Oleh Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – IDEOLOGI SYI’AH, sejak awal terbangun di atas pondasi kebencian pada Islam dan dendam pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagaimana kaum Yahudi, kebencian Syi’ah pada Islam dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terus dipelihara, dilestarikan dan juga diwariskan dari generasi ke generasi.
Kaum Yahudi membenci Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan menolak Al-Qur’an karena cemburu dan dengki. Penolakan kaum Yahudi itu disebabkan antara lain, karena Nabi yang ditunggu-tunggu kedatangannya ternyata bukan dari keluarga Daud ‘alaihissalam (Bani Israil), tapi malah dari Bani Ismail.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ (89) بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ (90)
“Ketika Al-Qur’an, sebuah kitab dari sisi Allah yang membe- narkan kenabian Muhammad dalam Taurat dan Injil datang kepada kaum Yahudi, mereka mengingkarinya. Padahal sebelumnya, kaum Yahudi memohon kepada Allah supaya diberi kemenangan melawan orang-orang kafir. Maka ketika datang seorang nabi yang ciri-cirinya sudah mereka kenal sebelumnya, ternyata mereka mendustakannya. Karena itu, laknat Allah menimpa orang-orang Yahudi yang kafir itu. Amat buruk kekafiran yang dipilih oleh kaum Yahudi itu. Sebab mereka kafir kepada Al-Qur’an yang Allah turunkan kepada Muhammad. Kaum Yahudi dengki terhadap karunia kenabian yang Allah berikan kepada Muhammad sesuai kehendak Allah dalam memilih hamba-Nya. Karena itu, kaum Yahudi patut mendapatkan kemurkaan demi kemurkaan dari Allah. Orang-orang Yahudi yang kafir itu kelak di akhirat mendapatkan adzab yang hina.” [Al-Baqarah, 2: 89-90]
Begitupun, penolakan Syi’ah terhadap Islam, juga disebabkan dengki dan cemburu, karena khalifah pengganti setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat ternyata bukan Ali radhiyallahu ‘anhu, melainkan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Dari sinilah bermula pangkal permusuhan mereka kepada ajaran Islam.
Yahudi menolak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Tuhannya, Syi’ah juga menolak Tuhan yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah sesudahnya.
Yahudi membenci Jibril ‘alaihissalam, Syi’ah juga membenci Jibril ‘alaihissalam karena menganggap Jibril salah alamat menyampaikan wahyu Ilahy. Menurut paham Syi’ah, semestinya wahyu Allah diturunkan kepada Ali, bukan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga Jibril pun dimusuhi.
Atas dasar persamaan ini, maka keduanya bersatu me-musuhi Islam. Akan tetapi, Yahudi berterus terang dengan kebencian dan kekafirannya, sedangkan Syi’ah berlindung di balik ideologi taqiyah alias kafir munafik.
Ilustrasi di bawah ini, kiranya dapat menggambarkan kondisi kaum Syi’ah yang berpura-pura menerima Islam tapi mendustakan Al-Qur’an. Menghina ajaran Muhammad shal- lallahu ‘alaihi wasallam dan melecehkan sahabatnya.
Suatu hari akan diadakan dialog antara 7 orang ulama Syi’ah dan 7 orang ulama Islam. Pada waktu dan hari yang telah ditentukan, berkumpullah 7 orang ulama Syi’ah di tem- pat yang telah disepakati, tetapi tidak satu pun dari ulama Islam yang hadir, kecuali seorang yang datangnya terlambat.
Masuklah sang ulama Islam itu ke ruang pertemuan bertelanjang kaki sambil menjepit kedua sandal di ketiaknya.
Heran menyaksikan polah ulama Islam itu, maka ulama Syi’ah yang hadir disitu bertanya. “Mengapa engkau mem- bawa sandal di ketiakmu?”
“Setahuku orang-orang Syi’ah suka mencuri sandal di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”, jawab ulama Islam dengan nada santun.
Ulama Syi’ah pada bengong sambil memandang sesama mereka dan bertanya: “Adakah Syi’ah di zaman Nabi Muhammad?”
Spontan sang ulama Islam itu berkata: “Lalu dari mana asalnya agama Syi’ah yang kalian anut sekarang, jika belum ada di zaman Nabi. Kalian mengikuti ajaran siapa?”
