Sa’id bin Amir al Jumahi –salah seorang sahabat Rasulullah saw– pernah berkata kepada Khalifah Umar bin Khaththab ra,: “Wahai Umar, bolehkah aku memberi nasehat kepadamu?” Jawab Umar: “Boleh”.
Kemudian Sa’id bin Amir al Jumahi berkata: “Aku berwasiat kepadamu, hendaknya engkau bertaqwa kepada Allah lebih dari rasa takutmu kepada manusia, dan janganlah engkau takut kepada manusia lebih dari takutmu kepada Allah. Janganlah ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu, sebab sebaik-baik ucapan adalah yang dapat dibuktikan dengan perbuatan. Janganlah engkau memutuskan perkara dengan dua keputusan, sebab hal itu akan menjadikan saling bertentangan diantara keputusanmu, dan engkau akan keluar dari jalan kebenaran. Untuk memutuskan sesuatu mintalah pendapat para ahli, agar engkau mendapatkan jalan keluar. Dengan cara itu Allah akan memberikan pertolongan dan rakyatmu akan mematuhimu. Luruskanlah wajah dan putusanmu sebaik mungkin bagi rakyatmu. Cintailah mereka sebagaimana engkau mencintai dirimu dan keluargamu. Jauhkan dari mereka sebagaimana engkau tidak senangi dari keluargamu. Korbankan dirimu demi membela kebenaran dan janganlah engkau takut sedikitpun dari celaan seseorang.”
Umar lalu bertanya: “Siapa gerangan yang mampu melaksanakan nasehat seperti itu?” Sa’id bin Amir al Jumahi menjawab: “Yang dapat melaksanakan wasiat seperti itu adalah seorang seperti engkau, yaitu seseorang yang diberi tugas untuk memimpin ummat Muhammad dan ia tidak takut selain kepada Allah.” (Muntakhabul Kanzu jilid IV, hal. 390).
Penggalan cerita yang tercantum dalam kitab tarikh (sejarah) itu seolah mengingatkan kita pada target yang hendak dituju selama pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan, sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (TQS. al Baqarah: 183).
Tak pelak lagi, memang taqwa menjadi kata kunci dan menjadi sasaran dalam ibadah shaum ini.
Adapun kata taqwa, meskipun simpel dan seringkali dikumandangkan oleh para khatib di mimbar-mimbar Jum’at dan sering kita temukan dalam berbagai ayat al Qur’an dan hadits Rasulullah saw, masih banyak kaum muslimin yang belum mengerti hakekatnya. Sedemikian awamnya ummat ini dengan pengertian taqwa sampai-sampai ada yang beranggapan bahwa istilah taqwa hanya berhubungan dengan aktivitas ibadah ritual, ibadah mahdloh saja, atau berkait dengan akhlaq dan perbuatan baik yang lain tidak. Yang lebih menyedihkan adanya anggapan sebagian orang yang mencampuradukan istilah taqwa dengan filsafat Hindu, sehingga mereka beranggapan bahwa orang yang taqwa adalah orang yang suka menyengsarakan jasad/fisiknya, pakaian yang penuh tambalan, tidur tanpa alas kasur yang empuk, kaki cukup beralaskan sandal jepit. Seolah-olah orang yang makmur dan kaya itu bukan orang yang taqwa, atau sulit memperoleh derajat taqwa.
Pengertian Taqwa
Demikian pentingnya pemilikan taqwa sehingga Allah SWT sendiri yang menyampaikan wasiat ini kepada kita.
“Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah…” (QS. an Nisaa: 131).
Ayat ini menerangkan bahwa taqwa merupakan wasiat dari Allah SWT kepada seluruh hamba-hambanya.
Pada dasarnya taqwa akan menjadikan seorang hamba dengan Dzat yang ditakutinya—takut terhadap kemurkaan-Nya, takut dari azab-Nya, takut terhadap perkara-perkara yang dilarang-Nya—sebagai perisai yang akan melindungi dan menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskannya pada kehinaan dan azab. Maka jika Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa:
“Yang bertaqwa kepada Allah itu bukan seseorang yang hanya melakukan shaum di siang hari dan menegakkan qiyamul lail di malam hari serta rajin melakukan amal ibadah diantara dua waktu tersebut, melainkan (orang yang taqwa itu) yang meninggalkan apa yang diharamkan Allah dan melaksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allah.”
