Oleh: USTADZ IRFAN S. AWWAS
(Arrahmah.com) – Dalam literatur Kitab Suci Al-Qur’an, ungkapan The King of Lip Service dapat ditemukan padanannya dalam bahasa Al-Qur’an, taqulu ma la taf’alun. Maksudnya, mengatakan sesuatu yang tidak dilaksanakan. Seperti termaktub dalam Al-Qur’anul Karim.
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Sungguh amat besar murka Allah terhadap kalian karena tidak melakukan perbuatan baik yang telah kalian katakan itu.” (QS. Ash-Shaff (61: 3)
Pada ayat ini, Allah Swt peringatkan, betapa besar dosa orang yang mengatakan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Hal ini berlaku, baik dalam pandangan agama maupun dalam persepsi masyarakat.
Dalam bahasa kiasan, lip service, sering juga dimaknai bagai lidah tak bertulang, pemanis tebu di bibir. Atau, NATO (No Action Talk Only) yang artinya tidak bekerja, hanya ngomong doang. Kerja, kerja, kerja
Menepati janji merupakan konsekuensi iman yang benar dan akhlak yang mulia. Sebaliknya, perbuatan menyalahi janji merupakan tanda munafik serta tingkah laku yang jelek. Bila hal ini dilakukan oleh pemimpin maupun pejabat negara, akan menimbulkan sikap yang tidak berperikemanusiaan, memecah belah bangsa, bikin gaduh, saling mencurigai dan dendam di tengah masyarakat.
Oleh karena itulah, agama Islam sangat mencela orang yang suka berdusta dan menyalahi janjinya. Berharap supaya rakyat Indonesia tidak terpapar sifat tercela ini, alangkah baiknya jika menepati janji, berkata benar dan jujur dijadikan tujuan pendidikan nasional. Diajarkan dan dicontohkan pada peserta didik di sekolah, kampus, terutama instansi pemerintah.
Maha Benar Allah Swt dengan firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai kaum mukmin, taatlah kalian kepada Allah dan jadilah kalian golongan yang jujur.” (QS At-Taubah (9) : 119)
Ada tiga poin penting dalam ayat ini, yakni perintah taqwa, agar sungguh-sungguh berupaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Bersikap jujur dan berkoalisi dengan orang-orang yang jujur, baik dalam ucapan, perilaku dan perbuatannya.
Keberanian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), yang diketuai Leon Alvinda Putra, mengkritik Presiden Joko Widodo yang kerap kali mengobral janji tapi minim ditepati, sangatlah aspiratif.
Di era reformasi, mungkin baru kali ini Presiden RI dijuluki sebagai Raja Bohong oleh rakyatnya sendiri. Akan tetapi, yakinlah julukan ini, tentu tidak dimaksudkan sebagai hinaan apalagi fitnah, melainkan aspirasi jujur nan cerdas. Sebagai mahasiswa, calon pemimpin masa depan, mereka berani berterus terang dengan kebenaran faktual.
Munculnya julukan The King of Lip Service, tentu saja bukan tanpa sebab. Ada keresahan di masyarakat, bahkan sampai ketingkat memuakkan menyaksikan prilaku politik kebohongan, mulai dari presiden, menteri, polri, TNI, tokoh agama, politisi.
Akhiri Politik Kebohongan
Presiden Joko Widodo pernah mengajak elite politik agar tidak larut dalam politik kebohongan dan digantikan dengan politik pembangunan.
“Kita harus akhiri politik kebohongan, politik yang merasa benar sendiri dan mari kita perkuat politik pembangunan, politik kerja, politik berkarya. Pembangunan bangsa untuk menghadirkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pembangunan SDM bangsa yang unggul, yang siap bersaing di era Revolusi Industri 4.0. Sehingga kemajuan Indonesia, kejayaan Indonesia betul-betul dapat terwujud,” kata Jokowi di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Akan tetapi, ajakan ini bisa dengan mudah dikonfirmasi, bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Kebohongan itu adalah orang yang membuat janji-janji kemudian janji itu tidak ditepati. Itu namanya politik kebohongan. Terdapat indikasi kuat, mengapa anak panah julukan Raja Bohong yang dilontarkan BEM UI mengarah pada sosok Presiden Joko Widodo.