Radikalisme Syi’ah
Revolusi Syi’ah pimpinan Khomaini, 1979, berhasil menumbangkan rezim Syah Reza Pahlavi. Bangga dengan kemenangan itu, maka Khomaini mengekspor revolusi Syi’ah ke negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia di bawah slogan ‘Mustadh’afin melawan Mustakbirin’.
Sejak tahun 1980-an, pemikiran dan gerakan radikal di Indonesia banyak diintervensi doktrin ideologi Syi’ah. Kesa- lahan penguasa yang diwarisi aparat keamanan, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88, adalah stigmatisasi terorisme dan radikalisme muncul dari doktrin Wahabi dan Darul Islam (DI/TII).
Stigmatisasi ini, pada gilirannya menciptakan permu- suhan antara penguasa dan umat Islam. Padahal, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang kepadanya dinisbahkan istilah Wahabisme, tidak pernah mengajarkan terorisme. Inti ajaran yang diserukan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah mengajak kembali pada tauhid, memberantas kesyirik- an, bid’ah dan khurafat.
Adapun Darul Islam pimpinan SM. Kartosuwirjo, mem- perjuangkan berdirinya Negara Islam demi terlaksananya Syari’at Islam. Gerakannya bersifat kenegaraan, bukan sekta- rian, sehingga tidak pernah menjadikan rumah ibadah seperti Masjid, Sinagog, Gereja, Pura, sebagai sasaran yang harus dihancurkan. Hal ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang melarang menghancurkan tempat-tempat ibadah umat ber- agama.
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)
“Orang-orang mukmin yang diperangi yaitu mereka yang diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang benar. Mereka diusir hanya karena mengucapkan: “Tuhan kami adalah Allah.” Sekiranya Allah tidak membuat syari’at yang men- cegah manusia saling berbuat zhalim, niscaya biara-biara, pagoda-pagoda, gereja-gereja dan masjid-masjid akan hancur berantakan karena kezhaliman manusia. Padahal tempat-tempat ibadah itu dipergunakan orang untuk menyebut nama Allah. Sungguh Allah pasti menolong siapa saja yang membela agama-Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Maha- perkasa menghancurkan kezhaliman.” [Al-Hajj, 22: 40]
Berbeda dengan gerakan Syi’ah. Mereka menghancur kan apa saja yang tidak selaras dengan doktrin Syi’ah. Di antara doktrin Syi’ah yang banyak menginspirasi gerakan radikal di Indonesia, seperti tertulis dalam buku Khomaini ‘Mustadh’afun’ antara lain:
-
Doktrin anti thagut, yaitu penguasa mana saja yang bukan Syi’ah adalah thagut, wajib diperangi.
-
Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana. Sebagaimana kaum Yahudi, harta di luar milik kaum Syi’ah halal untuk dikuasai, baik secara paksa maupun sukarela. Sehingga merampok bank riba, korupsi dengan alasan ‘daripada diambil orang lain,’ dianggap fai’
-
Imamnya ma’shum, sehingga kepemimpinannya bersifat seumur hidup.
Fakta paling gres yang menunjukkan kekejaman penguasa Syi’ah terhadap rakyat yang berbeda ideologi, terjadi di Propinsi Homs, di awal Ramadhan 1434 lalu.
Propinsi Homs adalah salah satu wilayah Suriah yang mendapatkan bombardir militer paling parah. Pasukan tentara Syi’ah Nushairiyah Bashar Asad, dan sekutunya Garda Revolusi Iran, milisi Syi’ah Shabihah, milisi Syi’ah Hizbullah Libanon dan milisi Syi’ah Mahdi Irak, telah mengepung dan membombardir desa-desa dan kota-kota di propinsi Homs selama 390 hari penuh.
Lebih dari 60 persen rumah, masjid, sekolah dan bangunan di propinsi Homs luluh lantak oleh bombardir massif tanpa henti. Layanan listrik, air bersih, dan sarana komunikasi terputus sejak setahun. Krisis makanan dan obat-obatan menyiksa warga sipil muslim di Homs.
Situs berita Nora News dan Noor Alhuda Syrian (NNSAH) pada Kamis (11/7/2013) pagi mengutip kisah duka nestapa kaum muslimin di propinsi tersebut, yang diceritakan oleh Syaikh Muthi’ al-Bathin, ulama dan komandan mujahidin Propinsi Dara’a, yang tertembak oleh sniper militer rezim Syi’ah Nushairiyah Suriah, dan sempat menjalani operasi di RS Turki, melalui akun facebook beliau.
