KUPANG (Arrahmah.com) – Ironis memang, kelaparan dan rawan pangan terjadi di negeri yang memiliki julukan Jamrud Khatulistiwa. Namun itulah kenyataannya, rawan pangan akibat kekeringan tidak hanya menimbulkan masalah gizi buruk pada anak-anak di bawah usia 5 tahun di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, tetapi juga mengancam kelancaran pendidikan. Ratusan anak usia sekolah di daerah itu terancam putus sekolah karena ketiadaan biaya.
Gagal panen tahun ini membuat orangtua tidak punya pilihan lain selain memberhentikan anak-anak mereka dari pendidikan tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Sejumlah orangtua juga memilih mengistirahatkan anak mereka di rumah sambil membantu mereka karena sekolah jauh dari permukiman dan mereka tak memiliki biaya transportasi.
Kepala Dusun Kamaru, Desa Tanamana, Kecamatan Pahunga Lodu, Hamana Remang, Senin (19/4), mengatakan, sebelum kasus ancaman rawan pangan di desa itu, kasus putus sekolah di daerah itu sudah cukup tinggi. Saat ini, anak-anak SD di Dusun Kamaru mulai kendur semangat belajarnya karena banyak yang pergi ke sekolah berjalan kaki berkilometer jauhnya, tanpa diberi makan dari rumah.
Tiga siswa kelas II SLTA yang sekolah di Waingapu pun dalam satu bulan ini berada di dusun dengan alasan tak ada biaya makan, minum, dan kebutuhan lain. Saat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono berkunjung ke Desa Hambapraing, Kecamatan Kanatang, Sumba Timur, Sabtu pekan lalu, Yustina Kongawardan (15) menceritakan kegalauannya karena tak bisa melanjutkan sekolah.
Menanggapi fenomena ini, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga NTT Tobias Uly, Rabu (21/4), mengatakan, seharusnya tak perlu ada anak SD atau SLTP yang putus sekolah. Dana bantuan operasional sekolah telah dialokasikan ke setiap sekolah di semua kabupaten di NTT. (Kompas/arrahmah.com)