Oleh : Abu Ummah Al Makassar i
Pemerhati Sosial Politik
(Arrahmah.com) – Di penghujung akhir tahun ini seperti tidak pernah berkesudahan persoalan demi persoalan silih berganti. Beberapa hari ini Polri disibukkan dengan pengamanan demonstratif hari Natal dan penangkapan beberapa terduga teroris. Mengiringi evakuasi tenggelamnya KM Marina di Wajo, Sulawesi Selatan, sengketa beberapa rekapitulasi suara Pilkada Serentak di beberapa daerah dan pengunduran diri Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito karena tidak bisa memenuhi target. Moment pengunduran diri yang disertai dengan pernyataan “Pengkhianatan itu secara sadar dilakukan oleh penguasa, para wakil rakyat, dan politisi”, tandasnya di tengah banyak elit yang memburu jabatan sebagai anggota Wantimpres, Dirjen, Pimpinan KPK, anggota DPR, Direktur Jamsostek, Bupati/Walikota, Kepala Bea Cukai, atau sekedar Ketua Umum Partai/Perhimpunan bergengsi. Lengkap sudah beragam persoalan mendera negeri yang terkenal sebagai Zamrud Khatulistiwa ini. Mulai dari persoalan sosial, budaya, kerukunan beragama, politik, ekonomi semuanya menggambarkan begitu sistemiknya yang dihadapi. Seolah menyempurnakan akhir tahun yang dipenuhi dengan perayaan gegap gempita mirip dengan perilaku Nasrani dengan lonceng gerejanya, Yahudi dengan terompetnya dan Majusi dengan api yang diwujudkan dalam bentuk kembang apinya.
Bidang ekonomi
Masih segar juga dalam ingatan meski ditelan oleh beragam opini penangkapan terduga teroris dan pengawalan ketat Natal & tahun baru, Freeport nampaknya masih diberikan lampu hijau perpanjangan kontrak meski telah melakukan berbagai pelanggaran. Mulai dari tidak membayar deviden, belum membangun smelter, dan upaya mendikte keputusan politik melalui orang-orang yang mau dibayar dengan saham dari kelompok Papa Minta Saham. Hingga melupakan esensi kisruh di balik sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) digambarkan oleh Rizal Ramli sebagai perang antar geng yang esensinya adalah kuatnya political will penguasa untuk tetap melanggengkan perpanjangan kontrak penambangan Grasberg Papua. Karena salah satunya terikat dengan prinsip internasional G to B “Pacta Sunt Servanda” sebagai legitimasi atas ancaman arbitrase internasional.
Sebuah ironi di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari pajak rakyatnya, pencabutan subsidi termasuk listrik dan pupuk, dan hutang luar negeri yang semakin membumbung tinggi mencapai angka Rp 3.074 trilliun,-. Sejalan dengan keterangan JK sebagai wapres yang merespons tidak tercapainya target pajak demi menyelamatkan klaim APBN yang terancam dengan mengeluarkan 2 strategi. Pertama, mengurangi pengeluaran. Kedua, menambah jumlah hutang untuk menutupi defisit. Hal yang sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa potensi pendapatan dari pengelolaan SDA yang melimpah. Dimana hampir 90 persen di antaranya dikelola dan dikuasai oleh Asing. Diikuti kemudian juga oleh Aseng. Sebagai contoh ilustrasi misalnya diketahui bahwa Grasberg Papua memiliki potensi pendapatan sejumlah Rp 2 trilliun. Dari sisa cadangan sejumlah 17 Juta kg emas jika kontrak karya diserahkan kembali ke Indonesia. Itu baru potensi dari cadangan tambang emas belum lagi jenis tambang yang lain. Dan ini baru Grasberg Papua oleh Freeport saja belum SDA yang lain di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa hal tersebut sebagian kecil dari sekian kebijakan politik ekonomi Indonesia yang menggambarkan begitu liberal dan mencengkeramnya penjajahan yang berlangsung. Hingga menciptakan sebuah ketergantungan ekonomi dan politik yang sangat tinggi.
