(Arrahmah.id) – Sebelum kedatangan Islam, orang Arab menggunakan kalender lunar. Kalender ini – 11 hari lebih pendek dari kalender Gregorian – tidak mengikuti musim. Haji atau Ziarah tahunan pada saat penyembahan berhala lebih seperti festival besar, dan karena kalender lunar tidak mengikuti musim, haji berlangsung pada bulan yang berbeda setiap tahun.
Ini berarti bahwa pada tahun-tahun tertentu, haji datang pada musim-musim ketika tanaman belum siap panen dan karena itu tidak tersedia untuk dijual, sehingga mengganggu persiapan hari raya untuk acara ini. Oleh karena itu, orang-orang Arab merancang sebuah metode untuk mengatasi kesulitan ini dengan menambahkan satu bulan pada penanggalan pada tahun-tahun tertentu. Metode ini disebut kabisat.
Waktu pelaksanaan haji menjadi bervariasi dan pengumuman tanggalnya kemudian dibuat selama haji sebelumnya. Pengumuman ini pertama kali menjadi tanggung jawab seorang pria bernama Qalammas. Qalammas berasal dari suku Bani Kinanah, suku yang merupakan keturunan Hasyyim 464–546 M dan yang kemudian menjadi bapak suku Quraisy, suku Nabi Muhammad Shalallahu alayhi wa sallam.
Qalammas juga bertanggung jawab untuk mengumumkan bulan mana yang harus diikuti dengan tambahan bulan ketiga belas. Semua orang yang melakukan pekerjaan mengumumkan waktu haji ini kemudian disebut Qalammasa.
Kalender Lunar dalam Al-Quran
Nabi Muhammad Shalallahu alayhi wa sallam mengumumkan penghentian praktik kabisat dan ditinggalkannya kalender Qalammasi. Kalender lunar digunakan sebagaimana ditetapkan oleh Allah dan waktu haji ditetapkan pada hari yang sama setiap tahun lunar.
Ayat Al-Quran berikut mensyaratkan penggunaan kalender lunar sebagai kalender yang harus diikuti oleh umat Islam: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. (TQS Yunus: 5)
Pada ayat selanjutnya ini Allah memerintahkan umat Islam untuk menetapkan waktu haji: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” (TQS Al Baqarah: 189)
Jumlah bulan dalam setiap tahun sesuai petunjuk Allah adalah 12 seperti yang ditunjukkan dalam ayat berikut: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (TQS At Taubah: 36)
Penetapan Awal Waktu
Kalender Lunar digunakan pada masa Nabi, akan tetapi tidak ada tahun tetap yang ditetapkan untuk digunakan sebagai awal era Islam. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa penduduk Madinah menggunakan satu atau dua bulan setelah kedatangan Nabi Shalallahu alayhi wa sallam sebagai awal kalender mereka, tetapi ini dihentikan setelah kematian beliau.
Tidak ada ukuran waktu yang digunakan selama kekhalifahan Abu Bakar. Baru pada tahun keempat Khalifah kedua, Umar bin Khattab, kalender Hijrah digunakan.
Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari meriwayatkan melalui Maymun bin Mihran bahwa “Sebuah catatan hutang di bulan Sya’ban diserahkan kepada Umar. Setelah itu, Umar bertanya yang mana Sya’ban, Sya’ban terakhir, apakah yang ini atau yang akan datang? Beri orang sesuatu yang bisa mereka mengerti.”
Al Hurmuzan, mantan raja al Ahwaz (sebelum ditangkap oleh umat Islam saat penaklukan Persia) yang kemudian masuk Islam, menyarankan penggunaan kalender Persia. Namun, kalender ini tidak diterima oleh umat Islam, karena tidak memiliki zaman yang pasti sejak era Persia dimulai lagi setelah kenaikan setiap raja baru ke tahta.
Setelah mendengarkan berbagai usul, umat Islam menyepakati penggunaan hijrah (hijrah) Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai awal era Islam. Tanggal 1 Muharram tahun 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 menurut penanggalan Masehi.
Hijrah digunakan sebagai pengganti tanggal kelahiran Nabi Shalallahu alayhi wa sallam atau tanggal wahyu Al -Qur’an karena tanggal pasti dari kedua peristiwa ini tidak diketahui. Tanggal kematian nabi, meskipun diketahui, merupakan peristiwa yang terlalu menyedihkan untuk digunakan. Dengan demikian diputuskan bahwa Hijrah akan digunakan untuk menandai awal kalender Islam.