“Sepanjang hidupku, aku tak pernah mendengarkan pertanyaan yang lebih memilukan melebihi pertanyaan ini,” tulis Syaikh Al-Bathin mengawali kisahnya.
“Kemarin saya menghubungi seorang saudara dari kota Homs, saya menanyakan kepadanya tentang kebenaran berita yang menyebutkan bahwa penduduk yang terkepung di kota tersebut telah diberi fatwa oleh sebagian ulama tentang kebolehan memakan daging kucing, sebatas menyelamatkan nyawa dan mengganjal perut mereka.”
“Saudara itu mengatakan kepadaku bahwa ia tidak mengetahui sedikit pun tentang berita itu. Namun saudara-saudara di Homs, seperti yang ia ceritakan kepadaku, sedang mencari fatwa yang membolehkan seseorang di antara mereka membunuh anak-anak dan istrinya sendiri, karena takut anak-anak dan istri mereka jatuh ke tangan pasukan Majusi dan ‘Serbia’ kontemporer.
Mereka akan melakukan hal itu, kemudian berangkat dengan jiwa yang tenang untuk melawan orang-orang pendengki, yang dalam sejarah belum pernah dikenal golong- an yang lebih mendengki melebihi mereka. Dengan begitu, ia akan bisa menghadapi kematian, tanpa khawatir istrinya akan diperkosa, anak-anak dan bayi-bayinya akan dicincang dan dibakar.”
Sejak saat aku mendengar pertanyaan itu, demi Allah, wahai saudara-saudara, aku masih terpekur kebingungan akibat kengerian dari kondisi yang aku dengar.”
Syaikh Muthi’ al-Bathin kemudian melanjutkan ceritanya. Di sana ada 800 keluarga yang menanyakan perta- nyaan ini. Lantas apa jawabannya wahai umatku? Bagaimana kita akan menghadap Allah, bila Allah menanyakan sikap kita yang menelantarkan rakyat kita dan saudara-saudara kita di Homs?
-oOo-
Gerakan radikal yang berhasil ditunggangi Syi’ah di Indonesia, justru tidak menyadari bahwa semangat jihad yang mereka dengungkan digerakkan oleh antek-antek Syi’ah.
Pada tahun 1981, Kedutaan Iran di Jakarta mengundang pemuda dan mahasiswa Islam berkunjung ke Iran. Semangat revolusi Syi’ah yang digaungkan dengan label Revolusi Islam Iran, begitu spektakuler sehingga menyulut keinginan ratusan pemuda Islam Indonesia berlomba mendapatkan tiket untuk terbang menyaksikan gelora revolusi di Iran.
Ada yang berkunjung beberapa minggu, tetapi ada juga yang menempuh pendidikan beberapa tahun di Qom. Sepulangnya ke Indonesia, lisannya lihai mencaci maki sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang mengeri- kan, ramai-ramai mut’ah (kawin kontrak). Mereka yang mengenyam pendidikan dipersiapkan menjadi kader dan militan Syi’ah, termasuk dalam kloter ini adalah Ahmad Barakbah dan Ibrahim.
Tahun 1984, Ibrahim alias Jawad pulang dari Iran, dan membentuk kelompok pengajian bersama Husin Ali Al-Habsyi (tunanetra), Achmad Muladawilah, Hamzah alias Supriono di rumah M. Ahwan, Jl. Ir. H. Juanda VIII No. 17, Malang. Selain di Malang, kajian Syi’ah meyebar ke berbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Solo dan di luar Jawa.
Sepulang belajar dari Iran, Ibrahim alias Jawad mem- bawa mesiu revolusi Syi’ah dan bertekad mengembangkan ideologi permusuhan berbasis ahlul bait di Indonesia.
Dalam tempo singkat, belajar Syi’ah di Iran kurang dari 2 tahun, ketika kembali ke tanah air Ibrahim tidak sekadar radikal. Tapi sosok Ibahim sudah menjelma menjadi ahli perakit bahan peledak dan mengajarkan kepada orang-orang yang direkrutnya.
