Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) membeberkan tentang potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp300 triliun di sektor kelapa sawit. Potensi hilangnya penerimaan negara itu sebelumnya diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo. Kebocoran pajak yang telah diungkapkan Hashim berasal dari audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sementara menurut Jodi Mahardi sebagai Juru Bicara Menko Marves empat sumber kebocoran pajak berasal dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran kewajiban plasma, sawit dalam hutan, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. (cnbnindonesia.com, 10 Oktober 2024)
Menindaklanjuti temuan tersebut, saat ini Kejagung tengah menyelidiki terkait kasus korupsi tata kelola sawit 2005-2024 dengan melakukan penggeledahan di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 3 Oktober 2024. Dalam perkara itu ada dugaan penguasaan kawasan hutan secara melawan hukum untuk perkebunan kelapa sawit. Tindakan penyerobotan telah menyebabkan kerugian keuangan dan ekonomi negara. Meski demikian, Kejagung belum menetapkan tersangka dan masih dalam tahap penyelidikan. (cnbcindonesia.com, 12 Oktober 2024)
Pajak, Pemasukan Utama Negara Kapitalis
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pajak dalam sistem kapitalisme merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara. Hal ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Negeri yang menganut sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan utama kas negara. Tak heran negara dengan gigihnya mendorong rakyat untuk membayar pajak.
Pemerintah mengklaim bahwa pajak yang diambil dari rakyat digunakan oleh negara untuk membiayai berbagai keperluan publik dan operasional negara. Pembangunan infrastruktur jalan raya, jembatan, rumah sakit, dan lainnya; pembiayaan dan pendanaan berbagai program pendidikan dan layanan kesehatan; membiayai pembiayaan anggaran militer, kepolisian, dan penegak hukum untuk menjaga keamanan dan kestabilan negara; adalah beberapa hal yang dibiayai dari hasil pembayaran pajak. Namun klaim pemerintah tersebut berbanding terbalik dengan fakta yang dirasakan masyarakat, justru pajak yang dibebankan tidak sampai seluruh peruntukkannya untuk kemaslahatan rakyat secara adil dan merata.
Jika negara terus mendorong rakyat untuk taat bayar pajak, negara justru kecolongan dengan pajak-pajak yang seharusnya dibayar oleh perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang macet dalam membayar pajak, hal tersebut disebabakan adanya praktik penghindaran pajak (Tax Avoidance), praktik penggelapan pajak, di mana tindakan ini merupakan bentuk kesengajaan perusahaan untuk menyembunyikan penghasilan atau memperkecil nilai pajak yang harus dibayar. Cara perusahaan agar terhidar dari bengkaknya pajak, dengan tidak melaporkan seluruh penghasilan dan memalsukan laporan keuangan atau dokumen transaksi.
Semua kondisi tersebut diakibatkan lemahnya sistem pengawasan dari negara terhadap kewajiban pembayar pajak terutama pada perusahaan. Pembiaran yang dilakukan negara terhadap perusahaan-perusahaan yang nakal dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak, terkadang disebabkan adanya kelonggaran kepada perusahaan terutama yang besar dan strategis sebagai bagian dari negosiasi. Hal ini bisa berupa penundaan pembayaran, pengurangan utang pajak, atau insentif lainnya untuk mendukung investasi atau lapangan pekerjaan. Kondisi ini memperlihatkan bukti bahwa negara memberi keistimewaan pada pengusaha.
Kecenderungan negara pada penguasa sejatinya menggambarkan kebijakan yang berat sebelah alias tidak adil. Sikap lunak yang ditunjukkan negara berbading terbalik dengan sikapnya pada rakyat. Pajak yang dibebankan pada rakyat semakin beragam jenis, besaran, dan banyaknya, antara lain pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak kendaraan bermotor, dan sebagainya, yang terus mengalami kenaikan.
