Saya dibesarkan dalam keluarga Katolik Italia. Saya dibaptis, menghadiri sekolah Minggu, dan mengambil Komuni Pertama. Saya memiliki masa kecil yang bahagia – dunia kudus yang indah dan dogma Tritunggal yang melindungi saya dari bahaya, menjadikan saya percaya, dan hal tersebut memicu imajinasi saya.
Tetapi kenyataan indah ini terguncang, ketika pada usia 12 tahun, ibu saya berhenti membawa saya ke Misa Minggu. Ibu membiarkan saya mengetahui bahwa ia tidak percaya pada layanan hari Minggu, dan katanya saya sudah cukup umur untuk membuat pilihan sendiri tentang agama.
Jadi, saya bebas untuk pergi sendiri ke gereja, karena ibu telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang ibu Katolik yang mengajari saya tentang agama Katolik. Kata-kata ini membuat saya sakit hati dan kecewa. Tidak hanya dengan ibu saya, tetapi juga dengan Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan telah memberikan saya sebuah keluarga yang telah mengajari saya agama yang dianut hanya karena tradisi bukan karena terinspirasi oleh iman yang tulus? Saya berhenti pergi ke gereja dan saya sangat kecewa dengan agama. Pada usia 14 saya mulai melupakan Tuhan.
Pada saat saya masuk SMU, pertanyaan eksistensial mulai mengganggu saya. Siapa yang dapat hidup tanpa Tuhan untuk waktu yang lama? Tapi dimana saya harus mencari Tuhan?
“Seiring dengan pertambahan usia, saya makin dewasa dan menyadari bahwa hidup akan bermakna jika ada nilai lebih dalam setiap perbuatan yang dilakukan. Saya percaya ada Tuhan yang memberikan inspirasi bagi setiap aspek kehidupan yang terjadi,” ujar Castro.
Saya punya teman baik dari Indonesia yang meminjamkan saya al-Quran. Namun, di masa itu otak saya telah dicuci oleh film-film Hollywood sehingga buta untuk menghargai keindahan yang ada dalam al-Qur’an. Saya hanya melihat al-Qur’an sebagai kumpulan kalimat-kalimat yang telah ditafsirkan sebagai bentuk permusahan kepada non-Muslim. Saya buta, bias, dan bodoh .
Pada usia 18 tahun, saya masuk perguruan tinggi, dan saya menjadi tertarik dengan Yudaisme. Saya menyukainya karena menurutku itu adalah agama monoteistik yang sebenarnya, tidak seperti agama Kristen di mana saya telah kehilangan iman terhadap agama tersebut. Saya kemudian belajar Yudaisme selama lebih dari tujuh tahun, dan mendaftarkan diri di Yeshiva.
Yeshiva adalah sekolah kerabian dimana para siswanya harus mengenakan setelan hitam tradisional, topi hitam, dan belajar selama berjam-jam . Saya menyukai sistem belajar yang ketat ini dan juga polemik tentang ketuhanan yang brilian. Namun mengapa sekarang saya memeluk Islam? Hal itu berawal ketika saya melihat beberapa film Iran yang kemudian menghilangkan stereotip saya tentang budaya Muslim saya yang dulu saya anggap sebagai agama kemunduran dan kekerasan. Saya menyadari bahwa negara-negara Muslim mungkin tidak terlalu gemilang hari ini dalam hal kekuatan militer ataupun ekonomi, tetapi Islam menawarkan pandangan hidup yang jauh lebih menghormati martabat manusia dan mengajarkan manusia tentang pengorbanan diri untuk kepentingan ummat (saya sangat merekomendasikan film “The Colors of Paradise” bagi pembaca yang benar-benar ingin memahami apa yang saya maksud ).
Kedua, saya mengerti bahwa Yudaisme mengajarkan kasih sayang hanya bagi orang-orang Yahudi saja, sedangkan Islam mengajarkan kasih sayang untuk seluruh ummat manusia, semua orang bisa menjadi seorang Muslim tanpa melihat latar belakang nenek moyang mereka. Dan ini terlihat jelas oleh sikap yang hangat dan keramahan yang bisa ditemui setiap orang jika datang ke masjid-masjid, apakah orang itu Muslim atau bukan.
Terakhir dan yang paling penting , keindahan dan kemuliaan Surah Al-Baqarah yang membuat sayap indah kepada Islam. Saya pikir, setiap orang yang membaca surat itu secara jujur mengakui bahwa hanya malaikat yang mampu memberikan inspirasi tentang pernyataan-pernyataan yang begitu indah yang berasal dari Tuhan.
Berkat Islam hidup saya sekarang telah berubah. Sebelum memeluk Islam, saya biasa tidur sampai siang setiap saya punya kesempatan untuk melakukannya. Saat ini saya terbiasa bangun untuk shalat subuh sebelum jam enam dan hidup saya jauh lebih produktif. Saya percaya bahwa Islam telah memberikan kehidupan baru untuk saya, membuat saya lebih menghargai diris endiri, dan membuat saya bersikaplebih baik pada orang lain. Ini adalah tiga kebaikan yang sulit untuk ditemukan tempat lain.
Islam bukanlah penarikan diri dari dunia, atau penaklukan duniawi dengan mengatasnakan nama Tuhan. Dalam dua bulan saya sebagai seorang Muslim, saya mulai memahami bahwa Islam adalah penaklukan kehidupan seseorang dengan menyerahkan keinginannya hanya kepada Allah daripada pengejaran duniawi. Dan itu adalah kebebasan sejati.
Tak usah dikatakan bahwa keputusan sayamasuk Islam bukan tanpa pengorbanan. Saya harus kehilangan banyak teman, termasuk sikap keluarga yang tidak bersahabat. Tapi akhirnya, keluarga saya mulai menerima keputusan saya dan saya jugamendapatkan teman-teman baru dari kalangan Muslim yang sangat membantu saya di masa-masa transisi.
Saya memiliki pandangan-pandangan baru tentang hidup. Islam telah memberi kesempatan saya untuk memeluk Islam dan sebuah pengalaman hidup yang sangatberharga.
Dikutip dari onislam.net
(M1/haninmazaya/arrahmah.com)