SWEIDA (Arrahmah.id) – Ratusan orang turun ke jalan-jalan di kota Suriah selatan pada Jumat (11/2/2022) untuk menuntut kondisi kehidupan yang lebih baik dan demokrasi, dalam protes yang jarang terjadi di dalam wilayah yang dikuasai rezim, ujar laporan kelompok pemantau perang.
Lebih dari 300 pengunjuk rasa, berkumpul untuk hari kelima berturut-turut di Sweida setelah pihak berwenang memutus 600.000 keluarga dari program subsidinya, menggelar unjuk rasa terbesar mereka, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) yang berbasis di Inggris.
“Kami menginginkan negara sipil, adil, demokratis,” kata seorang pemuda kepada kerumunan demonstran yang bersorak-sorai dalam rekaman video yang disiarkan oleh jaringan media lokal Suwayda24.
Rekaman itu menunjukkan pengunjuk rasa mengibarkan bendera Druze, minoritas agama yang jantungnya adalah Sweida.
Dalam satu video, seorang pria tua dengan kostum tradisional Druze menyesali kenaikan harga.
“Kami tidak bisa hidup atau mendapatkan hak kami, kami tidak punya gas atau solar,” katanya kepada orang banyak. “Kami ingin hidup di tanah air yang menjamin martabat dan hak kami.”
Unjuk rasa tetap berjalan meskipun ada pengerahan besar-besaran pasukan keamanan, yang menutup jalan-jalan utama.
Awal bulan ini, pemerintah mengeluarkan sejumlah besar orang dari program subsidi, di negara di mana 90 persen penduduknya miskin.
Mereka yang terputus kehilangan akses ke makanan dan minyak dengan harga lebih rendah, sebuah langkah yang memicu protes dan kritik yang jarang terjadi dari dalam wilayah yang dikuasai rezim di Suriah.
Sebagian besar pengunjuk rasa turun ke jalan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka untuk menuntut kondisi kehidupan yang lebih baik, sementara yang lain menuntut demokrasi, Nour Radwan dari Suwayda24 mengatakan kepada AFP.
Protes yang lebih kecil atas masalah serupa diadakan di Sweida pada tahun 2020.
Tetapi Druze, yang merupakan kurang dari tiga persen dari populasi pra-perang Suriah, sebagian besar jauh dari konflik negara itu.
Sweida sebagian besar terhindar dari pertempuran dalam perang yang telah berlangsung selama satu dekade, dan hanya menghadapi serangan sporadis yang berhasil dihalau.
Suriah telah bergulat dengan krisis ekonomi yang diperparah oleh sanksi Barat, pandemi Covid-19, dan devaluasi mata uang lokal yang cepat. (haninmazaya/arrahmah.id)