Oleh: Rima Rismawati
(Arrahmah.com) – Puluhan ribu buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) akan tetap menggelar aksi dalam peringatan hari buruh Internasional atau May Day.
Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, aksi tersebut akan digelar di Gedung DPR RI dan Kantor Menko Perekonomian RI, Jakarta, pada 30 April 2020 mendatang. “Adapun tuntutan yang akan disuarakan dalam aksi nanti adalah tolak omnibus law, stop PHK dan liburkan buruh dengan tetap mendapatkan upah dan THR penuh,” ucap Said Iqbal melalui siaran pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (19/4).
KSPI dan MPBI berharap, aksi May Day dapat diizinkan oleh pihak kepolisian lantaran nasib para buruh kini masih banyak yang tetap bekerja di pabrik-pabrik di saat pandemik Covid-19 yang semakin merebak. Nantinya, para buruh akan tetap menjalankan protokol kesehatan di tengah pandemik Covid-19, yakni dengan tetap menjaga jarak, menggunakan masker, serta menyediakan hand sanitizer. “Aksi buruh 30 April akan kami hentikan bila DPR RI dan Menko Perekonomian menghentikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja selama pandemik corona. Tetapi kalau tidak, maka buruh tetap aksi,” tegas Said.
“Kalau dipersoalkan aksi buruh di tengah Pandemik corona akan membahayakan nyawa buruh, maka jawabannya sederhana. Yaitu liburkan sekarang juga jutaan buruh yang masih bekerja di pabrik di tengah pandemik corona yang mengancam nyawa buruh. Pemerintah harus adil dan jangan standar ganda,” tandasnya. (Rmol.id, 19 April 2020)
Setelah dilakukan pertemuan antara Presiden dengan pimpinan para buruh, keputusan pembahasan RUU Ciptaker pun ditunda. Baik Presiden maupun Ketua DPR, Puan Maharani memberikan pernyataan yang sama. Penundaan pembahasan ini karena adanya situasi pandemi Corona dan sekaligus desakan demo dari para buruh. Untuk itu, Puan menyampaikan perlu adanya jajak pendapat dari berbagai elemen yang bersangkutan. (Republika, 24/4/20)
Penundaan bukan Pembatalan
Setelah penundaan ini para buruh akhirnya bisa bernafas lega. Namun, kelegaan ini mungkin hanya terjadi saat pandemi saja. Jika pandemi ini berakhir, apakah dijamin mereka masih bisa bernafas lega?. Nyatanya kemungkinan besar penundaan yang terjadi akan segera dimulai jika orang yang berada di belakang RUU ini. Ingin segera terlealisir. Sehingga tidak mungkin terjadi pembatalan RUU Cipta kerja.
Para buruh sempat meminta agar Omnibus Law yang akan datang dibuat lagi dari nol. Artinya mereka pun diajak untuk rembuk mengenai undang-undang yang akan menentukan nasib mereka ke depan. Walaupun kesempatan itu sangatlah kecil.
Mengurusi Urusan Kapitalis, bukan Rakyat
Sungguh sangat memperhatikan, kondisi buruh kita, selain terancam dengan virus covid19. Mereka juga terancam dengan nasib pekerjaan mereka, wakil rakyat kita seharusnya membela kepentingan rakyat. Nyatanya apa yang dilakukan DPR Seakan dengan sengaja mereka menindas kaum buruh untuk tetap melaksanakan RUU Cilaka tetap dibahas. Secara tidak langsung menunjukkan DPR lebih mementingkan nasib pengusaha dan investor dibanding kemaslahatan rakyat.
Kita sama-sama ketahui, bahwa isi RUU Omnibus Law ini dinilai sangat menguntungkan pengusaha dengan adanya penghapusan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) menjadi upah per jam. Selain itu dalam RUU ini juga tidak ada aturan mengenai sanksi terhadap perusahaan yang tidak memberikan hak pekerja. Ditambah lagi dihapuskannya pesangon sebagai penggantian masa kerja. Papar Andi Gani Nena, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). (detik, 23/4/20)
Lebih lagi dalam lagi, draf Omnibus Law juga memperbolehkan perusahaan mempekerjakan outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batasan waktu dan jenis pekerjaan. Hal ini dinilai tidak hanya merugikan buruh tapi juga semua pekerja yang ada.
Apalagi pengusaha boleh mempekerjakan karyawan kontrak dan tidak punya tunjangan pensiun, tunjangan kesehatan juga sangat minim. Jelas tidak berpihak pada nasib pekerja.
Selain itu penolakan juga dilakukan pada aturan mengenai tidak adanya pembatasan tenaga kerja asing (TKA) dalam seluruh bidang. Hal ini bisa dipastikan akan merugikan masyarakat Indonesia. Sehingga jumlah lapangan kerja nantinya akan sangat minim. Rakyat jadi gigit jari. Mereka jadi pengangguran bukan karena malas, melainkan karena jatah kerja mereka direbut TKA.
Dan sangat terlihat jelas dari RUU Cilaka ini. Tak sedikitpun menguntungkan rakyat Indonesia. Sehingga kondisi ini Mengundang masalah baru karena protes rakyat justru membuat pemerintah kesulitan membendung dampaknya.
Inilah bukti bahwa masyarakat sudah kehilangan kepercayaannya kepada pemerintah rezim Kapitalisme, karena ini bukan kali pertama rakyat dijadikan tumbal ketamakan penguasa, demi para pengusaha dan investor pemerintah mengorbankan kesejahteraan rakyat bahkan membiarkan rakyat mati karena terkena virus.
Bagaimana sistem Islam dan Khilafah menghasilkan kepatuhan rakyat terhadap aturan dan kepercayaan terhadap Ulil Amri
“Maka sudah terkonfirmasi bahwa misi Cipta Kerja ini sesungguhnya bukan untuk pekerja, tetapi pengusaha.” Kuatnya belenggu pengusaha terhadap penguasa menjadikan berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah tunduk pada mereka. Undang-undang yang diusulkan pemerintah atau DPR maupun pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah tak sedikit yang yang berpihak pada kepentingan pengusaha dan konglomerat.
Rakyat yang seharusnya mempercayai dan mentaati pemimpin tidak berlaku dalam sistem kapitalisme, karena kepercayaan rakyat seringkali di khianati oleh rezim zalim ini. Sangat berbeda dengan sistem Islam, dimana pemimpin menjadi pengatur kemaslahatan umat dengan menjalankan syariat Allah yang telah dituangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Islam Rahmatan Lil Alamin, jadi ketika Islam dijadikan sistem dalam kehidupan. Maka dampaknya akan sangat terasa. Kita akan memiliki pemimpin yang adil, jujur, amanah, dan bisa serta mampu menjalankan pemerintahan sesuai dengan manhaj kenabian.
Dalam mengambil setiap kebijakan, sistem Islam memastikan agar rakyat memperoleh kesejahteraan yang menjadi haknya. Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid berkata: “Para pemimpin yang mengingkari syariat Allah, tidak mau berhukum dengan hukum Allah serta berhukum dengan selain hukum Allah, maka ketaatan kaum muslimin kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan). Dimana atas dasar tujuan tersebut ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh ditentang.”
Pemimpin memang berhak mendapatkan itu semua jika mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir yang menolak Islam.
Wallahu alam bi shawab…
(Tulisan dikirim kepada redaksi melalui email: [email protected])
(*/arrahmah.com)