Almaza Samuni selalu menunggu-nunggu datangya bulan suci Ramadhan, waktu favoritnya di setiap tahunnya. Namun tahun ini Ramadhan sangat berbeda.
“Aku sedih karena ibuku tidak lagi disampingku untuk membuat makanan santap sahur dan berbuka,” ujar anak piatu tersebut.
Samuni, 13, biasanya membantu ibunya memasak untuk persiapan berbuka untuk dirinya dan enam saudaranya, kini mereka semua telah tiada, mereka gugur dalam serangan brutal tentara zionis Israel pada Desember silam.
Samuni kini hidup di kamp-kamp pengungsian di Jalur Gaza. Setiap harinya selama Ramadhan ini, yang dimulai pada hari Sabtu di Gaza, ia menghabiskan masa hanya bersama ayahnya, yang masih terbaring sakit akibat luka-luka yang dialaminya sejak Israel menyerang.
“Ramadhan sangat berat tanpa mereka,” ujar Samuni dengan nada rendah.
Ayahnya, Ibrahim, berkata sambil berbaring di tempat tidurnya di kamp pengungsian, Ramadhan membuka luka hatinya dan mengingatkannya akan peristiwa yang telah merenggut nyawa istri dan enam orang anaknya.
“Istriku, anakku, saudara kandungku dan pamanku seluruhnya telah tiada,” ujarnya sambil terisak.
Lebih dari 1.400 Muslim sipil Gaza termasuk ratusan anak-anak mejadi korban kebiadaban tentara zionis Israel dan lebih dari 5.450 mengalami luka-luka dalam serangan kurang lebih tiga pekan tersebut, yang dilakukan dari arah darat, laut dan udara.
Tidak jauh dari tenda Samuni, terdapat tenda dimana Dalal Abu Aisha hidup, ia juga mengalami hal yang serupa.
Gadis berumur 14 tahun ini satu-satunya yang selamat ketika tank Israel menghantam rumahnya.
Ia sendirian melewati waktu sahur dan berbuka yang biasanya dilakukan di sebuah meja bundar yang dikelilingi oleh ibu dan tiga saudaranya.
Sejak penyerangan yang dilakukan zionis Israel, Dalal menjadi pemurung, ia tidak mengeluarkan kata-kata apapun dari mulutnya.
“Dia selalu terlihat menggagu,” ujar Umm Adel, bibi Dalal yang kini memeliharanya.
“Kehidupan Dalal sangat berat,sama seperti anak-anak lainnya yang kehilangan saudara dan orang tua mereka.” (haninmazaya/IOL/arrahmah.com)