Berikut lanjutan analisa yang dimuat di blog ‘elhakimi’ yang merupakan lanjutan tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat dan dapat menghilangkan keraguan ummat akan urgensi jihad, Insya Allah!
Sibuk Menyalahkan Musuh
Ketika umat Islam mendapat serangan dari musuh, masih banyak yang sibuk menyalahkan musuh. Amerika dijadikan sasaran caci maki. Amerika negara jahat, pemerintah SBY arogan dan sebagainya. Ini semua benar, tak ada yang salah dengan ungkapan ini.
Permasalahannya adalah, sikap ini membiasakan kita menutupi kelemahan dan kegagalan kita dengan mengkambing-hitamkan pihak lain. Menyalahkan musuh yang lebih pintar. Padahal kesalahan sejatinya terpulang pada kelemahan umat Islam sendiri.
Sebagai ilustrasi, kesebelasan Indonesia bertanding melawan kesebelasan Brazil. Jika kalah dalam pertandingan, Indonesia tak bisa menyalahkan Brazil. Karena memang satu-satunya tugas pemain Brazil saat bertanding adalah mengalahkan Indonesia, sebagaimana Indonesia obsesi tertingginya juga mengalahkan Brazil. Ketika kalah, setiap kesebelasan pasti sibuk membenahi skuadnya, bukan sibuk menyalahkan kecerdikan musuh atau menyalahkan wasit. Tindakan selalu menyalahkan musuh adalah kebodohan yang akan ditertawakan dunia. Sebuah kecengengan yang kanak-kanak.
Tapi sayang, banyak umat Islam yang selalu sibuk menyalahkan Densus 88, kepolisian dan pemerintah – siapapun presidennya. Para aparat itu digaji untuk membela ideologi Nasionalisme, Demokrasi dan hukum non syariat. Bagaimana mungkin kita berimajinasi bahwa mereka akan memberikan kasih sayang kepada para mujahidin yang ‘digaji’ oleh Allah untuk membela Tauhid, umat Islam dan hukum syariat. Kedua belah pihak memiliki ideologi yang bertolak belakang. Menang atau kalah terpulang sepenuhnya kepada mekanisme pertarungan, tanpa perlu merengek agar musuh melunakkan perlawanan. Kita hanya boleh menyibukkan diri meratapi kelemahan internal, mengevaluasi kesalahan, dan mengoreksi apapun yang keliru.
Mengapa umat Islam dengan mudah dijajah AS? Mengapa mujahidin yang semestinya kuat, bisa digulung dengan gampang oleh densus 88?
Paradigmanya harus dibalik. Bukan menyalahkan Densus 88, pemerintah SBY, Israel atau AS. Tapi menyalahkan diri sendiri; ada kesalahan apa sehingga mujahidin begitu mudah dihabisi? Ada kekeliruan strategi apa sehingga kalah? Ada kemunkaran apa? dan seterusnya.
Adapun menyalahkan Densus 88 sebagai sebuah strategi melemahkan Densus 88 di hadapan umat, ini bisa dibenarkan. Karena dengan melemahkan citra Densus 88 di mata umat Islam, dukungan terhadap Densus akan berkurang. Dengan begitu umat bisa diajak mendukung mujahidin, bukan mendukung densus 88.
Maka, dari sini mestinya umat Islam sibuk mengevaluasi apa yang dilakukan mujahidin Aceh. Disisir satu persatu. Sehingga kelak menjadi sekumpulan pelajaran yang berguna untuk bercermin. Jika ingin melakukan hal yang serupa, apa yang perlu diperbaiki.
Maka berhentilah menyalahkan musuh, tapi salahkan diri sendiri (diri umat Islam yang kita menjadi salah satunya).
Tolok Ukur Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam
Kita sebelum melakukan muhasabah, mesti menyepakati tolok ukur yang akan digunakan. Sebab, kekeliruan memilih tolok ukur, menjadikan kekalahan dipandang sebagai kemenangan.
