pada saatnya nanti.
Bahkan lembaga-lembaga dakwah yang hidup di tengah umat dengan segenap ragam dan fokus perhatiannya juga perlu dipelihara. Misalnya ada lembaga yang fokus memberantas kemunkaran (FPI), menekuni pendidikan untuk anak-anak muslim (pesantren dan sekolahan), spesialis menghantam aliran sesat (LPPI), spesialis melawan Liberalisme dan Pluralisme (INSIST: Adian Husaini dkk), spesialis melawan Syiah, spesialis melawan Kristenisasi (FAKTA dll) dan semua elemen umat yang berperan menjaga rumah besar umat dari rongrongan tikus-tikus kemunkaran dan kesesatan.
Paradigma ini dilandasi pandangan bahwa jihad bukan obat segala penyakit. Jihad bukan seperti iklan sebuah produk minuman: apapun makanannya, minumannya teh botol sosro. Untuk melawan Syiah di Indonesia, tak bisa dengan mengancam mereka dengan senjata dari bukit-bukit jihad. Karena mereka menyusup dengan cerdik seperti bunglon di semua lini kehidupan di kota-kota dan desa-desa. Mereka punya aqidah bernama Taqiyah, yaitu keharusan berpenampilan layaknya musuh untuk mengalahkan musuh. Paling baik dan efektif membongkar kedok mereka adalah dengan al-kitab, bukan dengan as-saif.
Membongkar kebusukan mereka adalah melalui ilmu dan dakwah, bukan menantang mereka adu senjata karena wujud mereka pun sulit dikenali. Bukankah Islam ditegakkan dengan dua sarana; al-kitab al-hadiy dan as-saif an-nashir (Kitab yang berfungsi memberi petunjuk, dan pedang yang berfungsi menolong). Kitab melambangkan ilmu dan dakwah, sementara saif melambangkan jihad fi sabilillah. Tanpa perpaduan keduanya, perjalanan Islam akan pincang. Jika hanya menonjolkan kitab, akan dilecehkan musuh. Jika hanya menonjolkan saif, Islam akan tampak garang laksana preman, sehingga orang takut mendekat.
Wilayah Indonesia dengan jumlah muslimnya mayoritas ini yang terbaik adalah dijadikan obyek dakwah, belum lagi obyek jihad. Bukan sembarang dakwah, tapi dakwah yang mendukung perjalanan jihad. Umat dibimbing untuk bisa memahami, mengamalkan dan membela Islam dengan benar. Jika variasi keahlian dan profesi mereka dikelola dengan baik, kekuatan umat bisa digunakan untuk menagakkan Islam pada saatnya nanti bila momentumnya sudah tiba. Sayangnya, manusia kerap tak mampu menundukkan sifat aslinya; isti’jal (tergesa-gesa). Ingin menegakkan Islam laksana sulap. Atau minimal ingin mencapai hasil laksana preman; todongkan senjata, semua urusan akan selesai.
Teliti dalam Merekrut Kader Jihad
Jihad yang bermakna pertempuran di medan perang, harus memilih kader-kader terbaik yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Sebab sudah berulang kali jihad bersenjata dikumandangkan di Indonesia, tapi selalu berujung pada penangkapan yang menyedihkan. Kita harus sangat teliti dan selektif dalam memilih kader yang siap berjihad dengan senjata, karena karakter jihad berbeda dengan karakter dakwah.
Tidak semua orang yang lisannya dengan manis mendukung jihad merupakan orang yang tepat untuk diajak berjihad ke medan tempur. Intelijen berkeliaran, yang banyak di antaranya berpenampilan sangat “salafi” dan sangat “jihadi”. Amat sulit membedakan mana orang yang sungguh-sungguh lagi aman untuk diajak jihad dari kalangan yang justru akan merusak jihad.
