IDLIB (Arrahmah.id) – Lebih dari separuh penduduk di wilayah ini telah mengungsi akibat perang, kemudian gempa bumi melanda pada Februari, menciptakan apa yang oleh penduduk setempat disebut sebagai Ramadhan terberat dalam hidup mereka.
Saat ini adalah pertengahan Ramadhan di seluruh dunia, termasuk di wilayah Idlib yang dikuasai oposisi di barat laut Suriah, meskipun perayaan Ramadhan di sana tidak meriah, di mana pasar-pasar sepi dan harga makanan meroket.
Situasi ekonomi memburuk dari hari ke hari, terutama setelah gempa bumi dahsyat yang melanda pada 6 Februari lalu.
Menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Response Coordination Group, harga daging di barat laut Suriah telah naik sebesar 57 persen selama Ramadhan dan harga sayuran serta buah-buahan telah naik sebesar 55 persen, lansir Al Jazeera (6/4/2023).
“Pasar-pasar lebih sepi di bulan Ramadhan ini,” ujar Abu Hussein, seorang pemilik supermarket di kota Idlib. “Harga makanan lebih tinggi karena para pedagang memonopoli dan menimbun, mengendalikan harga tanpa memikirkan betapa sulitnya kondisi kehidupan masyarakat di wilayah ini.”
Populasi di wilayah barat laut Suriah berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa, 2,9 juta di antaranya merupakan pengungsi internal, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB.
“Ramadhan kali ini merupakan yang tersulit bagi kami karena krisis keuangan yang kami alami dan ketergantungan kami pada makanan yang disediakan oleh organisasi-organisasi bantuan,” ujar Mariam Haloul, seorang ibu dari empat orang anak yang rumahnya hancur akibat gempa dan kini tinggal di dekat Salqin di sebuah kamp untuk para penyintas bencana.
Organisasi kemanusiaan yang bekerja di daerah tersebut berusaha membantu orang-orang yang terkena dampak gempa dengan menyediakan makanan untuk berbuka puasa, yaitu makanan yang disantap saat matahari terbenam ketika umat Muslim berbuka puasa selama bulan Ramadhan, atau dengan mengadakan acara buka puasa bersama, seperti yang dilakukan di Atareb, sebelah barat Aleppo.
“Acara buka puasa bersama yang dihadiri lebih dari 1.000 orang ini bertujuan untuk menyatukan warga kota dalam suasana yang lebih spiritual, terutama setelah gempa yang merenggut nyawa puluhan warga kota, terutama di lingkungan tempat acara buka puasa bersama, di mana tiga bangunan hancur dan 45 orang tewas,” ujar Mahmoud Abu al-Majd, seorang aktivis dari Atareb. (haninmazaya/arrahmah.id)