(Arrahmah.com) – Ironi kembali terjadi di bumi pertiwi. Seorang ibu di Makassar, bernama Ervina dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah mengalami keterlambatan penanganan dari RS saat mengurusi proses operasi kehamilannya.
Keterlambatan dikarenakan wanita tersebut diharuskan menjalani serangkaian test covid 19 oleh rumah sakit, sementara tidak ada yang mampu menanggung pembiayaannya. Akhirnya, Ervina dioper tiga rumah sakit, hingga pada rumah sakit yang ketiga hasil pemeriksaan dokter menyatakan nyawa bayi yang dikandungnya tak lagi bisa diselamatkan.
Menanggapi kejadian tersebut, Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi ‘komersialisasi’ tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.
“Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus dalam wawancara dengan bbcindonesia.com.
Senada dengan pernyataan di atas, Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut.
Peristiwa meninggalnya bayi dalam kandungan pada kasus di atas membawa goresan luka yang dalam terkait buruknya pelayanan kesehatan. Situasi pandemi yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dalam memaksimalkan pelayanannya, nyatanya kembali dipergunakan sebagai ajang mencari keuntungan. Hal ini tampak dari pernyataan ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) yang membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan “aji untung” dalam biaya tes rapid dan swab.
Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan “mahalnya” tes virus corona disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes.
Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut.
“Harga list alatnya yang bisa dibeli ada di BNPB, bisa dilihat harganya. Ada cost membeli alat dan perlengkapannya, lalu tenaga kesehatan yang mengambil tes, tenaga lab, lalu biaya dokter. Masa tenaga kesehatannya tidak dibayar? Lalu ditambah pemeriksaan rontgen. Jadi price-nya berbeda-beda,” kata Susi.
“Kecuali kalau dikasih semua [alatnya], monggo kalau kita dikasih enak banget,” lanjutnya.
Namun, menurutnya, hal tersebut tidak mungkin terjadi. Bahkan beliau menambahkan, pemerintah akan bangkrut jika menggratiskan semua alat dan pemeriksaan covid 19.
Pernyataan tersebut semakin memperjelas posisi pemerintah terhadap rakyatnya. Alih alih berdiri tegak sebagai penanggung jawab bagi keselamatan rakyat, pemerintah masih saja memperlakukan masyarakat sebagai konsumen yang harus mengeluarkan uang ketika menikmati pelayanan.
Inilah ciri khas periayahan negara berbasis kapitalisme liberal yang menjadikan negara sebagai korporasi kekuasaan. Standar kapitalis telah menempatkan negara hanya sebagai regulator, bukan sebagai penanggung jawab (raa’in) bagi rakyat. Maka wajar jika ditengah kondisi pelik pandemi kali ini, upaya serius dari pemerintah dalam hal pelayanan kesehatan yang mudah serta murah seperti menantikan rembulan di tengah siang.
Berbeda halnya dengan Islam yang memiliki aturan sempurna bagi kehidupan. Islam menetapkan kebutuhan atas pangan, papan, dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap inidividu rakyat. Islam juga menetapkan keamanan, pendidikan, dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh masyarakat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa ketersediaan kebutuhan-kebutuhan ini seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Ini sebagai kiasan dari betapa pentingnya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi setiap individu. Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
“Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia” (HR at-Tirmidzi).
Untuk itu dalam ketentuan Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan, dan sandang untuk tiap-tiap individu rakyat. Negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal itu merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya.
Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat.
Oleh: Ummu Azka
(ameera/arrahmah.com)