Banten (Arrahmah.Com) – Eksekusi AMI (Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra) tinggal menunggu hari. Butuh keajaiban untuk menunda pelaksanaannya kali ini, tanggap sebuah koran nasional. Pengamanan superketat dan berlapis-lapis. Tak cuma di Nusakambangan, Jawa Tengah. Tiga provinsi lain pun dikabarkan siaga satu; Bali, Jawa Timur dan Banten. Headline media pun selalu menampilkan persiapan ekseskusi mereka yang dituduh dalang bom Bali I itu.
Jaksa dan polisi berkonsentrasi penuh pada persiapan eksekusi—menimbulkan suasana tegang tak hanya di Cilacap, tetapi juga di daerah-daerah lain di luar Jawa seperti Poso. Heran. Begitu bahayakah ketiga orang, sampai-sampai untuk membunuhnya, seribu Brimob harus siaga di Nusakambangan? Akses ke Bandara Soekarno Hatta dirazia. Demikian pula jalan menuju candi Borobudur. Hari ini, untuk masuk gerbang Poso, setiap orang harus diperiksa. Siapapun. Jalanan pun tak bersahabat terutama bagi kendaraan bak tertutup.
Padahal, yang hendak mereka eksekusi „hanyalah“ tiga lelaki kerempeng. Satunya hobi cengengesan, satunya pandai berdalil, satunya lagi lihai berorasi. Tak ada satupun diantara mereka yang memiliki ilmu menghilangkan diri. Kesehariannya pun mereka diringkuk sel Super Maximum Security (SMS). Sudah di Nusakambangan, SMS pula. Akses media ke mereka? Butuh perjuangan keras bagi media untuk bisa bertemu mereka. Kesulitan seperti itu, tentu menghambat mereka menyampaikan “pesan-pesan moral” ke publik.
Persiapan yang bisa dibilang berlebih tersebut memicu tanda tanya, “Apa dan siapa di balik semua ‘perhelatan nasional ini’?” Ini kasus (rencana) eksekusi yang luar biasa. Sebelumnya, belum pernah ada persiapan eksekusi sehebat dan segegap-gempita ini. Apakah ini juga merupakan black-campaign untuk menciptakan stigma negatif di hadapan publik, bahwa sosok “teroris” adalah monster yang luar biasa berbahaya, sehingga harus ada upaya extra-ordinary untuk menanganinya? Sehingga, Anda juga harus berhati-hati dan tak henti waspada terhadap lingkungan sekitar. Sebab, “teroris” bisa muncul di mana saja dan menjelma menjadi apa saja.
Kalau momen eksekusi ini hendak dijadikan sebagai kampanye antiterorisme, sepertinya aparat jangan dulu berharap terlalu besar. Pemerintah juga sebaiknya jangan mau dininabobokkan dengan eksploitasi media terhadap—apa yang sering disebut sebagai—suara hati korban bom Bali, yang tak sabar menanti pelaksanaan eksekusi. Sebab, di balik ingar-bingar suara yang menuntut pelaksanaan eksekusi dan di balik dukungan berbagai negara terhadapnya—konon, menurut seorang kawan yang dekat dengan wartawan, Australia mengucurkan tiga milyar rupiah untuk mendukung eksekusi—ada fenomena menarik yang terjadi di dalam negeri.
Sejumlah tokoh telah siap mewakafkan tanah untuk dijadikan peristirahatan terakhir Imam samudra dkk. Di Cianjur, organisasi massa yang menamakan diri Garis (Gerakan Reformis Islam) mengaku telah menyiapkan lahan sekitar 1 hektar. Kalau memang AMI (Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra) dan keluarga bersedia dimakamkan di situ, areal itu nantinya akan diberi nama TPM (Tempat Pemakaman Mujahid). Menurut Chep, ketua Garis Pusat, pembangunan TPM ini bukan bermaksud mencari popularitas melainkan karena wasiat dari almarhum H Endang Syafei, ayahnya. “Ini merupakan wasiat dari ayah saya,” kata Chep singkat.
Sementara di Kebumen, warga Ponpes Addal-Diri juga menyiapkan sepetak tanah untuk pemakaman jenazah AMI. Pemimpin Ponpes Addal-Diri KH Khozaki alias KH Syaifudin Daldiri, 65, menyiapkan tanah berukuran 14 x 9 meter di kompleks masjid miliknya. “Jika dibutuhkan, saya menyiapkan lahan secukupnya,” ujar Khozaki yang juga tokoh Front Toriqotul Jihad (FTJ) tersebut. Dia mengungkapkan, semua itu dilakukan berdasar keyakinannya atas sunah Rasul yang mengharuskan setiap muslim mendukung muslim lain yang masuk golongan syuhada. “Bagi saya, Amrozi dan teman-temanya adalah syuhada,” tegasnya. Motivasi lain? “Saya ikhlas dan tidak mengharapkan apa-apa selain syafaat (pertolongan) Rasul dan rida Allah semata,” ungkapnya. Beberapa daerah juga menyatakan kesanggupan yang sama.