Senada dengan yang disampaikan oleh Ichsanodin Norsy dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Universitas NU Surabaya (Unusa), Selasa (22/11/2015) di Surabaya dengan tema “Change Your Mind, Change Your Country” yang memprediksikan “bahwa ekonomi Indonesia 2016 masih sangat bergantung dengan kondisi ekonomi internasional”. Maknanya lanjut Ichsan “jika ekonomi internasional membaik, maka Indonesia akan ikut terseret membaik pula. Paket-paket kebijakan yang diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, jika tidak dikawal dengan baik maka tidak akan berdampak apa-apa”. Begitu tidak berdaulatnya ekonomi negara ini hingga sangat bergantung pada perekonomian internasional tidak bisa dipisahkan dengan profil regulasi ekonomi yang dilahirkan. Di bidang pertambangan misalnya pasca kegagalan nasionalisasi pertambangan pada tahun 60 an karena mismanagement dan korupsi besar-besaran. Maka bangsa ini seolah-olah sudah kehilangan kepercayaan diri mampu mengelola seluruh SDA secara mandiri. Di tambah lagi dengan perubahan UU Pertambangan yang semakin membuka pintu lebar-lebar masuknya investor asing.
Sementara rakyat semakin sengsara dijerat oleh beban pajak dan tekanan ekonomi diantaranya akibat subsidi dicabut. Termasuk subsidi sosial dengan alasan dialihkan ke subsidi infrastruktur. Jaminan sosial dan jaminan kerja tidak lagi dinikmati sebagai bentuk kewajiban konstitusional penguasa. Malah sebaliknya jaminan sosial dan jaminan kerja digunakan sebagai alat komersial dan mendzalimi rakyat. Lahirnya UU BPJS dan SJSN selain mengingkari komitmen UU SKN dan JKN sendiri juga sebagai legitimasi lebih membuat rakyat semakin terjerat dengan berbagai tekanan kondisi ekonomi. Perkembangan ekonomi yang secara fisik nampak tidak menunjukkan kemajuan ekonomi riil karena hal itu hanya dibangun di atas beban rakyat dan hutang.
Bidang sosial keagamaan
Fenomena pengosongan dalam kolom agama di KTP, maraknya beberapa aliran kepercayaan yang diperjuangkan oleh beberapa kelompok sebagai agama sah yang diakui, getolnya kajian-kajian keislaman tentang fiqih gender di berbagai LSM, Ormas Islam dan pusat studi gender di beberapa perguruan tinggi, masuknya kurikulum sex education ke dalam sistem pendidikan dasar dan menengah, proteksi terhadap ajaran-ajaran Islam yang diklaim sebagai biang radikalisme terorisme, realitas separatisme yang berpotensi disintegrasi diperlakukan berbeda dengan fakta terduga terorisme, adalah secuil contoh dari realitas kehidupan sosial keagamaan yang semakin liberal. Belum diundang-undangkannya Keadilan dan Kesetaraan Gender (dalam bentuk RUU KKG) tidak menutup jalan perjuangan kelompok liberal dalam mensekulerisasikan kehidupan sosial keagamaan. Karena, telah dikeluarkannya Inpres tentang Pengarustamaan Gender sebagai acuan membuat rumusan aturan tekhnis untuk mengimplementasikan nilai-nilai kesetaraan gender dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam kehidupan politik praktis yang memberikan ruang partisipasi politik yang sama bagi kaum hawa. Di tengah fenomena meningkatnya kenakalan remaja, kekerasan/pelecehan seksual, trend maraknya narkoba di kalangan artis dan profesional, prostitusi artis, dan realitas sosial memprihatinkan yang lain. Seperti halnya RUU KKG maka RUU KUB (Kerukunan Umat Beragama) nampaknya juga dikawal sebagai legitimasi perjuangan berbagai kepercayaan masyarakat agar diakui sebagai agama sah baru di Indonesia. Dengan membuat kriteria yang memudahkan seperti sepanjang ada nabinya, kitabnya, sejumlah para pengikutnya dan lain-lain.
Bidang politik dan media
Masih kentalnya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha bahkan sudah mewujud satu menjadi penguasa yang pengusaha atau pengusaha yang penguasa sangat mewarnai panggung politik di Indonesia. Tingginya biaya penyelenggaraan Pilkada Serentak tidak seperti yang direncanakan semula, praktik money politic, kampanye hitam, penggelembungan suara pada proses penetapan DPT maupun pada rekapitulasi suara akhir, mahar politik parpol, biaya kampanye paslon, biaya riset elektabilitas paslon, adalah beberapa indikator dari praktek politik demokrasi. Maka wajar jika semua biaya politik yang dikeluarkan tidak murah tersebut harus dibecking oleh para kapitalis. Kompensasinya apalagi kalau bukan proyek anggaran pendapatan belanja. Tidak menjadi penting jika legitimasi suara yang dihasilkan tidak sepenuhnya suara mayoritas. Dimana golput pada setiap event pemilihan yang dilaksanakan mengalami kecenderuangan tinggi dan selalu menjadi pemenang. Namun yang penting adalah pertemuan kepentingan penguasa dan pengusaha sudah merealisasikan keuntungan untuk melunasi investasi politik yang telah dikeluarkan. Bahkan lebih dari itu demi kepentingan sesaat, pragmatism, sektoral, komunitas, kelompok atas nama kepentingan rakyat. Berapa banyak kepala daerah yang terjerat hukum, berapa banyak pejabat negara tersangkut kasus korupsi, berapa banyak anggota dewan yang terhormat masuk bui. Fakta-fakta itu sudah cukup untuk menjelaskan bahwa sistem pemilihan baik legislatif maupun eksekutif yang merupakan amanah dari Undang-Undang yang mengaturnya telah mencetak para penguasa dan elit yang korup dan berpotensi bermasalah hukum.
