AMMAN (Arrahmah.id) Raja Yordania Abdullah II mengatakan siap menghadapi konflik jika status quo tempat-tempat suci di Yerusalem Timur yang diduduki berubah, memperingatkan bahwa ada “garis merah” yang tidak boleh dilanggar.
“Jika orang ingin berkonflik dengan kami, kami cukup siap,” kata penguasa Yordania tersebut kepada CNN dalam wawancara eksklusif awal bulan ini, yang disiarkan pada Rabu (28/12/2022).
Wawancara diadakan di Tepi Timur Sungai Yordan di mana diyakini Yesus telah dibaptis. Lokasi itu secara simbolis penting ketika raja berbicara tentang kehadiran Kristen kuno di Yordania dan Yerusalem, dan kesulitan yang mereka hadapi karena kebijakan “Israel”.
“Saya selalu percaya bahwa, mari kita lihat gelasnya setengah penuh, tetapi kita memiliki garis merah tertentu… Dan jika orang ingin mendorong garis merah itu, maka kita akan menghadapinya.”
Raja mengungkapkan keprihatinan negaranya bahwa ada orang-orang di “Israel” yang mencoba mendorong perubahan dalam perwalian Yordania atas tempat-tempat suci Kristen dan Muslim di Yerusalem Timur, yang direbut “Israel” pada 1967, bersama dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Yordania adalah penjaga kompleks Al-Aqsa, rumah bagi situs tersuci ketiga Islam.
“Kami adalah penjaga situs suci Kristen dan Muslim di Yerusalem; kekhawatiran saya adalah bahwa ada tantangan yang dihadapi gereja-gereja dari kebijakan di lapangan. Jika kami terus menggunakan Yerusalem sebagai kotak sabun untuk politik, semuanya bisa jadi di luar kendali dengan sangat cepat,” sang raja memperingatkan.
Hubungan raja dengan petahana Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu telah tegang selama bertahun-tahun, bahkan sejak pemerintahan yang terakhir, dan akan memburuk karena masalah tempat suci Yerusalem dan masalah lainnya.
Kabinet baru “Israel” yang dilantik kemarin (29/12) diyakini sebagai pemerintahan sayap kanan “Israel” yang paling keras. Tokoh kontroversial seperti Itamar Ben-Gvir yang akan menjadi Menteri Keamanan Nasional diperkirakan akan menjadi tantangan bagi hubungan Yordania yang sudah tidak stabil dengan “Israel”, yang terjalin hampir dua dekade lalu.
Menyinggung ketegangan yang meningkat di wilayah Palestina yang diduduki – yang menjadikan 2022 sebagai salah satu tahun paling mematikan bagi warga Palestina – Raja Abdullah juga memperingatkan bahwa setiap intifada ketiga Palestina – atau pemberontakan – akan menyebabkan pelanggaran hukum sepenuhnya.
“Kita harus khawatir tentang intifada berikutnya,” katanya, “dan jika itu terjadi, itu adalah sebuah pelanggaran hukum dan ketertiban yang tidak akan menguntungkan siapapun baik “Israel” maupun Palestina.”
“Saya pikir ada banyak perhatian dari kita semua tentang kawasan ini, termasuk di “Israel” yang berada di pihak kita dalam masalah ini, untuk memastikan hal itu tidak terjadi,” tambahnya.
Otoritas “Israel” telah membunuh lebih dari 125 warga Palestina tahun ini di Tepi Barat dalam penggerebekan. Setidaknya 26 orang “Israel” juga telah tewas dalam serangan, baik di wilayah “Israel” sendiri ataupun wilayah Palestina. (zarahamala/arrahmah.id)