Sebelum munculnya kalender Hijrah, tahun-tahun diberi nama sesuai dengan peristiwa besar yang terjadi pada tahun tersebut dan ini digunakan sebagai sistem penanggalan mereka.
Misalnya, tahun pertama Nabi tinggal di Madinah disebut ‘Tahun izin bepergian’. Tahun kedua adalah ‘Tahun perintah untuk berperang’. Tahun ketiga adalah ‘Tahun ujian’, dan seterusnya. Sistem ini ditinggalkan setelah wafatnya Nabi, (Said, Hakim, 1984).
Dua belas bulan lunar adalah Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’idah, dan Dzulhijjah. Jumlah hari dalam setiap bulan bergantian antara 29 dan 30 hari. Oleh karena itu tahun lunar terdiri dari 354 hari.
Kalender Islam membagi waktu menjadi siklus 30 tahun. Dalam setiap siklus ada 19 tahun yang terdiri dari 354 hari dan 11 tahun terdiri dari satu hari tambahan sehingga menjadi 355 hari.
Ramadhan dan Kalender Lunar
Awal bulan Ramadhan ditandai dengan bercak bulan sabit (bulan baru). Bulan dianggap baru ketika memulai siklusnya mengelilingi Bumi. Bulan melewati fase, dimulai dengan bulan baru, melewati bulan sabit, setengah dan mulai cembung hingga bulan purnama, dan kembali lagi.
Waktu yang dibutuhkan bulan untuk berpindah dari satu bulan baru ke bulan berikutnya dikenal sebagai bulan sinodis, dan rata-rata adalah 29,530589 hari. Namun, karena Bumi juga mengorbit matahari pada saat yang sama, pada saat bulan menyelesaikan siklusnya mengelilingi Bumi, Bumi sendiri telah bergerak seperdua belas perjalanannya mengelilingi matahari.
Agar bulan menyelesaikan siklusnya ke bulan baru, ia harus menyelesaikan orbitnya dan sedikit lagi untuk kembali berada di antara Bumi dan matahari lagi. Karena perturbasi orbit Bumi dan Bulan, maka waktu sebenarnya antara bulan baru berkisar 29,27 hingga sekitar 29,83 hari, (Hermit eclipse, 1995)
Sebenarnya, tanggal dan waktu setiap bulan baru dapat dihitung dengan tepat, tetapi untuk menandai awal Ramadhan di sebagian besar negeri Muslim, bulan baru harus dilihat dengan mata telanjang. Namun, di beberapa negeri ada juga yang bergantung pada perhitungan ilmiah daripada penampakan yang sebenarnya.
Visibilitas bulan sabit bergantung pada beberapa faktor, seperti lokasi dan pengalaman pengamat serta seberapa cerah langit pada saat penampakan. Biasanya sulit untuk melihat bulan sabit pada hari pertama bulan baru. Ia terletak sangat rendah di langit barat setelah matahari terbenam, memiliki kecerahan permukaan yang rendah dan sangat tipis saat ini. Menurut US Naval Observatory, rekor penampakan awal bulan sabit dengan teleskop adalah 12,1 jam setelah bulan baru, untuk penampakan dengan mata telanjang, rekornya adalah 15,5 jam dari bulan baru.
Kalender Islam yang menjadikan bulan alih-alih matahari sebagai dasar perhitungan memiliki arti penting terkait bulan Ramadhan selain juga mengarah pada rotasi haji di antara musim yang berbeda.
Awal kalender Islam dengan Hijrah menunjukkan pentingnya peristiwa ini dalam sejarah Islam. Ini adalah periode pengorbanan besar atas nama umat Islam, kesabaran serta ketekunan mereka. Memulai kalender dengan tahun ini khususnya selaras dengan ajaran Islam, yang didasarkan pada pengorbanan diri demi tujuan yang lebih besar dan lebih penting.
Pengorbanan yang dilakukan oleh umat Islam pada awal periode hijrah menjadi dasar bagi umat Islam untuk terus bersemangat sehingga agama Allah menyebar tidak hanya ke seluruh Arab, tetapi juga ke seluruh dunia. (zarahamala/arrahmah.id)