Pertama, sikap Jokowi sendiri yang kerap mengobral janji tapi minim ditepati. Jokowi pernah berjanji tidak akan bagi-bagi kekuasaan, buktinya mulai dari anggota kabinet sampai komisaris BUMN diisi tim suksesnya. Dalam politik, bagi-bagi kekuasaan hal yang lumrah, tetapi harus dengan kriteria konstitusional agar tidak menimbulkan kecemburuan dan diskriminasi.
Selain itu Jokowi juga dikenal bengis dan sadis, suka mengancam untuk menghabisi kriminal dan lawan politiknya. Sebuah video viral Jokowi meminta aparat penegak hukum bersikap dan bertindak tegas.
“Saya tegaskan sekali lagi pada seluruh kapolda, kapolres, kapolsek semua jajaran, kejar mereka! Tangkap mereka! Hajar mereka! Hantam mereka! Dor mereka, kalau UU memperbolehkan,” ujar Jokowi saat memberikan sambutan pada Peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional (HANI) Ahad 26 Juni 2016, di Lapangan Cengkeh, kawasan Kota Tua, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.
Boleh jadi ucapan ini menimbulkan multi tafsir terkait konteks peristiwanya. Akan tetapi masyarakat luas, menghubungkannya dengan prilaku biadab sejumlah oknum polisi, yang menembak mati 6 orang pengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, Senin 7 Desember 2020, di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50 sekitar pukul 00.30, Karawang, Jawa Barat.
Tragisnya, Badan Reserse Kriminal Polri resmi menghentikan penyidikan kasus penembakan tersebut. Alasan penghentian kasus ini, sungguh melecehkan akal sehat, yaitu mengacu pada Pasal 109 KUHAP karena tersangka sudah meninggal dunia. Korban penembakan di jadikan tersangka, sementara pelaku penembakan dilindungi.
“Kasus penyerangan di Tol Jakarta – Cikampek dihentikan. Dengan begitu, penyidikan serta status tersangka sudah gugur,” ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono melalui keterangan tertulis pada Kamis, 4 Maret 2021.
Masyarakat juga menganggap pemerintah bertindak zalim terhadap ulama, Dr. Habib Muhammad Rizieq Shihab, yang divonis 4 tahun penjara. Habib Rizieq dinyatakan bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi hingga menimbulkan keonaran.
“Mengadili, menyatakan Terdakwa Muhammad Rizieq Shihab terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta menyebarkan berita bohong dengan sengaja mengakibatkan keonaran,” ujar hakim ketua Khadwanto saat membacakan surat putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis 24 Juni 2021.
Vonis penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepada Habib Rizieq Shihab serta menantunya Hanif Alatas dan Dirut RS UMMI Andi Tatat sangat kental intervensi politis. Sebabnya, banyak pihak yang melakukan “pelanggaran” yang sama, tidak satu pun yang dipidana, juga tidak ada sanksi apa pun. Kenyataan ini, menginspirasi lirik lagu berjudul Astaghfirullah yang videonya beredar luas di medsos. “Rakyat dibohongi, janji diingkari, ulama dizalimi, amanat dikhianati.”
Dalam kaitan ini, banyak juga yang menyesalkan sikap Menkopolhukam Mahfud MD yang diam-diam membiarkan kerumunan Presiden Jokowi, Gubernur Jatim Khafifah Indarparawansa, namun memenjarakan Habib Rizieq Syihab dengan alasan melanggar protol kesehatan. Sebagai ahli hukum, Mahfud MD patut dituntut bertanggungjawab secara moral.
