Penulis: Ummu Alifah
(Emak Ideologis)
Pilu rasanya emak, membayangkan perasaan seorang ibu yang berlari kesana-kemari sambil menggendong balitanya yang mulai dingin dan tiada bernafas lagi. Dalam suasana cemas, kalut, menerobos lautan penonton yang sama kalutnya mendapati tembakan gas air mata yang membuat mata panas tebakar dan sangat pedih. Sedih sekali emak ketika menyimak penuturan pilu seorang ayah di dalam video YouTube. Ia mengisahkan anak gadisnya yang baru lulus kuliah termasuk ke-134 lainnya yang meregang nyawa dalam tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Lebih ngenes lagi emak, ketika mendengar kabar jalan terjal berliku mesti dilalui para keluarga korban untuk mendapatkan keadilan.
Bagaimana tidak ngenes, jika satu dari enam tersangka tragedi mengerikan itu, yakni bos operator kompetisi sepak bola nasional Liga 1 2022 Akhmad Hadian Lukita, kini telah resmi menghirup udara bebas sebelum didudukkan di meja hijau. Dengan dalih tak kunjung lengkapnya berkas yang diajukan pada jaksa, sementara masa penahanan di Polda Jatim sudah berakhir (CNN Indonesia, 24/12/2022).
Emak rasa tak berlebihan kalau para keluarga korban meminta keadilan kepada Presiden. Mereka berharap pemerintah mengeluarkan Perppu untuk membentuk tim penyidik di luar Polri yang independen. Gak cukup sampai di situ, gugatan perdata pun dilayangkan kepada Presiden, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), dan beberapa pihak lainnya (BBC Indonesia, 23/12/2022). Emak paham, mereka melakukan itu semua tentu dalam rangka menuntut pertanggungjawaban atas tragedi yang sudah mencederai sampai menghilangkan nyawa orang-orang terkasih mereka.
Tapi apa yang terjadi? Tak lama berselang, dua tersangka lainnya pun justru bersiap menyusun strategi untuk mendapat pembebasan juga. Tim kuasa hukumnya berujar bahwa mereka optimis bakal berhasil. Ya ampun, emak makin mengelus dada. Kalau satu demi satu tersangka lepas dari jerat hukuman, kemana kiranya rakyat kecil akan mengadu, menuntut keadilan dan pertanggungjawaban?
Kenyang dengan Ketidakadilan?
Emak dan semua penghuni negeri ini sesungguhnya sudah kenyang dengan ketidak-adilan yang terpampang di depan mata. Pisau hukum kalau menyentuh mereka yang berkantong tebal dan dekat dengan kekuasaan terlihat demikian tumpulnya. Nurani pun seolah menguap tak bersisa di hati tuan-tuan aparat hukum dalam menangani kasus yang menghilangkan banyaknya nyawa rakyat ini. Berharap langkah gercep dilakukan aparat dan penguasa menyelesaikan kasus yang menyeret orang-orang gede, ibarat menanak nasi tapi lupa di-ceklekin tombol on Ricecooker-nya. Berbulan lamanya, berkas dinyatakan tak juga lengkap oleh pihak kejaksaan, hingga dijadikan dalih untuk membebaskan seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang wajib bertanggung jawab. Kemana gerangan profesionalisme yang sudah semestinya ada di dalam diri para aparatur negara? Duh, Mak.
Sebelumnya jalan terjal berliku pun harus dilalui untuk bisa mengadukan kepedihan yang mereka alami ke hadapan Kapolri. Dari video YouTube (CNN Indonesia, 18/10/2022) yang emak simak, mereka mengungkapkan bahwa sempat dicegah dan dihalang-halangi oleh pihak-pihak yang mengaku dari kepolisian daerah dan Kodim setempat yang tak berseragam. Ketika mereka hendak berangkat ke ibu kota demi menagih janji Pak Presiden yang pernah berkata kalau kasus ini -katanya- harus diusut tuntas. Saat itu harapan sempat tumbuh di hati rakyat. Dalam waktu tidak lebih dari 10 hari sesudah pembentukannya, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyampaikan hasil temuan dan rekomendasinya terkait pihak-pihak mana saja yang wajib bertanggung jawab. Tapi, ibarat bunga yang layu sebelum berkembang, di penghujung Desember, rakyat kembali menelan pil pahit kekecewaan, dengan diputihkannya satu tersangka, bahkan tak menutup kemungkinan menyusul yang lainnya. Ikut nyesek rasanya dada emak.