Misalnya, jika kita menggunakan mati syahid sebagai tolok ukur, maka jihad Aceh 2010 sudah cukup berhasil. Berhasil apa? Mempersembahkan syuhada! Karena faktanya, lumayan banyak yang gugur sebagai syuhada (kama nahsabuhu wala nuzakki ‘alallah ahadan).
Jika tolok ukurnya adalah kemampuan membunuh musuh, jihad Aceh juga bisa dianggap cukup berhasil karena untuk pertama kali bisa membalik fakta: biasanya Densus 88 dan anteknya selalu dalam posisi membunuh, tapi bisa dibuat dalam posisi terbunuh. Dan jumlahnya juga fantastis ! Kompas menyebutnya 5 orang.
Jika tolok ukurnya penangkapan oleh Densus 88, jihad Aceh juga relatif “berhasil”. Karena mempersembahkan kader-kader jihad dalam jumlah yang cukup banyak sebagai penghuni hotel Prodeo. Dan kisah penangkapannya juga relatif mudah.
Jika kemampuan meniru Al-Qaeda dalam style propagandanya, jihad Aceh juga cukup berhasil. Mereka bisa merekam propagandanya dengan latar yang indah; hutan rimba dan bukit-bukit yang lebat. Seruannya juga jelas; mengajak umat Islam untuk bergabung dengan mereka di hutan. Hanya sedikit ada perbedaan dengan Al-Qaeda, mereka melakukannya dengan cara melecehkan kegiatan dakwah dan sosial keumatan yang dilakukan anasir umat sendiri. Mereka menihilkan apapun kecuali jihad. POKOKNYA JIHAD !
Tampaknya Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting. Hal ini tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya “hitam-putih” dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.
Ini semua menurut penulis, bukanlah tolok ukur keberhasilan jihad Aceh. Meski secara umum kita harus mengapresiasi jihad yang mereka proklamasikan. Tak ada do’a kita untuk mereka kecuali semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Dan tak ada pilihan sikap bagi kita kecuali menjadi kader yang suatu saat nanti akan melanjutkan jihad mereka, tentu saja dengan tidak mengulangi “kesalahan” mereka setelah kita evaluasi. Tapi melanjutkan bukan bermakna harus di Aceh atau di wilayah Indonesia yang lain. Melanjutkan yang kami maksud adalah melanjutkan jihadnya, bukan melanjutkan keharusan Acehnya apalagi “kesalahan”nya. Artinya, kita harus menjadi mata rantai dan jejaring jihad umat Islam global, setelah mereka terlebih dahulu memastikan diri sebagai salah satu cincin dari rantai jihad global.
Maka tolok ukur keberhasilan harus kita sepakati sisi keberlangsungan jihadnya, dukungan umat Islam atasnya dan kemampuan melemahkan musuh hingga mengalahkannya. Jika jihad Aceh 2010 hanya dalam hitungan pekan berhasil digulung musuh, maknanya kita harus melakukan evaluasi, ada kesalahan apa. Jika umat Islam tidak mendukung dan terpanggil bergabung dalam kafilah jihad, berarti ada yang perlu kita perbaiki (next time better). Bila jihad Aceh 2010 tidak mampu melemahkan musuh apalagi mengalahkannya, maknanya ada yang perlu disiapkan lebih serius untuk mengalahkannya.
Memang benar, bahwa kita tidak dibebani oleh Allah dengan keharusan mengalahkan musuh, tapi tak bisa dipungkiri bahwa syariat jihad merupakan alat terbaik yang Allah sediakan bagi kita untuk mengalahkan musuh. Bila senjata terbaiknya saja tak mampu kita gunakan, lalu dengan cara apa lagi kita akan bisa mengalahkan musuh?