Intelijen bekerja dengan sangat serius untuk menjegal barisan mujahidin. Tak bisa kita hanya mengandalkan kader jihad dengan melihat pada penampilan lahirnya, tapi kita harus benar-benar merasa aman dan sangat kenal dengan orang yang menjadi partner jihad kita. Hati-hati dengan kader jihad “karbitan”, yaitu mereka yang hanya semangat jika berbincang soal jihad, tapi ogah-ogahan ketika diajak bicara soal bagaimana cara wudhu yang benar sesuai sunnah Nabi saw, soal kesucian (thaharah), dan soal najis. Mereka enggan dan tidak antusias bicara soal jilbab untuk istri dan anaknya, soal pilihan sekolah untuk anaknya, soal interior rumah yang islami, soal menangis karena takut kepada Allah, soal zuhud, soal wara’ , soal usaha yang halal, soal riba, soal ittiba’ kepada Rasulullah saw dan seterusnya.
Indonesia bukan tempat yang sedang berkecamuk konflik seperti Afghan, Iraq, atau Somalia. Di wilayah konflik, tak diperlukan ketelitian yang terlalu ketat dalam merekrut kader jihad. Siapa pun yang punya cukup keberanian untuk datang ke medan tempur dan ingin berjihad bersama mujahidin, harus diterima dengan tangan terbuka.
Tapi untuk kasus seperti Indonesia, yang bukan negara konflik, kita tak bisa serta merta merasa aman bekerja dengan kader jihad “karbitan”. Tidak semua yang menampakkan ketertarikan dengan tema jihad layak untuk diajak ke medan jihad.
Inilah karakter jihad. Berbeda dengan karakter dakwah, yang sangat open. Siapa pun bisa diajak bergabung dalam barisan dakwah. Siapa pun yang bertanya tentang Islam, kita wajib menjelaskan, tanpa boleh menolak. Bahkan jika yang meminta itu dari kalangan intelijen yang ingin menjebak seorang da’i. Siapa pun yang tertarik dengan dakwah dan menyebarkan Islam asalkan terlihat itikad baiknya, kita mesti mengapresiasinya.
Sementara dalam jihad, barisan mujahidin boleh (bahkan harus) menolak kaum munafiq untuk masuk dalam barisan jihad, jika ternyata ia akan justru merusak agenda jihad. Lihat Surat At-Taubah ayat 83. Tapi ketika Rasulullah saw berada di Madinah, beliau tetap tampak dekat dan akrab dengan kaum munafiq, karena kehidupan di Madinah bercorak dakwah. Alkisah menyebutkan, gembong munafiq zaman Nabi saw yang bernama Abdullah bin Ubay biasa shalat di belakang Nabi saw.
War, Bukan Battle (Perang, Bukan Tempur)
Jihad mestinya dimaknai sebagai peperangan semesta, bukan bentrokan sesaat. Kesalahan dalam mempersepsikan jihad akan melahirkan kekeliruan dalam merealisasikan jihad.
Dalam bahasa Inggris, ada istilah war dan ada istilah battle. War adalah peperangan panjang antara dua pihak. Sementara, battle adalah bentrokan sesaat antara dua kelompok yang bersenjata. Atau dengan kata lain, war (perang) merupakan serangkaian battle (tempur) yang dilakoni dua pihak yang saling berseteru.
Pertarungan antara umat Islam melawan kaum kafir dengan segenap anteknya merupakan pertempuran dan pertarungan panjang yang bersifat lintas generasi. Oleh karenanya lebih tepat disebut perang (war). Permusuhan yang melibatkan seluruh sisi kehidupan, segala jenis keahlian, dan semua ragam kehidupan manusia. Bahkan tanpa ada batas waktu.
Kedua belah pihak menggunakan segala daya kemampuan dan cara untuk mengalahkan lawannya. Ada adu kesabaran dalam mengintai. Ada adu cerdik dalam menjebak. Ada adu pintar dalam mengelabuhi. Ada adu kekuatan dalam benturan senjata. Ada adu kecanggihan teknologi. Ada adu kekuatan ekonomi. Ada adu ketangguhan mental. Ada adu soliditas barisan. Ada adu ketajaman membidik. Semua puncak ilmu dan kehebatan masing-masing diramu dan diracik sebaik mungkin untuk menghasilkan kemenangan.