Untuk menyebarkan ideologi Syi’ah di Indonesia, selain melalui training, Ibrahim juga menempuh cara radikal berupa peledakan sejumlah gereja dan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Tujuannya, menciptakan situasi chaos dengan semangat revolusi Syi’ah untuk memprovokasi umat Islam melawan rezim mustakbirin (penguasa).
Pada tanggal 16 Maret 1985 terjadi ledakan Bus Pemudi Expres jurusan Denpasar. Dari peristiwa ini, dan kemudian tertangkapnya pelaku bom Candi Borobudur, 21 Januari 1985, Husin Ali Al-Habsyi, membuka pintu terbongkarnya kasus peledakan gereja Katholik Sasana Budaya di jalan MGR Sugiyopranoto, Malang. Menyusul peledakan gedung Semi- nari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) di jalan Arief Margono, Malang, Jawa Timur, 24 Desember 1984 malam.
Ada yang menarik dalam rangkaian kasus peledakan bom di Indonesia pasca revolusi Syi’ah Iran, 1979, dan pele- dakan bom oleh para tersangka stigma teroris di Indonesia.
Pada 24 Desember 1984, sasaran peledakan adalah gereja. Begitu juga peledakan tanggal 24 Desember 2000 yang menjadikan gereja sebagai sasaran, konon dilakukan oleh oknum JI (Jama’ah Islamiyah). Begitu juga dengan kasus rencana peledakan pantai Kuta Bali (pertengahan Maret 1985) yang gagal, mempunyai kesamaan objek dengan kasus peledakan Bali pertama (12 Oktober 2002, jalan Legian-Kuta) dan peledakan Bali kedua (1 Oktober 2005 Kuta, Jimbaran).
Kesamaan pola gerakan, memang belum tentu menunjuk kan adanya keterkaitan di antara peristiwa-peristiwa tersebut. Akan tetapi, persamaan metode perjuangan, slogan dan sasaran peledakan mengindikasikan adanya benang merah, bahwa intervensi ideologi Syi’ah pada gerakan radikal di Indonesia, sulit dibantah.
Pengaruh Ideologi Syi’ah
Aqidah taqiyah kaum Syi’ah, memang bisa menjadi muslihat berbahaya. Namun, retorika anti Syi’ah justru mengindikasikan banyak hal, bahkan mengungkap fakta yang tidak terduga.
Ironisnya, ketika gerakan Syi’ah laknatullah semakin eksis di Indonesia, sejumlah tokoh Islam yang selama ini mengaku Ahlus Sunnah, nampak takut-takut menyatakan Syi’ah bukan Islam. Begitu juga dengan sejumlah media yang konon menjalankan misi dakwah Islam, kelihatan lebih cenderung cari aman.
Sementara kader militan Syi’ah telah menyemai paham sesatnya selama puluhan tahun, dan sekarang mereka sedang menuai hasil tanamannya. Konflik Sampang antara Umat Nahdhiyin dan kelompok Tajul Muluk adalah salah satu buahnya. Dan kaum Syi’ah semakin lantang berterus terang dengan kesesatan Syi’ahnya.
1. Pernyataan Joserizal
Dr. Joserizal Jurnalis menulis opini di Republika, dan wawancara di media online mengenai konflik Suriah. Ada tiga pernyataannya yang mengundang kontroversi.
Pertama, penolakannya untuk melaksanakan missi kemanusiaan di Suriah. Seorang relawan kemanusiaan menolak menjalankan misi kemanusiannya karena sebab perbedaan ideologi.
Padahal slogan MER-C, to help the most vulnerable people and the most neglected people, menolong siapapun yang membutuhkan tanpa melihat latar belakang ideologi, agama atau etnis tertentu. Sehingga dengan menolak menjalankan misi kemanusiaan di Suriah, wajar publik di Indonesia curiga. Bahwa MER-C telah menipu umat Islam, memiliki agenda ideologi lain, sehingga dia kehilangan sisi humanismenya, bahkan mengkhianati missi institusinya sendiri.
Kedua, toleransi politisnya yang mendukung kezaliman Bashar Asad terhadap rakyat Muslim. Publik sulit memahami logika Joserizal, membantu penguasa zalim yang menindas rakyatnya sendiri. Ada kepentingan apa Joserizal membela Bashar Asad?
