Oleh Umar Syarifudin
Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri
(Arrahmah.com) – Charlie Hebdo seolah kian membuka mata khalayak. Tak terkecuali dunia barat maupun timur. Semua kini tahu bahwa kebebasan berpendapat yang difahami berlepas dari nilai spiritual yang suci. Siapapun diri yang menjadi pengikut dan pemuja kebebasan, bersiaplah untuk menghadapi akibatnya. Tak jarang kebebasan justru membelenggu dan menimbulkan pertikaian.
Tampaknya pers yang memegang aturan jurnalisme murni tidaklah pernah terwujud di dunia ini. Mengingat pers didirikan untuk menyuarakan ideologi tertentu. Hal yang menimpa Charli Hebdo merupakan konsekuensi logis dari kebebasan menyebarkan kebencian. Siapa pun menanam kejelekan akan berbuah kejelekan. Bahkan pemuatan kembali kartun nabi Muhammad dengan jumlah eksemplar jutaan dan diterjemahkan ke dalam enam bahasa merupakan bukti perang. Perang yang ditujukan untuk vis a vis tidak hanya pada umat Islam tapi dunia.
Dibalik hipokrit kebebasan
Dalam era kebobrokan peradaban kapitalisme, garis kekeliruan jurnalisme mainstream adalah nyata: kepatuhan pada bisnis yang menutup mata pada problem-problem korporasi dan kapitalisme, disamping sensivitas yang lebih besar pada kaum kapitalis dan yang mempunyai hak-hak istimewa. dari waktu ke waktu, media-media liberal terus berupaya menghancurkan umat dan merusak bangsa ini dari segala lini, mulai dari aspek agama, budaya, politik, hingga ekonomi. Kerusakan demi kerusakan ditimbulkan atas nama demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat, atas nama cinta, toleransi, dan HAM.
Sejumput liputan bagus yang memang ada itu, tenggelam dalam arus besar berita-berita pro kapitalis. Di samping mengandalkan sumber-sumber pro-bisnis, patut diduga bahwa perusahaan-perusahaan media juga termasuk mendapat manfaat dari transaksi politik dan perdagangan kapitalis global. Inilah kenyataan yang menyedihkan: semakin dekat sebuah berita menyentuh kekuatan korporat dan dominasi korporat di negeri kita, semakin berkuranglah kredibilitas media berita korporat.
Meningkatnya fokus media berita komersial pada bagian masyarakat yang lebih berpengaruh telah memperkuat dan memperjelas bias kelas dalam pemilihan dan arah pemberitaan. Berita-berita yang sangat penting bagi puluhan juta rakyat Indonesia akan jatuh menjadi kerak karena dipaksa mengikuti standar media berita korporat.
Para jurnalis sebetulnya memiliki hak untuk curiga terhadap alasan rejim menaikkan harga BBM, Mafia Migas, Mafia anggaran, mafia hukum, kejahatan CIA di Indonesia, proyek bisnis terorisme, rencana-rencana jahat politisi liberalis, keterlibatan aparat penegak hukum dalam kartel narkoba, dan bencana penerapan konsep theo-demokrasi yang diterapkan di negeri ini, dan lain sebagainya. Alur peliputan berita tentu bisa sangat terdistorsi karena faktor ideologi dan sikap.
Contoh hal yang lucu, dalam kasus bisnis terorisme yang sangat menyudutkan Islam dan kaum muslim di negeri ini, media-media mainstream latah dan heboh, sudut pandang terhadap berita tidak berubah, selain menjadi lebih buruk. Menjadi ajang pesta pendiskreditan bagi media-media korporat. Nalar kritis mereka tiarap. Mengapa media yang ‘harusnya’ berpihak pada kebenaran turut berpartisipasi dalam kampanye disinformasi oleh rejim? Tentu media punya ‘alasan’ sebanyak rejim ketika kebijakannya dikritik. Benar, beberapa problem jurnalisme di negeri ini, sebagaimana di negeri-negeri kapitalis lainnya karena keburuan sistem politik, sistem pers, orang-orang yang menjalankan ruang-ruang berita dan korporasi media yang memiliki pandangan kapitalistik.