Kedua, nasib Indonesia kini dan nanti semakin mengkhawatirkan sekaligus meresahkan. Di bawah rezim Jokowi, Indonesia dilanda keterpurukan multidimensi. Kemiskinan meningkat, korupsi dan KKN merajalela, utang luar negeri pemerintah tembus Rp 6.500 T per April 2021, sehingga mendapat peringatan dari BPK. Kurikulum Pendidikan Nasional diacak-acak, upaya pembelokan sejarah bangsa yang cenderung ke arah komunisme, masuknya TKA China yang kian tak terbendung, distorsi Pancasila serta dasar negara Ketuhanan YME.
Dengan semua ini, maka wajar rakyat Indonesia khawatir dan memandang Jokowi sebagai presiden gagal. Seruan untuk revolusi 2021 pun mulai terdengar. Tapi buzzer istana menyebarkan propaganda bohong yang menyesatkan. Secara membabi buta mereka memuji segala hal yang berkaitan dengan sosok Jokowi. Bahwa Jokowi adalah wakil tuhan, yang memiliki sifat-sifat kenabian. Jokowi digambarkan seperti Umar bin Khathab dalam hal kepedulian sosial. Akibatnya, masyarakat semakin muak, karena menyaksikan hal yang jauh berbeda dengan gambaran ilusi tersebut.
Fadjroel Rahman, misalnya, membesar-besarkan hal kecil dengan menyebut Jokowi masuk daftar tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia. “Situs The Muslim 500 untuk edisi 2021 atau The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims 2021 telah memublikasikan Presiden Joko Widodo berada di urutan ke-12 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia,” kata Juru bicara Presiden, melalui keterangan tertulis, Rabu 16 Desember 2020. Padahal tidak ada satu prestasi apapun yang nampak pada diri Jokowi yang bisa membuat publik nasional, apalagi internasional, percaya atas klaim tersebut.
Adalah Yusuf Mansur, yang popular dengan dakwah keajaiban sedekah itu, menyanjung Jokowi setinggi nafsu. Bahwa Jokowi merupakan pribadi yang pantas dijadikan teladan dalam kepemimpinan karena telah terbukti berhasil menjalankan pemerintahannya. Di samping itu, katanya, Jokowi mempunyai semangat yang dimiliki oleh para nabi. Oleh karena itu, ia menyeru masyarakat agar mencontoh sikap Jokowi tersebut.
“Jika beliau memiliki spirit Nabi Musa ikuti, jika beliau miliki spirit Nabi Adam ikuti, jika beliau miliki spirit Nabi Muhammad SAW ikuti,” paparnya seperti dilansir Inews, Ahad 3 Maret 2019.
Disadari atau tidak, ucapan ini merupakan pelecehan terhadap harkat dan martabat para nabi.
Lebih narsis lagi, pujian dari Ali Mochtar Ngabalin. “Di Indonesia, umat Islam itu menjadi kelompok mayoritas, dan pemerintah dalam konsep agama tidak boleh difitnah, dicaci maki. Menurut konsep Al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur, pemerintah itu adalah representasi Tuhan di muka bumi,” kata staf ahli bidang kamunikasi KSP (Kepala Staf Presiden) itu. Kapan diadakan suksesi, bahwa pemerintah Jokowi sebagai wakil tuhan di bumi?
Ketiga, munculnya wacana inkonstitusional, Joko Widodo tiga periode yang disuarakan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari. Kemudian diikuti dengan membentuk sekretariat relawan Jokowi-Prabowo Subianto atau JokPro 2024, menuai cibiran.
Segala pencitraan yang memuakan ini, bukan menambah simpati, malah antipasti yang semakin menguatkan keinginan rakyat Indonesia untuk memakzulkan Joko Widodo dari jabatan presiden RI. Sejumlah orang yang mengatasnamakan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) menggugat Presiden Joko Widodo supaya mundur dari posisinya sebagai Presiden RI. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 266/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst,
Adanya buzzer istana, sama sekali tidak membawa maslahat, baik bagi Jokowi maupun bagi kepentingan rakyat Indonesia. Keadaan mereka ibarat kata, “Bila mulut anjing disumpal daging, maka ia akan menggonggong mengikuti kemauan tuannya.”
Yogyakarta, 30/6/2021
(ameera/arrahmah.com)