Dalam wawancara dengan sebuah TV, Lulu Jamaludin, adik kandung Imam Samudra menyebut beberapa daerah seperti Kalimantan dan Sulawesi yang menawarkan tanah untuk makam kakaknya. Termasuk, tentunya Banten sebagai tanah kelahiran Imam Samudra.
Tak hanya makam. „Ada sebuah yayasan bernama Yayasan Qudama yang akan didirikan begitu Imam Samudera dipanggil oleh yang kuasa,“ tutur Agus Setiawan, salah seorang anggota TPM (Tim Pembela Muslim). Agus menambahkan, “Kami, selaku kuasa hukum dan pihak keluarga, tidak ingin larut dari banyaknya tawaran yang datang. Kami hanya ingin melaksanakan wasiat terakhir Azis kalau memang nanti dieksekusi,” kata Agus. (Abdul) Aziz adalah nama asli Imam Samudra, yang juga dikenal mempunyai alias Qudama.
Ekspresi lain datang dari Surabaya. Sejumlah orang tak dikenal menempelkan poster dukungan dan simpati kepada AMI. Mujahid Bisa Mati, Tapi Jihad Akan Tetap Berlanjut“ Amrozi Syahid, Eksekutor Sangit. Syahidnya Amrozi Cs Benih Daulah Islam. Amrozi Mujahid Vs Amerika Teroris. Membunuh Amrozi Cs = menunai Bencana,. Syahid 3 tubuh, tumbuh 3000 Mujahid. Ya Allah hancurkan eksekusi Amrozi Cs, Ya Mujahid balas eksekutor.“ Demikian bunyi poster ukuran 50 cm x 1 meter dengan tulisan warna biru. Poster itu ditemukan—diantaranya—di sepanjang jalan Ngagel Jaya Selatan hingga Bung Tomo dan AJBS.
Tak seperti ekspresi simpati dukungan lainnya, poster di Surabaya ini mendapat perhatian serius dari aparat kepolisian setempat. „Wakapolres mencak-mencak,“ tulis beritajatim.com, menggambarkan reaksi aparat terhadap munculnya poster tersebut. Yang dimaksud aparat yang mencak-mencak itu adalah Kompol Kartono, Wakapolres Surabaya Selatan. “Itu berita jelek gak usah ditulis nanti masyarakat takut,” sergahnya yang dikutip beritajatim.com.
Kompol Kartono adalah bagian kecil dari aparat keamanan negeri ini yang begitu paranoid terhadap apa yang sering diistilahkan dengan terorisme. Saking paranoidnya, ia sempat meminta wartawan untuk tidak mempublikasikannya. Sebuah pesan yang lucu dan ganjil bila disampaikan di forum terbuka bersama wartawan.
Kemunculan poster-poster seperti itu mestinya ditanggapi dengan wajar. Poster adalah salah satu bentuk ekspresi dukungan sekelompok masyarakat terhadap AMI. Sama dengan kesediaan warga untuk menyediakan lahan, atau menjaga privasi keluarga Imam Samudra, seperti yang dilakukan warga kampung Lopang Gede, Serang, yang membatasi akses warga asing ke wilayahnya. Semua itu tak perlu diartikan berlebih, selain sebatas sebentuk eskpresi dan simpati. Bukankah kebebasan berekspresi dijamin di negeri ini?
Hal yang mestinya dilakukan oleh Kompol Kartono dan pucuk pimpinannya adalah merenungi sebab kemunculan berbagai fenomena tadi. Bahwa ada sisi lain yang harus dipahami dari sekadar mencitrakan AMI sebagai sosok teroris bak monster yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat. Bahwa jihad sebagai salah satu ajaran Islam, akan tetap ada; meski orang yang melakukannya dicitrakan paksa secara negatif, meski dalam tata laksananya—seperti bom Bali—masih terjadi silangpendapat di kalangan ulama. Dan karenanya, dukungan terhadap jihad itu sendiri tak mesti datang dari Jamaah Islamiyah (JI), organisasi yang kini dikenal mengusung ide jihad bersenjata di Indonesia. Dukungan itu berasal dari umat, meski JI tak sanggup berbuat banyak lagi. Sebab, jihad adalah milik umat, bukan hanya milik JI. Karena itu, setelah merogoh Rp. 3 M untuk eksekusi, sepertinya Australia dan negara-negara pro kontraterorisme harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk kampanye antiterorisme setelah eksekusi. Sebuah keharusan di tengah kepahitan krisis global yang membelit mereka. (Kebebasan Berekspresi Simpatisan AMI (Amrozi, Mukhlas, Imam Samudra)– Prince Muhammad)