Apakah media-media kapitalis liberal memiliki potensi? Pasti punya, yakni bebas ‘melaporkan’ semua kehebohan dan skandal artis yang mereka inginkan, semua berita-berita kriminal di kalangan akar rumput, peristiwa-peristiwa yang ‘aman’ untuk diliput, setiap sinetron dan film barat yang box office. Tetapi ketika menyangkut ‘berita-berita kotor’ yang beresiko pada ‘keselamatan politik dan ekonomi’ pemiliknya, disanalah kita melihat ambiguitas mereka.
Nah, itulah penyakit media-media kapitalis liberal, demi mencari keuntungan lebih besar melalui khalayak yang lebih luas, mereka menjejali publik dengan berita-berita kuliner, gosip selebritas dan fitur-fitur rendahan, memilih menghindari topik-topik serius yag mencerahkan, yang ditakutkan oleh para korporat tidak akan menstimulasi perhatian publik.
Iklan-iklan akan sering menahan Anda ketika menyimak setiap acara. Kenikmatan tarif jasa pasang Iklan tersebut sangat ‘berjasa’ atas kesejahteraan dan kehidupan perusahaan-perusahaan media. Sehingga setiap konten berita harus sekelas ‘pasar’ agar memikat ‘para pedagang’ untuk berbondong-bondong ‘belanja iklan’. Konsep “uang lebih penting dari masyarakat” menjadi konsep berbahaya. Anda memahami Indonesia sakit, maka pahami juga media-media korporat juga turut menyakiti negeri ini dengan sikap liberalis dan pragmatisnya. Apapun yang dapan merangsang penjualan dapat muncul dalam siaran atau dimuat di koran. Para manajer stasiun televisi dan para direktur berita secara rutin mengukur keberhasilan atau kegagalan berdasarkan rating, demografi dan bagian yang bombastis marketable, tanpa melihat efek buruknya.
Wajar, dan sangat wajar berita-berita para jurnalis yang dimuat dalam koran-koran dan stasiun-stasiun televisi akan ‘disensor dan ditolak’ jika tidak mendukung kepentingan finansial perusahaan media atau pengiklan mereka. Media cetak maupun siaran dihegemoni kehadiran konglomerat-konglomerat korporat dengan pejabat-pejabat finansial yang berpihak pada konten yang memiliki nilai jual mendominasi judul-judul berita dan menyeret semua siaran televisi, tidak ada ruang untuk berita-berita yang membongkar fakta penindasan Barat terhadap umat Islam.
Dalam memproduksi berita dan siaran, tabu terbesar media-media liberal adalah mendukung bangkitnya Islam politik. Gerakan-gerakan Islam yang tidak senafas dengan Sipilis (sekulerisme, pluralisme, liberalisme) akan dicari-cari kelemahannya. Lucunya lagi, sebagian media tampil seperti pemandu sorak pemerintah atau ahli psikoterapi khalayak untuk menidurkan nalar kritis masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan zalim rejim. Sehingga masa depan media-media liberal adalah kenyataan bahwa publik kehilangan kepercayaan pada kemampuan mereka untuk memenuhi perannya sebagai ‘pengawas’. Publik kini semakin sadar, untuk tidak mudah percaya pada berita dan siaran ala makanan cepat saji yang dimainkan media-media kapitalis liberal.
Angin segar pers Islami
Syukurlah, munculnya media-media Islam yang pro penegakan masyarakat bertauhid yang mendukung penerapan syariah. Mereka sangat gigih memberikan solusi-solusi syar’i dan cerdas, sekaligus mampu mengekspos kejahatan-kejahatan, pengecohan dan tipu daya rejim korup, kapitalisme nasional dan global. Kepada mereka kita -sebagai Muslim- patut memberikan harapan, dukungan dan rasa percaya.
Begitupula insan pers muslim, mereka punya tanggung jawab pada Islam. Pemberitaan bohong dan penyudutan Islam akan dapat siksa dari Allah. Jangan kau gadaikan ideologimu dengan sejumput uang. Jadilah insan pers yang cerdas. Tampilkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Insya Allah hal ini akan jadi amal soleh dan pahala besar di akhirat kelak. Melalu pena dan mediamu inilah umat akan cerdas dan mengetahui Islam kaafah. Maka tak lama lagi jika Islam sudah menjadi opini umum. Umat akan menuntut penerapan syariah dalam bingkai Khilafah. Selamat berjuang! (*/arrahmah.com)