Dari pengertian singkat tadi, dapat diambil beberapa inti mengenai taqwa. Bahwasanya tidak mungkin seseorang itu memperoleh derajat ketaqwaan yang tinggi jika ia tidak menyadari dan mengetahui (syariat) Islam. Dan pengertian terhadap Syariat Islam saja pun tidak cukup bagi seseorang memperoleh derajat taqwa, melainkan hendaknya dijadikan standard, tolok ukur, dalam kehidupannya, sehingga seluruh aktifitas perbuatannya adalah cermin dari pelaksanaan syariat Islam.
Taqwa memang pangkal dari amal perbuatan, sebagaimana hadits dari Abu Aa’id Al Khudri:
“Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat.” Maka Nabi saw menjawab: “Aku menasehati engkau agar bertaqwa kepada Allah, karena taqwa itu adalah pangkal segala sesuatu.” (HR. Ahmad dari Abu Sa’id al Khudri).
Implikasi Taqwa
Ayat-ayat al Qur’an banyak yang memperjelas mengenai taqwa dengan menampilkan sifat-sifat orang yang taqwa, antara lain:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji (dosa besar) atau menganiaya diri sendiri (dosa kecil), mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 133-135).
Menarik untuk disimak dalam ayat ini, adalah bahwa predikat taqwa yang melekat pada seseorang bukan berarti seseorang itu tidak akan pernah melakukan kesalahan. Dengan amat indah ayat diatas melukiskan bahwa orang yang bertaqwa pun bisa saja terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Tidak ada manusia yang ma’shum (bebas dari dosa dan kesalahan), kecuali para Nabi dan Rasul. Namun, bagi orang yang bertaqwa, tatkala ia khilaf, terperosok dalam kesalahan dan dosa, ia segera ingat kepada Allah SWT dan segera mohon ampunan-Nya, serta tidak mengulangi lagi kesalahannya itu. Inilah yang membedakan orang yang bertaqwa dengan yang tidak, maka pantaslah terhadap orang-orang seperti ini Allah SWT memberikan ganjaran dan keistimewaan yang luar biasa.
Salah satu perkara yang mampu diraih oleh orang yang bertaqwa adalah:
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (TQS. ath Thalaq: 2-3).
Menanggapi ayat ini, Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa ayat ini mampu menolak/memecahkan setiap kesulitan di dunia dan akhirat. (lihat tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, hal. 456-457).
Jaminan dari Allah SWT bahwasanya orang yang bertaqwa akan memperoleh jalan keluar terhadap kesulitan apapun yang menghadangnya di dunia, merupakan pendorong yang mengagumkan bagi seorang mukmin agar hidupnya jika ingin tenteram tiada lain harus bertaqwa. Dan kesulitan apapun, ia yakin akan pertolongan Allah SWT yang memberikan kepadanya jalan keluar. Bahkan jika akibat ketaqwaannya kepada Allah menyebabkan kesulitan dalam masalah kebutuhan hidup (ekonomi), Allah menjamin dengan memberikan kepadanya rezki yang diberikan secara tidak diduga-duga, yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Maka apakah terhadap janji dan jaminan yang Allah SWT berikan kepada kita, masihkah kita ragu-ragu lagi untuk bertaqwa kepada Allah, meskipun resikonya di dunia demikian berat? Dan janji siapa lagi yang berhak diyakini kecuali janji Allah SWT.
Islam dijadikan Tolok Ukur
Setiap bentuk aktifitas, perbuatan apapun jenisnya, kemudian dibalut dengan standard Islam, tolok ukur halal haram, terikat dengan syariat Islam dimanapun ia berada dan direalisir dalam bentuk kehidupan sehari-hari, adalah cerminan orang yang sudah muttaqin. Orang yang taqwa tidak hanya memfokuskan perbuatannya hanya aspek ibadah saja, bahkan lebih luas dari itu.
