Ustadz Irfan S ‘Awwas
(Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin)
Di Indonesia, radikalisme dan nasionalisme adalah dua istilah yang eksistensinya telah didahului oleh proses sejarah. Radikalisme dalam pengertian politik adalah orientasi politik mereka yang menghendaki perubahan revolusioner dalam pemerintahan dan masyarakat. Karena itu, kolonial Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun, memosisikan semua gerakan noncooperative sebagai anggota perusak, kelompok nonloyalis, ekstrimis dan radikalis.
Bung Karno dituduh kelompok radikal oleh Belanda. Pejuang Palestina dituduh radikal bahkan teroris oleh agresor zionis Israel. Begitupun, pejuang Thaliban dituding sebagai kelompok radikal atau teroris oleh Amerika. Menuduh ormas-ormas Islam sebagai kelompok radikal berdasarkan stigma global, adalah kezaliman.
Menggunakan isu terorisme atau radikalisme untuk memecah‑belah umat Islam melalui kategorisasi sektarianisme seperti di atas jelas kezaliman. Karena, radikalisme pada dasarnya tidak mempunyai agama. Juga, bukan merupakan identitas suatu ideologi. la bisa berada di berbagai ruang. Kita bisa menemukan radikalisme pada tubuh militer, pada komunitas keagamaan, ideologi sekuler, kaum liberal dan demokrasi.
Menyatukan kata radikalisme atau terorisme dengan Islam sehingga menjadi radikal Islam atau teroris Islam, merupakan radikalisme dan terorisme yang sebenarnya. Karena radikalisme maupun terorisme bukanlah Islam. Sebagaimana juga menyatukan kata moderat atau liberal dengan Islam, itu bukanlah Islam. Karena, setiap istilah yang disatukan dengan Islam seperti di atas, akan berupaya melakukan identifikasi berdasarkan karakteristik masing-masing gerakan atau orientasi ideologinya. Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw. tidak pernah membuat identifikasi adanya Islam moderat, Islam radikal, ataupun Islam liberal.
Akar radikalisme bisa bermacam‑macam. Bisa disebabkan nafsu berkuasa, ketidakadilan, atau diskriminasi yang dialami sekelompok orang. Radikalisme yang didasarkan ideologi tertentu tidak lebih berbahaya dibandingkan radikalisme yang dilahirkan militerisme yang dilandasi nafsu berkuasa. Tidak lebih berbahaya dibanding radikalisme demokrasi, radikalisme budaya, etnik dsbnya. Bahkan di masa sekarang, radikalisme atau terorisme bisa dilakukan oleh negara ataupun orang per orang mnelalui teknologi.
Radikalisme pada komunisme akan semakin dahsyat bila berbaur dengan militerisme. Seperti yang pernah kita alami pada 1965‑1966. Radikalisme yang bersemayam pada kelompok zionis akan semakin berbahaya setelah ia bersentuhan dengan militerisme sebagaimana dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina, Amerika terhadap Iraq, Uni Soviet terhadap Afghanistan.
Di Indonesia, radikalisme ideologi pernah dialami saat PKI memberontak, 1966. Radikalisme demokrasi, terjadi pada kasus pemekaran wilayah di Medan yang dengan teriakan hiteris membunuh Ketua DPRD di ruang parlemen. Kasus Sampit, beberapa tahun yang lalu adalah contoh radikalisme etnis. Radikalisme sparatis di Indonesia seperti kerusuhan OPM di Papua, Aceh, juga RMS di Maluku.
Di negara-negara berlabel demokrasi, radikalisme bahkan lebih jahat daripada yang terjadi di negeri kita. Presiden Prancis dari Partai Konservatif Nicolas Sarkozy melarang wanita muslimah mengenakan jilbab dan burqa, karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sekuler Prancis. Pemerintah Swiss menunjukkan kebencianya terhadap Islam secara radikal, dengan melarang adanya menara masjid supaya suara adzan tidak terdengar keluar masjid.
Sebelum Prancis, Jerman ‘lebih maju’ lagi. Tahun 2007, Pengadilan administratif Jerman mengesahkan larangan mengenakan jilbab di wilayah North Rhine-Westphalia. Sebelumnya, pengadilan yang sama juga memutuskan untuk mendukung larangan berjilbab. Dari 16 negara bagian di Jerman, delapan negara bagian menyatakan melarang jilbab. Bahkan Belanda mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang menyembelih binatang tanpa dibius, yang sesuai prinsip memotong hewan secara Islam. Bukankah contoh di atas membuktikan kebencian kaum sekuler terhadap Islam ditunjukkan secara radikal dan anarkis?