Slogan “Oang bijak taat bayar pajak” sekadar seruan yang dijejali untuk rakyat bukan pengusaha. Saat rakyat belum melakukan kewajiban pajak kendaraan bermotor misalnya, panggilan atau imbauan melalui email atau pesan singkat terus berdatangan. Rasanya rakyat terus dikejar-kejar dan dicekik berbagai pajak dari segala sudut. Berbeda ketika kewajiban pajak belum ditunaikan pengusaha, negara seakan membiarkan. Buktinya perusahaan kelapa sawit yang bertahun-tahun belum membayar pajak saat ini baru terungkap. Hal ini membuktikan adanya penerapan pajak yang berbeda antara perusahaan dan individu yang jelas-jelas telah menzalimi rakyat.
Pajak Dalam Pandangan Islam
Islam adalah agama sempurna yang hadir untuk mengatur manusia, alam semesta, dan kehidupan, agar berjalan sesuai fitrahnya. Dalam pandangan Islam, negara mempunyai peran penting yang telah ditetapkan syariat, yakni sebagai raa’in (pengurus) yang bertanggung jawab mengurus seluruh hajat hidup publik dan junnah (pelindung) yang bertanggung jawab membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan. Rasulullah saw bersabda: “Imam atau khalifah adalah rain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. ahmad dan Bukhari).
Berdasarkan pandangan Islam terkait kepemimpinan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat, maka tugas imam atau khalifah mengurusi seluruh urusan rakyatnya dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. Setiap kebijakan yang dikeluarkan negara diperuntukkan kepentingan masyarakat luas, demi terwujudnya kesejahteraan, keamanan, dan keadilan. Sebagai bentuk mewujudkan kemaslahatan umat, salah satunya negara akan membangun fasilitas yang dibutuhkan rakyat.
Dalam Islam, pendapatan negara berasal dari beberapa sumber yang diatur dalam syariat. Sumber-sumber ini bertujuan untuk mendukung keadilan sosial, kesejahteraan umat, serta memajukan pelayanan dan fasilitas umum. Berikut adalah sumber pendapatan negara dan pendistribusian, pertama, zakat yang akan disalurkan kepada delapan asnaf yang berhak menerimanya, yakni fakir, miskin, amil zakat, muallaf, orang yang terlilit hutang, budak, orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil). Kedua, jizyah (pajak) yang diambil dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam sebagai imbalan perlindungan dan kebebasan menjalankan kehidupan mereka, ketiga, kharaj (pajak) yang diambil dari tanah yang ditaklukkan oleh kaum muslim dan dikelola penduduk setempat. Kharaj digunakan untuk keperluan umum negara, seperti pembangunan infrastruktur, pengadaan pelayanan publik, dan mendukung kesejahteraan masyarakat. Keempat, fai harta yang diperoleh tanpa pertempuran, seperti dari hasil perjanjian damai atau pengembalian harta yang sebelumnya dimiliki umat Islam. Kelima, harta kepemilikan umum yang dikelola langsung oleh negara.
Sumber-sumber pendapatan negara tersebut tentu saja digunakan untuk membangun sarana pendukung masyarakat dalam beraktivitas. Baik harta kepemilikan umum yang bersumber dari kekayaan alam berupa migas, batu bara, hutan, sungai, dan sejenisnya, maupun sumber lainnya yang telah dijelaskan di atas. Maka negara dalam Islam akan mengelolanya secara mandiri dan hasilnya dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat.
Negara tidak akan membebani rakyat dengan pajak, sebab sistem ekonomi Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Pajak hanya akan dipungut saat kondisi darurat. Pajak tersebut hanya dikenakan pada muslim yang kaya dan waktunya bersifat sementara. Sungguh, hanya sistem Islam yang mampu mensejahterakan rakyat tanpa memandang apakah rakyat biasa atau pengusaha. Semua warga negara yang berada dalam naungan Daulah Islam tak akan dibebankan dengan kewajiban pajak seperti saat ini.
Wallahua’lam bish shawab