Di sisi lain rakyat sudah muak melihat permainan politik para elit yang tidak ada ujungnya hingga jauh dari tujuan merealisasikan kesejahteraan, keadilan dan kedamaian. Rakyat pemilih hanya digunakan sebagai komoditi politik yang diperlukan sesaat untuk memuluskan jalan kekuasaan waktu kampanye. Setelah itu ditinggalkan dan ditelantarkan. Karena kita telah menganut konsep kontestasi politik yang artinya panggung politik praktis tidak bedanya dengan dunia entertainment yang penuh dengan peran, adegan dan aktor. Sebagian besar kontestasi tersebut dilakukan menggunakan fasilitasi berbagai media. Tidak dipungkiri maka media yang dimiliki oleh para elit politik akhirnya dimainkan juga untuk kepentingan politik praktis para ownernya. Sekalipun dibantah bahwa dalam kerangka independensi pemberitaan, owner tidak boleh mengintervensi keputusan program siaran media. Tetapi hal itu sangat jarang terjadi. Pada faktanya program siaran media digerakkan sesuai dengan arah opini yang dikehendaki berbasiskan kepentingan politik tertentu.
Selain bidang-bidang tersebut di atas secara khusus tidak bisa ditutupi bahwa ada berbagai kejanggalan seputar persoalan penanggulangan terorisme di negeri ini. Sebagaimana yang terjadi di beberapa tempat baru-baru ini. Baik di Cilacap, Sukoharjo, Bekasi, Mojokerto maupun di Gresik. Beberapa kejanggalan tersebut antara lain sebagai berikut :
Pertama, terkesan berlebihan terutama terkait dengan perayaan Natal dan akhir tahun baru. Seolah seperti program menghabiskan anggaran akhir tahun. Walaupun tidak dipungkiri bahwa Polri memiliki mekanisme khusus untuk mendeteksi gerak-gerik terduga teroris yang diklaim memiliki sindikasi dengan ISIS.
Kedua, keberadaan WNA (diduga kewarganegaraan Australia) yang bukan terduga teroris masuk ke dalam jajaran aparat Polri. Sekalipun dibantah oleh Kadiv Humas Mabes Polri kalau iya apa salahnya. Dan belakangan diketahui memang ada kerjasama intelijen antara RI dengan Australia.
Ketiga, prosedur penanganannya apakah sudah sesuai dengan Criminal Justice System yang mengedepankan praduga tak bersalah ? Meski menurut Kadiv Humas Mabes Polri sudah ada bukti awal yang cukup.
Keempat, pengamanan Natal yang berlebihan memberi kesan seperti ada ancaman serangan masif ke berbagai rumah ibadah Kristiani pada moment Natal. Dan dibenarkan dengan adanya beberapa penangkapan di beberapa tempat atas terduga teroris. Sehingga kesan bahwa memang ada ancaman memperoleh pembenarannya.
Kelima, kalaupun memang terbukti tersindikasi atau terafiliasi secara pemikiran dengan ISIS atau kelompok mujahidin yang lainnya namun jika mereka tidak melakukan aksi teror apa salahnya. Seperti halnya simpati terhadap pasukan HAMAS yang berjuang mengusir Israel penjajah tanah airnya. Apakah harus selalu loyal dengan penjajah sebenarnya Amerika Serikat yang telah menumpahkan darah kaum Muslimin di berbagai negara ?
Alhasil semua kondisi yang terjadi sesungguhnya mengungkap kebenaran bahwa telah terjadi persoalan sistemik semua sektor atau bidang di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Persoalan sistemik akibat penjajahan dan liberalisasi yang semakin mencengkeram. Liberalisasi semua sektor atau bidang sebagai bentuk penjajahan melalui pintu liberalisasi perundang-undangan oleh para penjajah berikut antek-anteknya. Mulai dari UUD dengan amandemen hingga peraturan-peraturan di level kota atau kabupaten. Wallahu A’lam Bis Showab.
(*/arrahmah.com)