Jihad fi sabilillah-oleh karenanya-lebih tepat diletakkan dalam makna war atau perang, bukan tempur atau battle. Jihad bukan semata bagaimana dapat memukul dan mengalahkan musuh dalam waktu singkat tapi tak mampu memelihara kemenangan itu. Jika ukurannya bisa memukul musuh di salah satu sesi tempur, bukan merupakan kemenangan jihad. Kemenangan jihad adalah bila mampu memenangkan pertempuran dan dapat memelihara kemenangan itu dengan tegaknya sebuah kekuasaan, karena tujuan utama jihad adalah menghilangkan hambatan dalam melaksanakan Islam dalam tataran negara.
Dengan demikian, jihad menghajatkan pula kemahiran berpolitik, selain membangun kekuatan ekonomi. Ada renungan menarik dari seorang tokoh jihad Afghan yang berasal dari Arab. Renungan ini ditampilkan oleh Hazim Al-Madani dalam bukunya Hakadza Nara al-Jihad.
Berikut catatan Hazim Al-Madani:
Hasil akhir semua rangkaian eksperimen jihad global umat Islam: kita cukup sukses dalam mencapai angka-angka keberhasilan secara militer (tempur), tapi pencapaian kita nol besar di bidang politik. Saya ingat (kata Hazim Al-Madani), suatu hari seorang tokoh jihad Arab di Afghanistan berkata: “Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita – demikian kosa kata yang biasa mereka gunakan – untuk menjinakkan kita.”
Saat itu banyak yang tak sependapat dengan refleksi ini, meski banyak pula yang sepakat. Tapi realita yang kemudian terjadi membuktikan kebenaran sinyaleman ini. Seluruh dunia mengusir eksistensi mujahidin Arab pasca perang melawan Rusia (saat itu Uni Soviet). Mujahidin yang pulang kampung ‘diberi rahmat’ (baca; ditangkap) oleh negeri mereka masing-masing. Demikian catatan Hazim Al-Madani.
Namun harus diingat, kalimat ini bukan dalam rangka menjustifikasi politik najis ala partai politik di Indonesia. Bukan politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia dengan cara mengaduk al-haqq dengan al-bathil, menyamarkan kebenaran atau mengurangi harga kebenaran. Tidak, sekali lagi tidak. Tapi yang dimaksud, politik yang kita baca dari cara Nabi saw mengelola urusan umat baik dalam masalah sosial, dakwah dan jihad di medan tempur. Politik yang bermakna mekanisme baku dalam menegakkan peradaban manusia. Jika kita melalaikan mekanisme baku yang berlaku secara global ini, kita hanya akan berputar tanpa ujung disebabkan kita tak mencontoh Nabi saw dan tidak menapaki sunnatullahnya: hukum alam sebab akibat.
Jihad bisa memakan waktu yang sangat lama, seperti Perang Salib yang berlangsung sekitar 200 tahun. Jihad Afghan saat sukses menaklukkan Uni Sovyet pada tahun 90-an menjadi pelajaran berharga buat kita. Ternyata setelah mujahidin ditolong oleh Allah sehingga mampu mengusir Uni Sovyet, mereka bertengkar sendiri dan Afghan menjadi sangat lemah dan letih dengan perseteruan internal. Alhamdulillah Allah menyelamatkan hasil jihad panjang puluhan tahun itu dengan munculnya Taliban, yang berhasil menyatukan barisan umat Islam Afghan dalam satu shaf, sebelum akhirnya dirusak kembali oleh Amerika dengan jargon “War on Terror”-nya pada tahun 2001.
