Raghid Al-Tatari, seorang perwira militer Suriah yang kini dijuluki “Dekannya Para Tahanan Suriah”, menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati melawan tirani. Ia dipenjara selama 43 tahun oleh rezim Assad karena menolak perintah yang akan mengubah dirinya menjadi algojo rakyatnya sendiri. Kisahnya tak hanya menggoreskan luka dalam sejarah Suriah, tetapi juga menjadi api harapan bagi keadilan yang tak pernah padam.
Awal Kehidupan dan Karier Militer
Lahir di Damaskus pada tahun 1955, Raghid Al-Tatari tumbuh sebagai pemuda cemerlang yang bergabung dengan Angkatan Udara Suriah. Pada usia 20-an, ia telah menjadi pilot tempur, bagian dari kekuatan militer negara yang kala itu berada di bawah kendali rezim brutal Hafez Al-Assad.
Namun, di awal 1980-an, gelombang pemberontakan di Hama menjadi saksi kelam keberingasan rezim Assad. Kota ini, yang menjadi basis kelompok Ikhwanul Muslimin, dihancurkan secara brutal dengan dalih memadamkan pemberontakan. Pada Februari 1982, pembantaian besar terjadi: ribuan nyawa melayang, puluhan ribu lainnya terusir dari tanah kelahiran mereka.
Di tengah gelombang kebiadaban ini, Al-Tatari menerima perintah untuk membombardir Hama. Namun, ia memilih jalur yang penuh resiko. Ia menolak perintah itu—sebuah keputusan yang tidak hanya mengancam karier militernya, tetapi juga hidupnya.
Pengkhianatan Rezim dan Awal Penahanan
Penolakan ini membuat Al-Tatari berada di bawah pengawasan rezim. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan, termasuk tuduhan bahwa ia mengetahui pembelotan seorang rekan yang melarikan diri ke Yordania. Merasa hidupnya terancam, ia melarikan diri ke Yordania pada 1980, lalu ke Mesir, sebelum akhirnya mengajukan suaka ke PBB. Sayangnya, permohonannya ditolak, memaksanya kembali ke Suriah pada November 1981.
Setibanya di Bandara Internasional Damaskus, Al-Tatari langsung ditangkap oleh aparat rezim. Ia disiksa tanpa ampun di penjara intelijen, sebelum dipindahkan ke Penjara Mezze, lalu ke Penjara Tadmur yang dikenal sebagai salah satu penjara paling kejam di dunia. Di sana, ia menghabiskan 21 tahun hidupnya di bawah bayang-bayang penyiksaan dan penderitaan.
Kegelapan Panjang di Balik Jeruji Besi
Setelah lebih dari dua dekade di Tadmur, Al-Tatari dipindahkan ke Penjara Militer Saidnaya selama 10 tahun, di mana ia menjadi saksi kebrutalan rezim dalam menghadapi pemberontakan tahanan. Saat Revolusi Suriah pecah pada 2011, ia dipindahkan ke Penjara Pusat Damaskus di Adra, tempat ia menghadapi kondisi kemanusiaan yang lebih buruk lagi—terputus dari keluarga dan dunia luar.
Kebebasan dan Penghormatan yang Layak
Kegelapan panjang itu akhirnya berakhir. Pada Desember 2024, setelah rezim Bashar Al-Assad runtuh dan oposisi merebut Damaskus, Al-Tatari dibebaskan dari Penjara Tartus bersama tahanan lainnya. Kejatuhan rezim ini mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Baath dan 53 tahun pemerintahan keluarga Assad.
Setelah bebas, Al-Tatari disambut dengan penghormatan besar, terutama oleh warga Hama yang tak pernah melupakan keberaniannya. Sebagai bentuk penghormatan, Sheikh Muad Rihan menghadiahkan pedang emas, simbol kehormatan bagi seorang pria yang rela mengorbankan segalanya demi prinsip.
Kisah Raghid Al-Tatari adalah saksi bisu dari tirani, tetapi juga bukti kekuatan manusia yang memilih keadilan di atas segalanya. Namanya kini abadi dalam sejarah, bukan sebagai sekadar tahanan, tetapi sebagai pahlawan yang memilih berdiri bersama rakyatnya, meski harus menghadapi bayang-bayang kematian.
(Samirmusa/arrahmah.id)