Ketiga, dr. Jose menganggap pihak yang kontra Bashar Asad (siapapun, apapun motifnya) sebagai kelompok yang berdiri di barisan blok Zionis-Salibis. Pada saat bersamaan, dia menyanjung peran Hizbullah dan Suriah di bawah Bashar Asad sebagai kekuatan riil yang anti Israel. Tuduhannya ter- hadap ormas Islam ini harus dibuktikan berdasarkan fakta, buka ilusi. Beranikah Joserizal menunjuk langsung ormas mana yang dimaksud?
Pernyataan dr. Joserizal Jurnalis, baik dalam tulisannya di Republika, 7 Juni 2013, maupun komentarnya di IRIB serta media online, ternyata hanyalah update atau copy paste dari wawancara diktator Suriah Bashar Asad dengan Surat Kabar Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung, Juni 2013 berjudul ‘Menguak Misteri Bashar Asad’.
Ketika Pewawancara menanyakan: “Anda mengkritik negara termasuk Arab Saudi, Qatar, Turki dan Inggris untuk campur tangan mereka dalam krisis Suriah, bukankah Rusia dan Iran juga terlibat?”
Presiden Asad menjawab: “Ada perbedaan yang signifikan antara kerjasama negara yang bertentangan dengan destabilisasi suatu negara dan gangguan tertentu dalam urusan internalnya. Kerjasama antar negara dipahami pada konsep saling menguntungkan, dengan cara yang melindungi kedaulatan, kemandirian, stabilitas dan penentuan nasib sendiri. Hubungan kami dengan Rusia, Iran, China, Venezuela dan negara-negara lain yang mendukung Suriah adalah hubu- ngan kerjasama bersertifikat di bawah hukum internasional.
Sedangkan negara-negara yang Anda sebutkan, telah mengadopsi kebijakan yang mencampuri urusan dalam negeri Suriah, yang merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan kedaulatan nasional kita. Perbedaan- nya, bahwa kerjasama antar negara dimaksudkan untuk menjaga stabilitas dan mengabadikan kemakmuran bangsa ini, sementara campur tangan asing berusaha untuk mengacaukan negara, kekacauan menyebar dan melestarikan kebodohan.”
2. Dialog M. Thalib dan Habib Rizieq Shihab
Dalam dialog silaturahim dengan Majelis Mujahidin, Ketua FPI Habib Muhammad Rizieq bin Husain Shihab Asy-Syafi’i, 11 Juni 2013, mempertegas sikap anti Syi’ahnya.
Namun, Habib Rizieq membuat kategorisasi Syi’ah menjadi tiga bagian: pertama, Syi’ah Ghulat. Yaitu, Syi’ah yang menuhan kan Ali bin Abi Thalib, atau meyakini Al-Qur’an sudah ditahrif (dirubah). Syi’ah golongan ini adalah kafir dan wajib diperangi.
Kedua, Syi’ah Rafidhah, yaitu Syi’ah yang tidak berke- yakinan seperti ghulat, tapi melakukan penistaan secara terbuka, baik lisan maupun tulisan terhadap sahabat Nabi seperti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, atau terhadap para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Hafshah radhiyallahu ‘anha. Syi’ah golongan ini adalah ahlul bida’ wal ahwa, mereka sesat menyesatkan dan harus diperangi.
Ketiga, Syi’ah Mu’tadilah, yaitu Syi’ah yang tidak menuhankan Ali dan tidak menghalalkan mencaci maki sahabat, seperti yang dilakukan Syi’ah Zaidiyah. Mereka diperangi pemikirannya melalui dialog. Syi’ah golongan ini tidak sesat dan tidak kafir karena hanya mengutamakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu di atas para shahabat Nabi lainnya (Abu Bakar, Umar Ibnul Khattab, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum ajma’in), dan lebih mengedepankan hadits riwayat ahlul bait daripada perawi hadits lainnya.
Usai memaparkan pendapatnya, terjadi dialog antara Al- Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib dan Ketua FPI Habib Rizieq Shihab.
“FPI menyatakan diri sebagai Ahlu Sunnah dan anti Syi’ah, lalu apa maksudnya membuat kategori Syi’ah menjadi tiga bagian?” tanya ustadz Thalib.
Habib Rizieq menjawab: “Pembagian Syi’ah seperti ini bagi ormas FPI sangat diperlukan, supaya FPI jelas dalam menyikapi mana Syi’ah yang harus diperangi seperti Ghulat dan Rafidhah serta mana Syi’ah yang hanya diselesaikan dengan dialog, hujjah bil hujjah, aqwal bil aqwal.”
