ACEH (Arrahmah.com) – Bulan Ramadhan ini menjadi berkah tersendiri bagi ratusan Muslim Rohingya yang sekarang ditampung di Aceh. Setelah melewati perjalanan yang berbahaya dan mengalami hal-hal yang mengerikan, akhirnya tahun ini mereka bisa menjalani Ramadhan dengan senang karena kebaikan budi dari warga setempat dan juga Muslim dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia yang turut tangan dalam meringankan beban mereka.
Sebagaimana dilansir oleh The National, Kamis (18/6/2015), Muhammad Yunus, salah seorang Muslim Rohingya, secara tidak sengaja terdampar di Indonesia setelah mengalami perjalanan yang mengerikan dengan menggunakan perahu, tapi ia dan ratusan migran Rohingya lainnya merasa senang bisa menghabiskan bulan suci Ramadhan di Indonesia.
Warga Rohingya asal Myamar dan Bangladesh tiba di negara-negara Asia Tenggara pada bulan Mei setelah pemerintah Thailand berupaya keras untuk memberantas kelompok perdagangan manusia di wilayahnya.
Yunus berharap bisa mencapai Malaysia, tapi setelah perjalanan selama berbulan-bulan dia kemudian ditemukan terdampar di perairan dangkal Aceh.
Namun demikian dia merasa lega telah terdampar di Indonesia – terutama saat Ramadhan, tiba yang dimulai pada hari Kamis (18/6) – dan jauh dari negara asalnya Myanmar, sebuah negara mayoritas Buddha di mana Rohingya telah lama menghadapi diskriminasi dan ditolak kewarganegaraannya.
“Alhamdulillah, kita diselamatkan dan dibawa ke sebuah negara Muslim,” kata guru agama yang berusia 35 tahun itu. Dia diselamatkan di lepas pantai Aceh 10 Mei lalu bersama dengan sekitar 580 migran lainnya.
“Orang-orang di sini sangat baik dan telah membantu kami, mereka menganggap pengungsi Rohingya sebagai saudara mereka.” kata Yunus.
Bagi Yunus, Ramadhan akan menjadi masa-masa yang sibuk. Dia sudah meninggalkan Myanmar tahun 2012, ketika sekolah Islamnya dihancurkan selama kekerasan yang terjadi antara Buddha lokal dan warga Rohingya.
Muhammad Shorif, pemuda Muslim Rohingya, (16), membenarkan hal itu. Dia melarikan diri dari kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, meninggalkan keluarganya.
Shorif mengaku sangat senang berada di Aceh pada Ramadhan ini dan bisa menjalankan ibadah puasa bersama yang lainnya, walau Shorif kadang merasa rindu dengan masakan ibunya di kamp pengungsi.
“Aku rindu masakan ibuku di kamp pengungsi itu,” kata Sorif.
Muslim Rohingya selama pelarian tidak bisa menjalani ibadah puasa dengan tenang. Masjid-masjid mereka dihancurkan, serta aparat setempat melarang shalat dan kegiatan keagamaan lainnya, kata Yunus.
Yunus telah hidup di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh selama beberapa tahun. Dengan maksud untuk keluar dari penderitaan yang dihadapinya, Yunus dengan menumpang perahu bermaksud menuju ke Malaysia.
Dia merasa senang karena mendapatkan perlakukan yang baik di Aceh, yang tentu saja hal ini berbeda dengan yang dialami di negara asalnya, yaitu Myanmar. Banyak orang yang datang berbondong-bondong memberikan sumbangan makanan dan uang kepada para pengungsi. Yunus juga bisa menikmati hidangan yang lezat untuk berbuka puasa, hal yang sudah lama tidak dirasakannya.
Warga Aceh memang bersimpati dengan penderitaan Rohingya, karena sejarah mereka sendiri yang menyedihkan setelah puluhan tahun hidup di bawah penindasan aparat keamanan Indonesia.
“Selama konflik di masa lalu, kita mengalami penderitaan. Tapi Rohingya ini punya pengalaman lebih buruk daripada orang di Aceh,” ungkap Syamsuddin Muhammad, seorang nelayan Aceh berusia 55 tahun. Dia datang ke kamp pengungsi untuk menyumbangkan uang yang dikumpulkan di desanya, lansir The National.
Masyarakat Aceh juga berusaha untuk memperbaiki kondisi hidup imigran Muslim Rohingya dengan memindahkan mereka ke bangunan yang lebih baik.
Banyak dari mereka yang hidup dalam kekhawatiran, berusaha menyambung hidup dengan bekerja di sektor informal, jauh dari orang yang mereka cintai.
Meskipun Yunus senang telah berada di Aceh, tapi ia merindukan keluarganya di Myanmar selama bulan Ramadhan ini.
“Aku rindu istri dan anak-anak,” katanya, sambil merusaha menahan air mata.
(ameera/arrahmah.com)