Adalah kesalahan besar membayangkan orang yang taqwa adalah yang mengisolasi diri dari tengah-tengah umat lalu pergi ke suatu tempat dengan maksud untuk menghindarkan diri dari kemaksiatan, kekufuran, kefasikan dan kesewenang-wenangan yang melanda masyarakat. Lalu ia mementingkan dirinya sendiri untuk bertaqarrub kepada Allah tanpa gangguan sedikitpun dan berdiam diri dari kezhaliman, kekufuran, kefasikan. Orang yang taqwa adalah justru orang yang tetap berinteraksi di tengah-tengah masyarakat yang kufur, fasiq dan dzalim, serta berusaha mengubah kondisi masyarakat seperti itu dengan Risalah Islam, mengubah sistem dan tatanan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang Islami, membongkar aturan dan tradisi yang menyesatkan dan bertentangan dengan Islam sehingga hanya Islamlah yang dijadikan sistem perundang-undangan dan peradaban, bukan sistem lain. Selama seorang mukmin mampu melakukan hal ini dan tetap tegar meskipun dilanda kesulitan yang amat berat, derajat ketaqwaannya kepada Allah amat tinggi. Bukankan Rasulullah saw diutus di tengah-tengah masyarakat yang Jahiliyah, kufur, fasiq, dan dzalim. Bukankah para sahabat Rasulullah saw juga hidup di tengah-tengah masyarakat seperti itu, lalu berjuang untuk menda’wahkan Islam. Dan berusaha menegakkan kekuasaan Islam dalam bentuk Negara dan pemerintahan.
Lalu apakah terdapat perbedaan dengan masyarakat kita masa sekarang dengan masyarakat di masa Rasulullah saw. Bukankah kita hidup di tengah-tengah kefasikan, kedzaliman, sistem dan perundangan yang tidak berasal dari Islam, dan masyarakat kita –meskipun beragama Islam– tidak menampakkan pola pikir yang Islami.
Jadi salah satu bentuk ketaqwaan kita kepada Allah SWT adalah juga berusaha menjadikan kewajiban Allah yang ditetapkan kepada ummat ini, seperti amar ma’ruf nahi mungkar, menerapkan sistem dan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, waspada dari tipu muslihat orang-orang kafir, munafiq dan kaki tangannya adalah bagian sifat yang dimiliki orang yang bertaqwa.
Dengan bulan Ramadhan kali ini semoga kita mengenal lebih jauh tentang sasaran yang akan diperoleh bagi yang melakukan shaum, yaitu taqwa. Dalam arti, ia akan semakin terikat dengan hukum Islam, berpola pikir Islami, dan memiliki ghirah maupun perasaan Islam. Orang yang taqwa akan menjadikan kedaulatan satu-satunya hanya di tangan Allah SWT, bukan manusia. Dan menerjunkan dirinya dalam aktifitas menegakkan Islam sebagai sebuah aturan masyarakat dan peradaban. Dan pada saat yang sama ia giat beribadah kepada Allah SWT, termasuk ibadah-ibadah nafilah/sunnah.
Kiranya, benarlah yang dikatakan oleh Sa’id bin Amir di atas tadi, perkataan yang menunjukkan tingginya derajat taqwa -yang disampaikan oleh salah seorang rakyat kepada Khalifah. Suatu fragmen yang amat langka dan tidak ditemukan dalam sejarah manusia kecuali dalam sejarah Islam di masa puncak kejayaannya. Adakah saat ini seorang rakyat mampu dan berani melancarkan nasehat kepada penguasanya seperti Sa’id bin Amir?
Maka hendaknya kita takut hanya kepada Allah, sebab jika Anda takut kepada manusia pasti Anda tidak akan takut kepada Allah. Dan jika Anda takut kepada Allah, maka pastilah Anda tidak akan takut kepada manusia siapapun itu. Maka benar firman Allah:
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. an Nahl : 128)