Maka kita harus mengartikan jihad dengan makna perang (war) bukan pertempuran (battle). Dalam bahasa Arab juga dibedakan. Pertempuran atau battle disebut dengan qital, harb atau ma’rakah. Sedangkan perang digunakan istilah jihad. Itulah mengapa kita tak menemukan istilah dalam Al-Qur’an berupa rangkaian kata qital dengan amwal. Artinya tak ada pertempuran dengan harta. Rangkaian yang ada adalah kata jihad dengan amwal, yang artinya berjihad dengan harta. Terdapat 9 ayat yang berisi rangkaian kata jihad dengan amwal, sementara tak ada satupun ayat dengan rangkaian kata qital dengan amwal.
Ini artinya, jihad bukan semata tempur adu senjata di medan laga, karena jihad bisa dilakukan dengan harta. Kalau sekiranya jihad hanya bermakna tempur, tak ada istilah jihad dengan harta. Jihad adalah perang atau war yang bersifat semesta, meliputi seluruh elemen kehidupan manusia. Meliputi militer, politik dan ekonomi. Maka, pastikan seluruh umat Islam tahu peta kontribusi untuk jihad dalam rangka menegakkan Islam. Jangan sampai ada potensi umat Islam yang tercecer tak terrangkai dalam untaian jejaring kekuatan jihad global dalam rangka memenangkan Islam dan mengubur kesombongan kaum kafir dengan segenap anteknya.
Mujahidin Harus Menyatu dengan Umat
Mujahidin ibarat ikan, umat adalah airnya. Jika mujahidin meninggalkan umat, umatpun akan meninggalkan mujahidin. Keduanya saling membutuhkan secara berimbang. Oleh karenanya, hubungan mujahidin dengan umat mesti harmonis dan sinergis, bukan saling merendahkan bahkan saling melaknat.
Umat Islam butuh bimbingan untuk memahami Islam. Mereka perlu diberi pencerahan tentang bagaimana cara membela dan menegakkan Islam. Kontribusi mereka harus dihargai, bukan diremehkan.
Mujahidin perlu memberitahukan dengan jelas maksud perjuangannya, dengan memberi rasa aman terhadap umat Islam dari dampak yang mungkin timbul dari perjuangan tersebut. Memang dampak buruk duniawi tak bisa dipungkiri akan selalu menyertai dari setiap perjuangan.
Hazim Al-Madani, dalam bukunya hakadza nara al-jihad mengingatkan kita akan pentingnya masalah ini. Untuk sekedar diketahui, Hazim Al-Madani adalah salah seorang tokoh jihad Afghan dan punya kedekatan dengan lingkar dalam Al-Qaeda.
Berikut tulisannya:
“Saat ini, dunia internasional berkoalisi memerangi kita. Jika ada yang tidak ikut dalam koalisi ini, sejatinya bukan karena simpati kepada kita. Tapi lebih disebabkan keinginan untuk memperoleh bagian lebih besar dari ghanimah ini (kita semua adalah ghanimah bagi mereka). Meski realitanya demikian, mereka yang tidak masuk dalam koalisi internasional ini berpotensi untuk dijalin kemitraannya dengan kita. Tapi masalahnya, kita wajib mengutamakan mitra setia yang bersedia berkorban untuk kita, bukan mitra yang suatu saat akan mengkhianati kita. Dan singkat kata, mitra setia itu adalah umat Islam sendiri.
Aku tekankan poin ini dengan adanya bukti sejarah yang menguatkannya. Dengan bukti-bukti ini saya berharap putra-putra umat yang terlibat dalam kancah amal islami yakin bahwa umat mereka berdiri tegak di belakang mereka, membela mereka dan menebus pengorbanan mereka dengan apa saja yang mereka punya, tanpa pernah meninggalkan mereka berjibaku sendirian di medan pertarungan.
Afghanistan pasca hengkangnya Uni Soviet, saat dukungan pemerintah Arab dan Islam berhenti disebabkan intervensi Amerika, tatkala pemerintah-pemerintah itu tak lagi tertarik mendukung mujahidin untuk memetik buah kemenangannya. Siapakah yang mengulurkan bantuan sehingga muncul gerakan Taliban? Apakah pemerintah dan bala tentaranya itu yang membantu ataukah putra-putra umat ini? Bukankah individu-individu umat Islam yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?