Dampak buruk dari wacana stigmatisasi ini, suasana saling curiga bahkan adu domba di antara warga masyarakat terasa sekali. Orang-orang barat menghadapi Islam secara biadab dan paranoid. Jilbab dan menara masjid saja ditakuti melebihi ketakutannya terhadap bom Hirosima dan Nagasaki. Bahkan jenggot saja dianggap dapat meruntuhkan kekuasaan negara, sehingga muncul istilah jahat, jenggot teroris, preman berjubah.
Oleh karena itu, jika sekarang rezim SBY di era reformasi ini, memosikan ormas agama yang menghendaki perubahan reformatif dan ideologis dianggap radikal yang dapat melemahkan rasa nasionalisme, hal itu sangat berlebihan. Sama saja menganggap kucing sebagai harimau. Apakah berarti kekuatan kolonialis dan imprialis sedang mengcengkeram taringnya di NKRI?
Radikalisme dan Nasionalisme
Lalu, bagaimana dengan nasionalisme? Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, nasionalisme berarti perasaan cinta bangsa sendiri. Inti dari nasionalisme adalah menempatkan masalah bangsa dan negara di atas masalah pribadi, masyarakat, maupun agama. Nasionalisme juga berarti bagaimana melihat masyarakat Indonesia sebagai bagian keseluruhan atau kesatuan.
Adanya mafia anggaran, pesta pora mafia proyek, rekening gendut para penguasa, merajalelanya aji mumpung, pengrusakan lingkungan (illegal logging), kelompok-kelompok masyarakat yang beringas sehingga tidak segan-segan berkelahi antar kelompok bahkan bila perlu dengan aparat penegak humum. Apakah mereka dapat disebut berjiwa nasionalis?
Pejabat-pejabat korup juga berkelompok ketika merampok uang negara, kelompok tersebut tidak pernah melakukan gerakan fisik secara radikal tetapi aksi vokalnya sangat radikal terutama koruptor yang anggauta DPR. Kelompok inilah yang paling berbahaya; selalu berteriak-teriak tentang pentingnya Nasionalisme, tetapi disisi lain merampok uang negara sehingga menyengsarakan rakyat. Anggota parpol juga ikut menjarah uang negara untuk menghidupi partainya. Apakah mereka juga disebut nasionalis NKRI?
Di Indonesia, semangat nasionalisme berarti memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi negara. Sila pertama Pancasila berbunyi: “Ketuhanan YME”, yang juga tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 sebagai dasar negara. Pertanyaannya, bagaimana persepsi kaum nasionalis terhadap sila pertama Pancasila ini?
Profesor Hazairin, SH menafsirkan ps 29 ayat 1 UUD ’45 itu, bahwa di negara yang berdasarkan Ketuhanan YME tidak boleh ada UU atau aturan yang bertentangan dengan agama. Apakah kaum nasionalis termasuk menyetujui penafsiran Hazairin ini? Lalu bagaimana dengan kenyataan di atas? Inilah dilema kehidupan berbangsa di Indonesia. Benarlah firman Allah:
“Jika Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri, maka Kami jadikan orang-orang yang suka berbuat durhaka di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat kerusakan di negerinya. Akibat perbuatan rusak pemimpin mereka, maka turunlah adzab kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-Israa’, 17:16
Jadi, eksistensi pemimpin jahat yang tidak peduli nasib rakyatnya, koruptor, ahli selingkuh, ahli maksiat, sesungguhnya merupakan hukuman bagi bangsa yang tidak mau tunduk pada syari’at Allah Swt.
Korban Terjemah Harfiyah Al-Qur’an
Akhir-akhir ini berkembang opini, Indonesia hari ini seakan menjadi zona terbuka bagi kuliah kekerasan yang bersumber dari Kitab Suci. Dengan proyek deradikalisasi, umat Islam telah disandera dengan stigma radikal, tapi malah membebankan tanggung jawab berat ini pada tokoh agama.
Adalah satu tragedi jika rakyat yang berorientasi pada penegakan syari’at Islam di lembaga Negara dituding sebagai kelompok radikal. Sama tragisnya bila Kitab Suci Al Qur’an diposisikan sebagai pemicu radikalisme.
Munculnya gagasan deradikalisasi agama akhir-akhir ini, dan kemudian dilembagakan menjadi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), sebenarnya berangkat dari apriori ini. Namun, Ustadz menemukan fakta sebaliknya. Bukan Al-Qur’an yang memicu radikalisme, melainkan terjemah harfiyah Al-Qur’an yang paling berjasa menumbuh kembangkan bibit radikal.