Tapi, mau gimana lagi, perasaan nyesek karena sering di-PHP-in oleh oknum aparat negara ini sebenarnya cuma buah. Buah pahit yang suka atau tidak suka, mesti ditelan oleh rakyat di negara yang menganut sistem Kapitalisme sekuler ini. Kapitalisme itu pandangan hidup yang tujuannya terus mengejar duit, harta dan materi lainnya. Di sistem ini siapa yang berduit dan dekat bahkan ada di lingkaran kekuasaan seolah mendapat kekebalan hukum. Licin sekali mereka tersentuh hukum, hingga kerap sulit sampai tuntas kasusnya. Hukum pun tampak demikian rapuh dan lemahnya, sampai-sampai orang yang sudah jelas-jelas sudah melewati masa penyelidikan hingga penyidikan, bisa dilepas kembali tanpa diadili di pengadilan.
Di sistem kapitalis sekuler pula, kita bisa melihat betapa penguasa dan aparat kekuasaan itu seolah tipis rasa takutnya ketika tidak amanah dari tugas yang diembannya. Apa mereka mengira aturan Sang Maha Kuasa itu hanya menyentuh urusan shalat mereka, zakat sedekahnya, pergi hajinya, dan semua yang berbau ibadah mahdhah saja? Dikiranya Allah tak mengutus Malaikat Raqib Atid buat mengawasi dan mencatat atas perbuatan lalai dan zalimnya mereka dalam mengurus urusan rakyat. Mereka pikir satu nyawa melayang dan luput dari mendapat keadilan di dunia, tak akan dihisab di akhirat nanti. Terlebih untuk kasus yang menghilangkan hingga 135 nyawa! Semua ini karena pondasi pemikirannya bersifat sekuler alias menjauhkan agama dari kehidupan dan pengurusan bernegara.
Beda, Mak, dengan Islam
Sungguh sangat berbeda dengan penegakan hukum dalam sistem Islam. Pondasi akidah Islam akan mendorong para aparat negara untuk bertindak segera, tidak lamban ketika berhubungan dengan menjalankan amanahnya. Mereka sangat paham bahwa setiap amanah itu akan dipertagungjawabkan satu demi satu di hadapan Allah Sang Pemilik jagat raya. Walhasil proses penyelidikan, penyidikan, diajukan ke meja hijau, hingga dijatuhi sanksi itu tidak akan memakan waktu lama. Profesionalitas pun sangat dijunjung tinggi dengan motivasi ruhiyah yang menggebu inginkan teraihnya ridha Illahi. Siapa yang tidak bersalah akan bebas, sementara siapa yang bersalah akan diadili dan diberi sanksi dengan adil. Masya Allah, berkaca kedua mata emak ngebayangin indahnya hidup kalau sistem hukum dan peradilan Islam sudah diterapkan.
Islam juga berpandangan bahwa urusan nyawa itu bukan main-main. Siapapun wajib menghormati nyawa dirinya dan orang lain di sekitarnya. Tak melihat itu muslim atau non-muslim. Negara akan lebih dahulu memberi teladan pada rakyatnya. Dengan mengaplikasikannya ketika mengurus rakyat dan menegakkan sistem hukum dan peradilan. Duh, rindunya hati emak pada sosok-sosok pemimpin yang welas asih dan perhatian pada rakyat dengan menegakkan sistem Islam.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 32, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Jadi, jangankan 135 nyawa rakyat, 1 nyawa saja ketika melayang disebabkan pembunuhan atau meninggal karena kelalaian pihak tertentu, pasti akan mendapatkan keadilan. Islam dalam hal ini memberlakukan hukum qishash atasnya. Penguasalah yang menegakkannya.
“Dalam hukum qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 179)
Dengannya, keadilan hakiki yang disiapkan oleh Zat Penguasa semesta akan bisa diraih. Tak akan ada lagi urusan nyawa yang seolah dipermainkan, hukum juga tidak akan tumpul ke atas, tajam ke bawah, dst. kayak yang biasa terjadi di alam Kapitalisme sekuler. Semua sama di Mata Sang Pencipta, hanya ketakwaannyalah yang membedakan.
Bayangan keindahan hidup di bawah pengurusan penguasa yang memberlakukan sistem Islam sudah di pelupuk mata. Allah Swt. pun sudah ngasih jaminan kepada seluruh bani insan yang mau taat dan menerapkan semua aturan-Nya bakal dikasih keberkahan, keamanan, keadilan yang hakiki. Tapi tentu saja itu semua gak bisa ujug-ujug turun dari langit. Allah hendak Melihat siapa saja hamba-Nya yang mau bersungguh-sungguh memperjuangkannya dalam rangka meraih rihda dan rahmat-Nya.
Maka, para emak, sebagai bagian dari komponen umat yang merindukan kehidupan yang dipenuhi keamanan, keadilan, dan rahmat kudu banget mau peduli dengan persoalan ini. Dengan turut memperjuangkan tegaknya syariat Islam yang menyeluruh. Sebagaimana yang dahulu Rasulullah beserta sahabat sahabiyah contohkan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.