Marhaban Ya Ramadhan. Rasulullah SAW. selalu memotivasi para sahabat dengan kabar gembira akan datangnya Ramadhan, sebagaimana sabdanya, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, rajanya bulan, sambut dan hormatilah Ramadhan.” Lintasan sejarah Islam berbicara, terdapat hubungan yang penting antara jihad dan Ramadhan. Selama kehidupan Rasulullah saw., dua buah peperangan terjadi di bulan Ramadhan, yang pertama adalah Perang Badar yang terjadi di tahun kedua setelah hijrah, dan yang kedua Penaklukan Mekkah (futuh Makkah) sekitar 6 tahun kemudian.
Bahkan, setelah kehidupan Rasulullah SAW, bulan Ramadhan tetap menjadi bulan konfrontasi militer penting bagi kaum muslimin. Beberapa kejadian penting yang berhubungan antara bulan Ramadhan dan jihad terus terjadi dalam kehidupan bersejarah kaum muslimin. Tentunya, Allah SWT yang paling mengetahui hikmah yang besar mengapa bulan Ramadhan begitu memiliki kaitan erat dengan jihad. Pastinya, Allah SWT sajalah yang mengetahui hikmah itu semua dan memberikan indikasi dan tanda-tanda tersebut, yakni kaitan antara Ramadhan dan jihad kepada kaum muslimin.
Untuk memahami lebih dalam hubungan ini maka seseorang haruslah memahami esensi jihad sebaik dia memahami esensi shaum (berpuasa di bulan Ramadhan). Jihad adalah aktualisasi dari ibadah seorang muslim untuk membuktikan tidak ada kecintaan baginya kecuali hanya Allah SWT saja, Rasulullah SAW, dengan upaya sekuat tenaga untuk menggapai Ridho Ilahi.
Seorang Mujahid dengan bersungguh-sungguh memberikan semua apa pun miliknya di dunia, termasuk hidupnya, ini merupakan bukti bahwa dia sungguh-sungguh ikhlas beribadah hanya kepada Allah SWT. semata. Dia tidak memiliki keinginan lain, selain Allah SWT. Dia tidak menyembah materi apa pun dalam kehidupannya, keinginannya, dan semua semata-mata ditujukan untuk menggapai keridloan-Nya. Inilah tujuan seorang Mujahid dan tidak ada selain itu.
Untuk beberapa alasan, banyak muslim tidak mampu melakukan keikhlasan dalam beribadah tersebut. Mereka masih membutuhkan atau mengharapkan sesuatu yang lain meskipun mereka tahu bahwa mereka adalah hamba Allah SWT, mereka masih lebih mementingkan pekerjaan, keluarga, kesehatan, dan segala sesuatu yang merupakan kenikmatan dunia. Salah satu jalan untuk mencapai tingkat ketulusan ibadah tersebut adalah taqwa, sebagaimana firman Allah SWT.
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS 2 : 183)
Perintah Jihad dan Ramadhan
Dalam bulan yang diberkahi ini, dimana seluruh kaum muslimin berlomba-lomba untuk mencapai derajat taqwa, yakni mengerjakan seluruh perintah Allah SWT. dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, maka kita akan sama-sama melihat berapa banyak atau seberapa besar kaum muslimin (selain mengerjakan perintah puasa) telah melaksanakan perintah jihad ? Atau membantu jihad ? Untuk membantu anak-anak dari ummat ini, khususnya mereka yatim piatu dari para syuhada ? Padahal perintah jihad sama wajibnya dengan perintah puasa Ramadhan.
Bayangkan, jika setiap wanita muslim di saat bulan Ramadhan ini menyisihkan uangnya Rp. 50.000 untuk diinfaqkan fi Sabilillah! Bayangkan, jika setiap ikhwah tidak menghabiskan waktu di setiap bulan Ramadhannya kecuali melakukan i’dad atau jihad fi sabilillah! Atau, jika itu tak terbayangkan, maka bayangkanlah mereka sedang duduk-duduk di rumah dan berfikir “Suatu hari nanti saya akan berjihad, tetapi hari ini anak saya masih terlalu kecil, istri saya tidak setuju, dan ibu saya sudah tua.”
Padahal, di masa keemasan sejarah Islam dahulu, bulan Ramadhan selalu berkaitan dengan jihad fi sabilillah. Rasulullah SAW dan para sahabatnya — yang mana mereka adalah umat Islam terbaik — tidak pernah meninggalkan kewajiban jihad, termasuk jihad tholab (jihad atas inisiatif kaum muslimin).
Buktinya Nabi SAW sendiri memerangi bangsa Arab kemudian memerangi Romawi di Tabuk, Rasulullah SAW sendiri telah melakukan 19 kali perang ghozwah, 8 diantaranya beliau terjun langsung di dalamnya. Adapun utusan dan sariyah-sariyah yang beliau tidak turut di dalamnya, jumlahnya mencapai 36 kali menurut riwayat Ibnu Ishaq, sedangkan yang lain berpendapat lebih dari itu.