Kesimpulan ini, tentu saja bukan tanpa hujjah. Telaah dan koreksi yang dilakukan Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Muhammad Thalib, dibantu asisten penerjemahnya Slamet Suripto, terhadap karya puluhan ulama, yang telah beredar jutaan eksemplar selama 45 tahun ini, dan kita yakini sebagai suatu kebenaran, memang luar biasa sulitnya. Bagai menarik helai rambut dalam tumpukan tepung. Hasilnya, adalah terbitnya Al Qur;an Tarjamah Tafsiriyah ini yang kami sebut karya monumental.
Dalam kesempatan ini, kami akan memberikan beberapa contoh koreksi yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif dan mencegah timbulnya salah tafsir tentang jihad dan terorisme.
Pertama, hubungan antar umat beragama, Qs. Al-Baqarah, 2:191
“Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir“
Qs. At-taubah (9): 5
Tarjamah Harfiyah Depag/Kemenag: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.
Kalimat ‘bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka‘, seolah-olah ayat ini membenarkan untuk membunuh musuh di luar zone perang. Hal ini, tentu sangat berbahaya bagi ketenteraman dan keselamatan kehidupan masyarakat. Karena pembunuhan terhadap musuh di luar zone perang sudah pasti menciptakan anarkhisme dan teror; suatu keadaan yang tidak dibenarkan oleh syari’at Islam.
Maka Tarjamah tafsiriyahnya: „Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka umumkanlah perang kepada kaum musyrik di mana saja kalian temui mereka di tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru. Jika kaum musyrik bertaubat, lalu melakukan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.“
Tarjamah tafsiriyah ini membuktikan bahwa tindakan radikal maupun teror yang banyak terjadi akhir-akhir ini, bukan dipicu ayat Al Qur’an, melainkan terjemah harfiyah terhadap ayat di atas; dan hal itu bertentangan dengan jiwa Al Qur’an yang tidak menghendaki tindakan anarkhis. Dan para pelakunya telah menjadi korban terjemah yang salah ini. Ketika Rasulullah Saw dan kaum Muslimin di Madinah, beliau hidup berdampingan dengan kaum Yahudi, Nashrani, Musyrik dan kaum tidak beragama, sepanjang mereka tidak mengganggu Islam. Apa yang akan terjadi sekiranya Rasulullah memerintahkan pengamalan ayat tersebut sebagaimana terjemahan Al Qur’an dan Terjemahnya itu.
Kedua, tukar menukar istri, Qs. An-Nisa’ ayat 20:
Terjemah harfiyah Depag: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain…,” Dijelaskan dalam foot note, mengganti istrimu dengan istri yang lain, maksudnya ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru.
Barangkali penerjemah kesulitan membedakan antara status istri dan perempuan dalam logika bahasa Indonesia. Bukankah istri adalah perempuan bersuami? Apakah Islam atau hukum Negara membolehkan mengawini perempuan bersuami, sehingga terjadi poliandri, satu istri dua suami? Kemudian kata mengganti berarti menukar dengan yang lain. Mustahil Islam membenarkan seorang suami menukar istrinya dengan istri orang lain.
Terjemahan harfiyah ini belum pernah direvisi sejak 45 tahun yang lalu, malah pada terbitan 2010 foot notenya dihilangkan. Dan terjemahan yang sama juga terdapat pada Al Qur’an dan Maknanya yang disusun Prof. Dr. M Quraish Shihab. Malah lebih vulgar, “Jika kamu ingin mengganti pasangan (istri) dengan pasangan yang lain..”.
Tarjamah tafsisiyah: “Wahai para suami, jika kalian ingin menceraikan istri kalian, lalu menikah dengan perempuan lain….” Terjemah ini pasti tidak menimbulkan salah paham.
Ketiga, menggauli mantan istri, Qs. Al-Ahzab ayat 51:
“…Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu….” (Qs. Al-Ahzab, 33: 51).
Kalimat ‘Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu,’ pada terjemah harfiyah di atas bisa menyesatkan. Sebagai pengamal Al-Qur’an paling sempurna, Nabi Saw. tidak pernah menceraikan istrinya, maka mustahil beliau menggauli perempuan yang telah dicerai, apalagi tanpa rujuk pula.
Terjemah harfiyah di atas bertentangan dengan fakta sejarah dan akhlak Nabi Saw yang terpuji. Pada edisi revisi berubah menjadi, “Dan siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya dari istri yang telah kamu sisihkan, maka tidak ada dosa bagimu.“
Apakah revisi ini hanya redaksional, lalu terjemah mana yang boleh digunakan, apakah dua-duanya boleh? Sebenarnya ayat ini hanya berkaitan dengan kebebasan Nabi saw. untuk menetapkan jadwal giliran bermalam pada istri-istri beliau.
