(Arrahmah.com) – “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50)
Hukum yang tumpul Terhadap Penista Alqur’an adalah bukti kesekian bahwa menginginginkan pemimpin hanya muslim semata tanpa perubahan sistem akan pernah menuju perubahan yg diinginkan, dengan demokrasi hal serupa bisa berulang di masa datang. Jokowi diam tak bergeming diatas singgasananya skalipun agamanya dinista. Umat makin sadar tentang keburukan demokrasi.
Wajar pula dalam kondisi politik Indonesia membuat banyak pihak mempertanyakan kelayakan sistem demokrasi. Apakah memang sistem yang baik bagi mereka? Kenapa sistem ini tidak mensejahterakan mereka? Klaim demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan, sepertinya hanya mimpi. Tadinya rakyat berharap banyak dengan dipilihnya presiden secara langsung, kepala negara terpilih akan lebih memihak kepada rakyat. Kenyataannya malah sebaliknya. Kebijakan pemerintah justru lebih pro kepada kelompok bisnis, perusahaan asing, dibanding untuk kepentingan rakyat.
Berkaca pada pilgub DKI 2017, secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya kebijakan yang muncul bukan untuk kepentingan rakyat tapi elit pemilik modal yang mendukung. Menjadi alat untuk mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan.
Kemuakan masyarakat terhadap partai politik semakin bertambah-tambah. Rakyat melihat di depan mata mereka, bagaimana para politisi ini lebih disibukkan oleh suap menyuap, uang pelicin, yang istilah kerennya uang gratifikasi. Alih-alih mengurus rakyat, sebagian politisi partai politik malah disibukkan skandal seks yang memalukan. Lagi-lagi logika, wakil rakyat yang dipilih rakyat akan berpihak kepada rakyat runtuh.
Rakyat berdaulat? Dalam demokrasi, suara seorang kiai atau profesor dihitung satu, sama dengan suara seorang preman. Suara seorang yang memilih dengan analisis sama dan suara orang yang dibayar; sama-sama dihitung satu. Setelah proses pencoblosan, suara Anda akan hanya menjadi angka-angka perolehan partai-partai peserta Pemilu. Sekian persen untuk Partai A, sekian persen untuk Partai B dan cuma satu persen untuk Partai Pecundang.
Suara Anda hanya alat bagi mereka untuk tawar-menawar politik dengan partai lain. Bahkan partai yang basis pemilihnya dari kalangan kaum Muslim akan menjual suara mereka kepada partai sekular. Mereka tidak ingat lagi dengan ucapan mereka sendiri, “Jangan golput karena nanti Parlemen akan dikuasai orang-orang sekular.” Sekarang mereka justru menyerahkan suara dan leher kaum Muslim kepada partai sekular. Rakyat pun dilupakan. Bahkan ketika ada rakyat yang menderita di ujung negeri, mereka malah sibuk mencari koalisi, bukan solusi.
Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Konsekuensinya, praktik suap menyuap, manipulasi dan korupsi pun menjadi kanker ganas yang menjadi penyakit bawaan dari sistem cacat ini. Dalam bahasa sehari-hari, kata yang digunakan untuk percobaan mempengaruhi tindakan seseorang melalui insentif uang disebut dengan istilah ‘suap’. Tapi dalam dunia politik demokrasi, kita bersikeras menggunakan istilah-istilah seperti ‘dana’, ‘melobi’ atau ‘pinjaman lunak’.
Uang sebagai panglima inilah yang membuat sistem demorkasi menjadi sistem yang jahat. Disamping penuh dengan suap menyuap baik legal atau tidak, sistem ini juga melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan pemilik modal. Mengurangi bahkan menghapuskan hak rakyat yang diklaim disubsidi oleh negara. Disisi lain privatisasi dan pasar bebas telah menjadi alat bagi negara-negara imperialis asing merampok kekayaan alam kita yang sesungguhnya merupakan milik rakyat.
Menyedihkan lagi, fakta dalam politik ala demokrasi itu paradigma politiknya adalah “tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Siapa menjadi kawan dan siapa menjadi lawan ditentukan oleh ada tidaknya pertemuan kepentingan. Jika kepentingan bisa bertemu maka saat ini menjadi kawan. Sebaliknya jika kepentingan tidak bisa bertemu atau bahkan berhadap-hadapan maka saat itu menjadi lawan satu sama lain.
Memang ada partai politik yang sepertinya kritis. Tapi lebih sering sekedar retorika atau cuap-cuap politik. Bisa disebut tidak ada yang benar-benar ‘full power‘ melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Belum lagi cacat politik partai kritis, yang di saat memerintah, kebijakannya sama saja, sama-sama neo-liberal. Contohnya aset negara juga dijual dengan murah.
Spirit sekularisme dalam demokrasi ini yang juga mendorong munculnya sikap liberalisme di segala bidang: kebebasan berekspresi seperti pelecehan terhadap al Qur’an, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan beragama. Fenomena Ahok adalah cerminan pemimpin yang telah mengabaikan aspek moralitas.
Semestinya umat Islam sudah merasa cukup diperdaya oleh sistem demokrasi dan para pendukungnya. Mendudukkan gubernur muslim ataupun anggota legislatif Muslim ke gedung parlemen tak kunjung juga membuahkan perbaikan yang signifikan. Yang ada malah keterpurukan. Pasalnya, selama ini umat hanya memilih orang Islam, tetapi bukan memilih sistem Islam. Orang Islam yang terpilih malah membawa visi sekularisme-liberalisme.
Satu-satunya perubahan yang harus dilakukan—dan ini adalah perubahan terbaik—adalah melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Hapus pola pikir sekularisme dan liberalisme. Jadikan Islam sebagai satu-satunya spirit dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seluruh kepentingan rakyat harus diatur hanya dengan syariah Islam. Hanya Islam yang memiliki aturan yang lengkap dan paripurna. Islam tidak memiliki tendensi kepada kelompok manapun selain ketaatan kepada Allah SWT.
Mentik Puji Lestari (MHTI Jember)
(*/arrahmah.com)