JAKARTA (Arrahmah.com) –Paradigma operasi pembajakan software hanya akan menguntungkan negara maju tidak benar. Bahkan pembajakan peranti lunak (software) bisa menjadi ancaman serius industri kreatif RI.
“Produk ilegal seperti software bajakan inilah yang menjadi ancaman serius bagi bisnis industri kreatif untuk berkembang,” kata Commercial Counselor dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Joe Kaesshaefer di Jakarta, Kamis (28/5), dalam acara seminar bertajuk “The Importance of Strict Corporate IT Policy as Defense Agains Legal Claims of Software Piracy”.
Pelaku industri kreatif, khususnya di Indonesia masih saja “dihantui” praktek pembajakan meskipun pemerintah telah secara resmi mendeklarasikan tahun ini sebagai Tahun Industri Kreatif.
Kaesshaefer menambahkan, pembajakan dapat terjadi pada banyak hal termasuk industri seni dan musik. “Coba lihat penyanyi Indonesia yang tampil di televisi, berapa lama mereka akan terus berkarya? Pastinya tidak akan selamanya. Nah, jika produk mereka baru keluar saja sudah dibajak, bagaimana mereka mendapat pemasukan nantinya,” katanya.
Menurut dia, kreativitas akan mati jika tak ada reward bagi penciptanya. Secara khusus ia juga menyayangkan terjerembabnya kembali Indonesia ke dalam Priority Watch List USTR.
Ia mengatakan, status tersebut seakan menjadi sebuah tanda bagi pemerintah Indonesia untuk lebih awas lagi dalam penanganan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Kaesshaefer tanpa bermaksud menyalahkan kebijakan pemerintah dalam menangani penindakan pelanggaran HaKI, berpendapat kemungkinan besar kebijakan yang dibuat masih belum menemui hasil. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk mengoptimalisasi pengawasan penerapan HaKI.
“Sepuluh tahun yang lalu mungkin ada yang berpendapat penegakkan HaKI hanya akan menguntungkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Tapi sekarang ini paradigma itu sudah berubah dan mereka percaya bahwa perlindungan HaKI juga dapat menumbuhkan perekonomian negara,” katanya
Pada kesempatan yang sama Kepala Perwakilan Business Software Alliance di Indonesia, Donny Sheyoputra mengatakan, banyak faktor sebenarnya yang menjadi alasan produk bajakan seperti piranti lunak masih saja berkembang di Indonesia.
Menurut dia, salah satu yang paling penting adalah soal kesadaran dari para pengguna. Khusus untuk yang satu ini, BSA telah menggandeng berbagai pihak untuk terus menggencarkan sosialisasi menumbuhkan kesadaran pengunaan software legal tersebut.
“Memang namanya masih sosialisasi, tapi kita buat bentuknya berbeda-beda. Seperti mendatangi perusahaan-perusahaan secara langsung untuk sosialisasi,” katanya.
Selain itu, kemudahan untuk mendapatkan software bajakan juga turut menjadi andil dalam peningkatan penggunaan software bajakan di Indonesia. “Negara lain memang gampang untuk mendapatkannya, tapi di Indonesia barang bajakan itu secara terang-terangan dijualnya,” katanya.
Ia mencontohkan, di beberapa pusat pertokoan ternama di ibukota banyak eksekutif muda yang bergaya parlente secara terang-terangan membeli barang bajakan, berupa software, film, atau musik. “Jadi bukan hanya masalah daya beli,” kata Donny. (Althaf/inlh/arrahmah.com)