(Arrahmah.com) – Remaja, telah digadang gadang banyak pihak sebagai generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet kebangkitan umat. Namun, potret buram kehidupan remaja saat ini membuat kita perlu menelaah kembali, apa yang salah dengan remaja kita? Tawuran antarpelajar, seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, perkosaan, pelecehan seksual dan peredaran VCD porno, narkoba dan HIV/AIDS menjadi perkara yang lumrah di kalangan remaja saat ini. Masih segar dalam ingatan, kasus Yuyun Bengkulu yang begitu menguras emosi, semua pelakunya masih berusia remaja.
Di dunia pendidikan sekalipun, tidak sedikit kisah tragis yang mencabik-cabik hati pecinta peradaban. Kasus kekerasan yang dilakukan beberapa oknum guru terhadap muridnya, masih menyisakan sederet pertanyaan tentang siapa panutan remaja? Tak kalah beringasnya, murid pun sudah berani memukul guru yang telah mengingatkan akan kesalahannya. Masih segar diingatan, kasus agus, gunu honorer sebuah SMA swasta di Sukabumi pada September tahun lalu, harus mengalami luka parah di mata. Juga kasus seluruh guru SMA Negeri 1 Belo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Kamis, 22 Oktober 2015, melakukan aksi mogok sebagai solidaritas terhadap rekan seprofesi, Muhamad, yang menjadi korban pemukulan oleh seorang siswa, Abdulah.
Sebenarnya Pemerintah telah menetapkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal. Tentu, ini adalah sebuah tujuan yang sangat ideal, dan memang itulah yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan.
Hanya saja, apabila kita menengok realita kehidupan para pelajar saat ini, tujuan ini terasa sangat klise. Kalangan remaja sebagai output pendidikan saat ini jauh dari sosok manusia muttaqin dalam makna hakikinya. Kini, alih-alih ada rasa bangga bila bertemu dengan gerombolan remaja berseragam sekolah, yang ada adalah rasa was-was, khawatir menjadi korban tingkah polahnya yang buruk, bak preman jalanan.
Dalam kurikulum sekular kapitalistik, para pelajar kian terbentuk menjadi pribadi yang kering jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari mencari solusi berbagai persoalan yang menimpanya. Kata iman dan takwa tidak lebih dari lips service. Padahal sejatinya, apabila strategi pendidikan seiring dengan tujuannya, maka akan dihasilkan target optimal, yaitu terbentuknya sosok generasi ideal. Namun, fakta menunjukkan bahwa ada perbedaan antara konsep dan metode pelaksanaannya.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, nilai-nilai demokrasi dan HAM menjadi acuan dalam proses pendidikan sehingga proses pembelajaran mengacu pada target tercapainya nilai-nilai tersebut. Inilah fakta yang menunjukkan ada ketidaksesuaian antara visi dan misi pendidikan. Visinya menjadi insan mu’min dan muttaqin yang hasilnya adalah manusia yang taat kan aturan pencipta, namun misinya melalui penanaman nilai HAM dan demokratisasi, yang hasilnya adalah manusia serba bebas. Akankah misi ini dapat mewujudkan visi pendidikan? Ataukah memang visi pendidikan nasional sudah mengalami disorientasi?
Belum lagi berbicara tentang kualitas guru. Sistem Kapitalisme, selain membebani guru dengan setumpuk bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa, mereka juga dipusingkan dengan beban hidup yang kian menghimpit, seiring dengan penghargaan Pemerintah yang jauh dari nilai layak bagi insan pendidik ini. Walhasil, proses belajar mengajar hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban saja, tidak lebih dari itu.
Kehidupan kapitalistik yang berlaku saat ini tidak hanya menjadi pangkal persoalan pendidikan di sekolah. Keluarga pun terkena imbasnya. Keluarga adalah basis pendidikan yang utama bagi setiap insan. Namun, sistem Kapitalisme telah memaksa para orangtua abai dalam proses pendidikan anak-anaknya. Kapitalisme telah menyebabkan beban hidup setiap keluarga terus mencekik. Keluarga pun harus memutar otak mencari penghidupan. Dengan dalih mencapai penghidupan yang layak inilah, ayah dan ibu sibuk bekerja siang dan malam. Akibatnya, anak pun terabaikan.
Potret buram remaja sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku remaja. Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai unsur: sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung jawab dalam membentuk kepribadian yang baik pada remaja, kepribadian yang dibangun di atas iman dan takwa. Semuanya harus bersinergis untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja.
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Orangtua wajib mendidik anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
Masyarakat – yang menjadi lingkungan remaja menjalani aktivitas sosialnya – mempunyai peran yang besar juga dalam mempengaruhi baik-buruknya proses pendidikan, karena remaja merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja. Di sinilah peran penting masyarakat sebagai kontrol sosial.
Peran paling penting dan strategis dalam membentuk kepribadian remaja ada pada negara melalui pemberlakuan sistem pendidikan. Negara sebagai penyelenggara pendidikan yang utama haruslah menerapkan kurikulum yang menjamin tercapainya generasi berkualitas. Bukan hanya generasi yang mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga membentuk kepribadian Islamnya. Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka ini haruslah yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara-cara yang harus dilakukan.
Peran negara yang seperti ini tentu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang kapitalis. Karena itu, sudah saatnya mencetak potret cemerlang remaja dan generasi ini dengan tatanan terbaik dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT dalam bingkai negara.
Ririn Umi Hanif, Pemerhati Ibu dan Anak
(*/arrahmah.com)