Somalia, saat terjadi atraksi jihad menawan melawan koalisi internasional, siapakah yang mengulurkan bantuan kepada mujahidin sehingga tentara Amerika lari tunggang-langgang dari sana? Siapa yang melakukan atraksi jihad itu? Apakah pemerintah Somalia dengan bala tentaranya ataukah putra-putra umat Islam? Bukankah unsur umat Islam yang rela memangkas sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?
Bosnia, saat berkecamuk perang sipil yang mengerikan, siapakah yang mengulurkan bantuan untuk membela umat Islam yang menjadi korban pembantaian? Apakah pemerintah dan pasukannya ataukah umat Islam melalui putra-putra terbaiknya? Siapa yang mengulurkan bantuan ekonomi? Bukankah umat Islam yang dengan suka rela menyisihkan sebagian nafkahnya untuk disumbangkan dengan suka rela?
Chechnya, yang dua kali dihantam gelombang penyerbuan dari tentara Rusia, saat dunia sudah berada dalam genggaman hegemoni Amerika. Siapakah yang mendanai mujahidin dalam membela setiap jengkal tanah Cechnya? Apakah penguasa dan prajuritnya, ataukah umat Islam dengan segenap jiwa, raga dan hartanya?
Palestina, sepanjang untaian nestapa mereka, dan kisah heroik perlawanan Intifadhah. Semua ini menjadi contoh betapa pengorbanan sedang ditunaikan umat dan akan selalu ditunaikan.
Bahkan kita tidak tahu, apakah dukungan materi dari umat Islam itu sampai ke tangan mujahidin Palestina ataukah dirampok oleh para penguasa Arab. Di sini jelas, siapa yang berkorban dan siapa yang justru menghambat.
Yaman, siapa yang meledakkan kapal induk Amerika USS Cole hingga terkoyak. Jelas, bukan tentara Yaman, tapi unsur umat Islam.
Siapa yang menghantam New York dan Washington pada hari Selasa yang penuh berkah pada tahun 2001? Apakah para penguasa dan bala tentaranya, ataukah umat Islam? Mereka mempersembahkan putra-putra terbaiknya dan dengan sukarela membagi nafkahnya untuk jihad dan mujahidin.
Peta pertarungan telah terkunci mapan. Tapi bukan antara Barat dengan Timur, atau antara Utara dengan Selatan. Tapi antara blok kufur dengan blok iman. Ibarat dua sisi timbangan, sebelah diisi kaum kafir dengan segenap antek-antek dan perlengkapannya, dan sisi yang lain diisi mujahidin dan umat Islam dengan segenap dukungan dan perlengkapannya pula.
Jelaslah, umat Islam menempati satu papan pertarungan, sementara yang lain ditempati blok kafir dunia. Fakta ini dipahami dengan baik oleh Barat dan para penguasa dunia. Oleh karenanya, mereka selalu melakukan upaya sistematis untuk memisahkan kita (mujahidin) dengan umat Islam. Allah akan selalu menang, tapi banyak manusia yang tak meyakininya. Sesunggunya sandaran hakiki mujahidin setelah kepada Allah adalah kepada umat Islam yang selalu merindukan tegaknya undang-undang Al-Qur’an dalam kehidupan mereka hingga mereka bertemu Allah. Bukan bersandar kepada para penguasa dan aparat di negeri mayoritas muslim, karena rongga otak dan perut mereka sudah tersumbat oleh obsesi dunia dan politik yang berselera rendah.
Kewajiban mujahidin adalah menjadikan umat Islam dalam barisannya, tak boleh meninggalkan mereka sekejappun karena akan dimanfaatkan para penguasa dan hukum kufur. ” (selesai, kutipan dari Hakadza Nara Al-Jihad).
Semoga kita bisa menghidupkan jihad di Indonesia dan memastikan Islam merdeka di sini. Amin.