“Mengapa harus FPI yang menjelaskannya? Bukankah hak orang Syi’ah untuk menyampaikan hal demikian, dan bukan hak FPI?” ustadz Thalib mengkritisi pernyataan Habib Rizieq.
“FPI tidak sendirian yang bersikap demikian dan FPI bukan pemula. FPI tidak mengeneralisir semua Syi’ah kafir. Karena itu kalau kita baca dalam kitab Al-Farqu bainal Firaq yang ditulis oleh Al-Imam Abdul Qahir bin Thahir Al-Baghdadi At-Tamimi Al-Isfirayini, itu jelas sekali beliau membedakannya,” jelas Habib Rizieq.
“Bagaimana Anda meyakinkan publik bahwa sanad ulama yang Anda sebutkan tadi dapat dipercaya, sementara Imam Ahmad, Bukhari dan lainnya mengkafirkan Syi’ah. Karena Syi’ah yang paling moderat sekalipun, mereka lebih mengutamakan Ali daripada sahabat Abu Bakar dan Umar.
Ketika Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu mengetahui ada sekelompok orang yang mengagungkan beliau lebih dari Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengumumkan pernyataannya:
لَئِنْ سَمِعْتُ أَحَداً يُفَضِّلُنِيْ عَلَى الشَّيْخَيْنِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، لَأُحِدَّنَّهُ حَدَ الْفَرِيَّةَ .
“Sekiranya aku sendiri mendengar seseorang yang mengunggulkan aku daripada Abu Bakar dan Umar radhiyal- lahu ‘anhuma niscaya aku akan jatuhi hukuman sebagai pemberontak (mati),”[1] jelas Al-Ustadz M. Thalib.
“Intinya FPI bukan Syi’ah dan FPI tetap anti Syi’ah. Syi’ah yang manapun apakah itu Ghulat, Rafidhah atau Mu’tadilah semua pendapatnya tidak kami terima, hanya kami membedakan mereka di dalam perlakuan bukan untuk dibenar kan. Nah ini yang perlu saya klarifikasi, jadi jangan ada yang menganggap jika FPI membagi Syi’ah menjadi tiga lalu yang ketiga dibenarkan, terus yang ketiga ini dibela oleh FPI. FPI bukan pembela Syi’ah,” tegas Rizieq.
“Apakah FPI tidak khawatir dijadikan bumper Syi’ah. Dengan adanya pembagian kelompok Syi’ah Mu’tadilah (moderat) maka para penganut Syi’ah di negeri ini akan mendekat dengan FPI,” Al-Ustadz Muhammad Thalib mengingatkan ketua FPI Habib Rizieq.
Ketika itu hadir pula Fahmi Salim, peneliti dari MUI yang juga sebagai wakil sekjen MIUMI menjelaskan, bahwa untuk mengidentifikasi aliran sesat Syi’ah di Indonesia, jangan hanya melihat sikapnya. Tapi bisa dilihat dari buku-buku yang ditulis dalam kitab-kitab mereka.
“Bila kita ingin menukik, siapa sebenarnya kelompok Syi’ah yang ada di Indonesia, kan sudah jelas buku-bukunya Jalaludin Rakhmat, kemudian kitab-kitab yang mereka pakai baik IJABI maupun Ahlul Bait Indonesia (ABI). Itu semua patronasenya Islamic Cultural Center (ICC), Pusat Kebudayaan Syi’ah Jakarta, dan ICC kiblatnya ke Iran. Pakai konsepnya wilayatul faqih, konsepnya Imamah yang meng- kafirkan sahabat. Karenanya semua Syi’ah di Indonesia Rafidhah,” jelasnya.
Wallahu A’lam bis Shawab.
* Disampaikan pada acara Dialog Ramadhan bersama narasumber Farid Ahmad Okbah dengan tema: “Membongkar Kesesatan Syi’ah dan Pengkhianatannya Terhadap Umat Islam” di Masjid Jogokariyan, Jogjakarta, Sabtu 13 Juli 2013.
[1]. Dalam kitab At-Tuhfah disebutkan: 80 kali dera. Dan ada yang mengatakan 10 kali. [Mukhtashar Tuhfah Itsna ‘Asyariyah, 1/23].
(Ukasyah/arrahmah.com)