KABUL (Arrahmah.com) – Sinar matahari menerobos celah-celah kain berwarna-warni, menerangi wajah Miya Gul dengan cahaya warna merah dan kuning. Dia duduk di lantai tenda di permukiman untuk orang-orang terlantar di Kabul.
Selama 14 tahun terakhir, pria berusia 37 tahun dan keluarganya menyebut tempat itu sebagai rumah.
Miya Gul telah mengamati aktivitas masyarakat selama puasa dari matahari terbit hingga terbenam sejak Ramadhan dimulai pada 24 April. Namun tahun ini, puasa telah kehilangan makna seperti biasanya.
Bagi Miya Gul, istrinya Soyra dan keenam anaknya, puasa adalah kata lain dari kelaparan.
“Ramadhan ini adalah yang tersulit yang pernah kami alami. Jika kami tidak menemukan makanan, kami berpuasa sepanjang waktu,” kata Miya Gul, sebagaimana dilansir Al Jazeera pada Jumat (8/5/2020).
“Kami membeli satu kentang seharga 10 afghani [$ 0,13]. Orang yang memiliki uang dapat membeli satu kilo. Dan kami hanya mampu membeli satu kentang per hari,” terangnya.
Sejak awal wabah coronavirus, Afghanistan berada di ambang kehancuran ekonomi. Lockdown dan karantina yang diberlakukan negara telah memaksa banyak bisnis untuk tutup.
Menurut data oleh Biruni Institute, sebuah think-tank ekonomi lokal, sebagai akibat dari pandemi, enam juta orang telah kehilangan pekerjaan di sebuah negara, di mana 80 persen orang hidup di bawah garis kemiskinan.
Prospeknya suram. Dengan donor utama yang fokus memerangi virus di dalam negeri, ekonomi sumber daya rendah seperti Afghanistan tidak banyak mendapat dukungan dari luar.
Bulan lalu, Amerika Serikat mengurangi dana untuk Afghanistan sebesar 1 miliar USD setelah para pemimpin utama negara itu secara terbuka menentang pembentukan pemerintah setelah pemilihan presiden yang diperebutkan pada September 2019.
Krisis paling parah dirasakan oleh keluarga miskin, seperti Miya Gul. Bagi mereka yang mengandalkan pekerjaan sehari-hari untuk bertahan hidup, lockdown berarti tidak ada penghasilan.
Sebelum pandemi, Miya Gul dulu bekerja di pasar lokal membantu pedagang mengangkut dagangan mereka.
Sekarang, karena krisis telah mempengaruhi semua orang, hanya sedikit orang yang membutuhkan jasanya.
“Tahun lalu, penghasilan saya sekitar 300 afghani [$ 3,70] sehari. Sekarang tidak ada pekerjaan, dan jika ada, saya mendapat sekitar 50 afghani [$ 0,66],” kata Miya Gul.
“Kita harus mengirim anak-anak kita untuk bekerja di jalan-jalan. Kami membeli makanan dengan uang berapa pun yang mereka hasilkan. Putri kami Nodira kadang-kadang mendapat kentang atau tomat di pasar. Dia berusia tujuh tahun,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)