Teori dasarnya; JIHAD PASTI MENGHASILKAN KEMENANGAN jika DILAKUKAN DENGAN BENAR. Bila hasilnya kekalahan, maknanya kita harus dengan dada lapang berani mengevaluasinya. Bisa jadi eksperimen ini akan terjadi berulang, dan terus dilakukan evaluasi, untuk mencapai tujuan terbesar: menghasilkan kemenangan. Abu Mus’ab As-Sury mencontohkan, dengan menulis refleksi jihad Syria, lalu refleksi yang lebih luas dalam bukunya dakwah muqawamah. (Diterbitkan sebagian serinya oleh penerbit Jazera Solo dengan judul: Perjalanan Gerakan Jihad). Buku ini berisi refleksi jihad global, evaluasi kekurangan-kekurangannya dan bagaimana strategi ke depannya demi memastikan jihad menghasilkan kemenangan.
Jihad; tujuan atau sarana
Salah satu perdebatan sengit yang berkembang di tengah aktifis jihad, apakah jihad dipandang sebagai sarana untuk mencapai kemenangan ataukah tujuan dan terminal akhir dari serangkaian penghambaan kepada Allah? Meski perdebatan ini tak mencuat ke permukaan dalam bentuk silat lidah, tapi terrefleksikan dalam pilihan tindakan.
Mazhab sarana akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad.
Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.
Para penganut mazhab sarana akan cenderung mempersiapkan jihad dengan melakukan dakwah, pembinaan keumatan, layanan sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka tak menihilkan peran dakwah sebagai alat lain dalam menegakkan Islam. Posisinya sejajar, karena hajat umat kepada dakwah tidak kalah besar dibanding hajat umat terhadap jihad. Keduanya dilakukan secara simultan, tidak ada yang dianak-tirikan. Paradigma ini yang semestinya digunakan dalam melihat ibadah bernama jihad.
Sementara penganut mazhab tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu ‘ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya, pergi ke hutan dan gunung-gunung di Aceh dan bergabung dengan mereka. Mereka meninggalkan dakwahnya, pesantrennya, lembaga sosialnya, dan segala hal yang tidak ada potret “memegang senjata”nya.
Padahal jihad membutuhkan dukungan dakwah, dana, jurnalistik, pakar komunikasi, pakar teknologi, dan kepakaran lain. Memerlukan kesinambungan SDM yang akan memikul beban jihad ini. Bagaimana mungkin jihad akan berlanjut, jika mesin penyuplai mujahid harus ditinggalkan, seperti pesantren, madrasah, majlis taklim dan sejenisnya?
Kesan kuat yang muncul dari jihad Aceh adalah menjadikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana untuk memperoleh kemenangan Islam. Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.
Titik perhatiannya hanya bagaimana berjihad dan mengajak umat Islam untuk berjihad, meski ajakan itu menjadi sangat absurd (kabur) di mata umat Islam yang tidak mengerti apa-apa tentang wacana jihad. Mereka mendengar ajakan itu seperti angin lalu, karena tidak mengerti maksud ajakan itu.
Misalnya, jika ada yang menyambut seruan ini, mereka masih akan kesulitan menemui panitianya. Mereka bingung alamat sekretariatnya. Mereka belum tahu, apakah untuk gabung masih diperkukan adanya ujian masuk atau tidak? Mereka tidak tahu lokasi bukitnya. Mereka juga tak tahu, musuhnya siapa. Ini yang kami maksud absurd.
Jihad melawan Densus 88 di mata umat Islam merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Mereka akan bilang, Islam lawan Islam. Wajar, karena mayoritas anggota Densus 88 pastilah beragama Islam, mengikut jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Problem ini membutuhkan dakwah. Lalu bagaimana jihad akan mendapat dukungan luas, jika dakwah dinihilkan? Dakwah dilecehkan sedemikian rupa dalam rilis mujahidin Aceh. Seolah mereka hidup di planet lain, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam kedokteran, ini disebut penyakit autisme.
Bersambung…