Tarjamah Tafsiriyahnya: Wahai Nabi, engkau boleh menangguhkan giliran bagi istrimu mana saja yang engkau kehendaki. Engkau boleh mendahulukan giliran bagi istrimu mana saja yang engkau kehendaki. Kamu tidak berdosa meminta penukaran jadwal giliran bermalam kepada siapa saja di antara istrimu.
Keempat, perempuan telanjang, Qs. An-Nur, 24:60 :
Terjemah Harfiyah Depag: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka….”
Dalam foot note dijelaskan, menanggalkan pakaian maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat. Dalam bahasa Indonesia, kata menanggalkan pakaian berarti telanjang; sedang aurat berarti kemaluan. Apakah benar ayat ini membolehkan perempuan menopause telanjang di depan umum, hanya mengenakan BH dan celana dalam? Na’udzubillahi min dzalik
Tarjamah Tafsiriyahnya: Perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh dan tidak lagi ingin berhubungan seksual, maka mereka tidak berdosa melepaskan kerudung pelengkap pakaian mereka, selama kepala, leher dan dada tetap tertutup. Tetapi jika mereka tetap mengenakan kerudung pelengkap, hal itu lebih baik. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui niat mereka.
Ilusi Sekularisme
Sistem hukum dan perundang-undangan sekuler yang diterapkan pemerintah, untuk menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanyalah ilusi. Terjadinya pembiakan kriminalitas, disharmonisasi kehidupan, dekadensi moral serta pembusukan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, membuktikan bahwa hukum sekuler tidak mampu memberikan pengayoman, ketentraman, keadilan dan rasa aman kepada masyarakat. Kasus korupsi sudah lama coba diatasi dengan pendekatan sekularistik, secara formalitas dan legalitas, tetapi mengabaikan kenyataan dalam masyarakat bahwa kejahatan kian meluas, penyalahgunaan jabatan, mafia dan demoralisasi hukum merajalela.
Melalui perangkat normatif seperti lembaga hukum, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga Satgas hukum, pengacara dll, kaum sekuler merasa yakin dapat mengatasi problem kehidupan. Karena itu, dalam urusan publik sekularisme menolak intervensi hukum Allah, tidak peduli dengan sepak terjang dan segala hal yang dapat meruntuhkan moral dan mental manusia, sebagaimana yang menjadi larangan keras dalam hukum Allah. Seperti khamer yang dapat merusak akal, kebebasan seksualitas yang merusak moral dan rasa tanggungjawab manusia, perjudian yang mendorong manusia hidup boros dan hura-hura dan menimbulkan mental curang. Semua perbuatan dosa ini dapat menyuburkan tindak pidana korupsi yang oleh sekularisme tidak diberantas secara formal.
Kekuatan yang dapat menanamkan kontrol pribadi yang dibutuhkan manusia, mengendalikan dirinya tanpa intervensi orang lain tidak dimiliki sekularisme. Sebab sekularisme tidak percaya dengan Tuhan dan akhirat, yang dalam hukum Allah dijadikan sebagai pokok pangkal mengendalikan jiwa dan akal manusia agar tidak berbuat dosa apapun.
“Wahai Muhammad, katakanlah kepada manusia, “Yang diharamkan oleh Tuhanku adalah semua perbuatan keji yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim, melanggar hak orang lain dengan dalih yang tidak benar, dan menyekutukan Allah; sedangkan Allah tidak menurunkan pembenaran atas perbuatan-perbuatan itu. Wahai manusia, kalian mengatakan sesuatu atas nama Allah, padahal sebenarnya kalian tidak mengetahui hal itu.” (Qs. Al-A’raf, 7:33)
Syari’ah Islam tidak hanya berbicara masalah hukum dan hukuman, melainkan juga berfungsi untuk membimbing, mengayomi, menjamin keselamatan dan keamanan serta kesejahteraan manusia, baik sebagai individu, masyarakat, bangsa dan Negara. Mengapa bangsa Indonesia tidak kembali kepada Islam yang rahmatan lil Alamin, dan tidak hanya memperlat Islam untuk meneguhkan eksistensi diri dan membersihkan diri dari rasa malu pada manusia?
Jogjakarta, 28 Maret 2012
————————————————
*) Disampaikan dalam Sarasehan bertema “Meningkatnya Radikalisme Ormas akan Melunturkan Rasa Nasionalisme Bangsa” yang diselanggarakan oleh Pusat Kajian Transformasi Sosial Universitas Airlangga, Surabaya, 29 Maret 2012.