Setelah itu, sepeninggal Rasulullah SAW para sahabat berperang menyerang bangsa Rum, Persi, Turki, Mesir, Barbar dan lain sebagainya, sampai-sampai ini sudah menjadi perkara yang maklum. Lalu, mengapa tradisi Islam ini tidak berlanjut kepada sebagian besar kaum muslimin saat ini. Ada apa dengan ummat Islam ?
Kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan hadits tentang ‘penyakit ummat’ dewasa ini, yakni wahn, sebagaimana sabda Rasulullah saw.tentang al wahn yakni : “Cinta dunia dan tidak suka dengan perang.” Hadits shohih, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad.
Abu Bakar Ash-Shiddiiq Radhiyallahu‘anhu mengatakan pada khotbahnya yang pertama kali (ketika diangkat menjadi Kholifah)
:“Tidaklah sebuah kaum meninggalkan jihad kecuali mereka pasti hina.” Dan demi Allah sungguh dia benar.”
Perintah jihad juga dilaksanakan agar kita tidak terkena sifat orang-orang munafiq, sebagaimana sabda Beliau saw. :
“Barang siapa yang mati dan belum berperang dan belum membisikkan hatinya untuk
berperang, ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan.” (HR. Muslim)
“Aku diutus dengan pedang menjelang hari Kiamat sehingga Allah diibadahi sendirian dan tidak ada ” sekutu bagiNya, dan dijadikan rizkiku di bawah naungan tombakku, dan dijadikan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintahku, dan barang siapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia dari golongan mereka…(HR Ahmad)
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara al-‘ienah, mengikuti ekor-ekor sapi, rela dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad Allah pasti menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan di angkat dari kalian sampai kalian kembali kepada dien kalian.” (HR Abu Daud)
Apakah sikap Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap orang-orang murtad dan terhadap pasukan Usamah Radhiyallahu ‘anhu merupakan sikap fanatik yang dibenci atau teguh pendirian?! Ketika beliau mengatakan: “Demi Alloh! Seandainya mereka tidak menunaikan kepadaku ‘inaaq (seekor kambing betina sebagai zakat ternak-pent.) dan dalam riwayat lain ‘iqool (zakat unta dan kambing-pent.) yang pernah mereka tunaikan kepada Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pasti aku perangi mereka lantaran mereka tidak menunaikannya ….” (HR Bukhari) .
Dan ketika beliau berkata: “Demi (dzat) yang tidak ada ilaah selainNya, seandainya anjing-anjing membawa lari kaki-kaki istri-istri Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam aku tidak akan menarik kembali pasukan Usamah yang telah disiapkan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak akan aku turunkan bendera yang telah ditegakkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .” Seandainya terjadi pada kalian apa yang telah terjadi pada pada beliau maka apakah kalian akan tetap teguh sebagaimana beliau ataukah “setiap zaman itu mempunyai rijaal (pelaku-pelakunya sendiri)?” apakah hukum jahiliyah yang kalian kehendaki sedangkan nas-nas kalian selewengkan?!
Bukankah Islam itu: kamu serahkan ketundukanmu kepada Robbul ‘Alamiin!? Dialah yang menentukan kemaslahatan, bukan kamu, demi Allah alangkah baiknya Roofi’ Ibnu Khojiij, seorang sahabat yang mempunyai pandangan yang tajam ketika beliau mengatakan: “…. Suatu hari datang kepada kami seorang dari pamanku lalu dia mengatakan: “Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang sesuatu yang bermanfaat bagi kami, dan ketaatan kepada Allah dan RasulNya itu lebih bermanfaat bagi kami, kami dilarang muhaaqolah pada (hasil) bumi….” Al-Muhaaqolah adalah jual beli tanaman sebelum ia layak (dipanen).
Dan alangkah bijaksananya sebuah kalimat -seandainya kita memahaminya- yang mengatakan: “Sesungguhnya beban-beban Qu’uud (duduk) dari jihad yang berupa kerugian dan darah itu berlipat ganda dari pada beban-beban melaksanakan jihad.”
Dengan kata lain, ada rahasia dan hikmah yang besar pada firman Allah SWT yang memerintahkan puasa sama persis redaksinya dengan firman Allah SWT yang memerintahkan jihad:
“Telah diwajibkan kepada kalian berperang.”
“Telah diwajibkan kepada kalian puasa.”
Maka apakah kita ingin beriman kepada sebagian isi Al-Qur’an dan ingkar kepada sebagian yang lain ?
Wallahu’alam bis showab! Marhaban Yaa Ramadhan…!
(arrahmah/almuhajirun)