Arrahmah.Com – Dalam rentang waktu setengah abad lebih Indonesia merdeka, hegemoni nasionalisme sekuler dalam percaturan politik nasional, menjadi penyebab utama terpinggirkannya peran agama dalam pengelolaan negara. Sikap dan jargon politik yang dilansir oleh para politisi sekuler adalah bukti yang tidak terbantahkan. Berlindung di balik konstitusi negara, setiapkali menghadapi krisis bangsa, adalah senjata mereka. Termasuk pemaksaan untuk kembali ke asas tunggal Pancasila dalam rangka, “memperjelas asas parpol”, seperti dituntut PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat.
DALAM kerangka ideologi yang diletakkan kaum sekuler, agama diposisikan sebagai penyebab pokok instabilitas konstitusional, atau menganggap isu agama sebagai sektarian, primordial dan lain sebagai-nya. Ujungnya, kian hari kian melemahkan posisi agama dan kaum agamawan ketika berhadapan dengan lembaga negara. Sehingga sampailah mereka pada kesimpulan, ‘jangan membawa-bawa aga-ma dalam urusan politik’.
Fenomena ini kian memperjelas bahwa ke-semuanya merupakan skenario yang telah dipersiap-kan. Maka menjadi pemandangan yang wajar, keikutsertaan kalangan politisi dalam masalah keagamaan ditolelir, tapi ketika kalangan agamawan yang ikut-ikutan terlibat urusan politik, malah dicemooh. Dalam kerangka ini pula, menjadi tidak aneh ketika tahun 1999 ter-dengar adanya sekelompok organisasi pemuda Islam (PMII) di Surabaya, melakukan demonstrasi menuntut pembubaran MUI yang mereka nilai ikut-ikutan dalam politik praktis.
Perdebatan-perdebatan ideologis di tingkat nasional, yang seringkali melibatkan petualang-petualang politik Islam, justru mengokohkan program sekularisme. Lontaran Amien Rais pada tahun 80-an yang mengatakan, “Tidak ada Negara Islam dalam al-Qur’an”, adalah contoh konkritnya. Demi-kian juga dengan artikel berjudul ‘Negara Islam hanyalah Mimpi’ sari pidato Menag, Munawir Sadzali kala itu. Dalam kedudu-kannya sebagai menteri agama, Munawir Sadzali berkata, “Saya tidak me-lihat perbedaan antara Mistaq Madinah konstitusi pertama yang di buat nabidengan UUD 1945. Ke-simpulannya, negara kita ini sudah memenuhi syarat, umat Islam Indonesia telah menerima Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan aspirasi umat,” katanya.
Senada dengan per-nyataan di atas, adalah fatwa mantan Rais ‘Am PBNU, KH. Ahmad Shiddiq. “Hendaknya Umat Islam di Indonesia menerima Pancasila sebagai bentuk final dari perjuangan aspirasi politik umat. Jangan Negara Pancasila ini hanya dijadikan sasaran menuju sasaran yang lain”, kata sang kyai.
Buntut logis pernyataan di atas, munculnya klaim bahwa, Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, seperti yang dinyatakan Soeharto pada peringatan Maulid Nabi di Istana Negara, 24 November 1985.
Jelas bahwa di Indo-nesia, sikap penguasa terhadap fenomena agama bersifat ambivalen. Di satu segi, agama dipandang sebagai tiang pokok untuk menciptakan manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi di segi lainnya, tak satu aga-ma pun yang dianggap istimewa. Oleh karena itu, Indonesia tidak mempu-nyai agama resmi negara, sekalipun penganut Islam menempati posisi mayo-ritas di negeri ini.
Maka cukup mencengangkan ucapan Kha-tib ‘Am PBNU, Said Agil Siraj kala itu, ketika merespon adanya keinginan partai-partai Islam mem-bentuk fraksi Islam di DPR hasil pemilu 1999. Ia mengatakan, “Bahwa pembentukan fraksi Islam adalah pengkhianatan pada komitmen membangun negara kebangsaan”.
Kombinasi dari semua ini, pada gilirannya, menandai awal pencemaran ideologis yang, secara langsung, ikut mem-promosikan doktrin Zionisme atau paham Freemasonry.
Prinsip dasar gerakan Freemasonry adalah, per-tama mengambangkan keyakinan umat beragama, sehingga mereka menganggap semua agama itu sama, semua agama itu baik. Kedua, mendorong toleransi antar pemeluk agama, misalnya Natal bersama, saling mengirimi kartu ucapan selamat hari besar agama dan lain-lainnya. Bahkan persetujuan terhadap Natal bersama menjadi ukuran harmoni-sasi hubungan antar umat beragama.
Hidup rukun dan be-kerjasama antara umat beragama, wujud konkritnya, bisa dalam bentuk do’a bersama, bergantian membaca do’a di satu tem-pat, menurut keyakinan agamanya masing-masing. Perlunya sering-sering mengadakan diskusi antar tokoh agama untuk menemukan persamaan dan meminimalkan perbedaan.
Sikap ambivalen dan hipokrit yang akan tercipta dari suasana seperti ini adalah harapan yang diidam-idamkan kaum Zionis dan Freemasonry.
Dr. Ali Garishah, Ke-tua Islamic Center di Jerman Barat, tokoh Ikhwanul Muslimin yang telah masuk dalam black list CIA, membongkar sebuah dokumen rahasia, yang kemudian dicantumkan dalam bukunya: Du’atun La Bughatun, di alih bahasakan menjadi “Da’i Bukan Teroris”. Dokumen dimaksud ditulis pada masa rezim Anwar Sadat masih berkuasa, oleh Richard B. Michel, anggota intelijen Amerika (CIA)
Isi dokumen tersebut adalah usulan strategis menghadapi tokoh-tokoh Islam yang masih aktif dalam perjuangan Islam, antara lain: Pertama, mencurahkan pikiran mereka, tokoh-tokoh Islam itu, untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang non Islam, kemudian merusak usaha tersebut melalui yayasan mereka. Kedua, menghabiskan wak-tu mereka dalam pekerjaan mencetak dan menerbitkan buku-buku keislaman, kemudian berusaha menjatuhkan hasil pekerjaan mereka itu. Ketiga, me-nyebarkan kecurigaan di antara para pemimpin Islam, sehingga mereka tidak sempat melaksana-kan program mereka.
Bukan itu saja. Me-reka juga mengarahkan tipu daya makarnya kepada generasi muda kaum Muslim dengan cara: 1). Mengupayakan agar pemudapemuda Islam ter-erumus dalam upacara-upacara peribadatan, sehingga terlepas dari misi perjuangan Islam yang hakiki 2). Menumbuhkan kesangsian terhadap sunnah Muhammad Saw serta sumber-sumber ajaran Islam lainnya 3). Memecah belah organisasi dan jama’ah Islamiyah dengan menanamkan benih per-selisihan di dalam maupun di luar organisasi itu 4). Menghadapi aktivitas generasi muda Islam, khususnya kaum wanita yang berpegang teguh meng-enakan busana muslimah, melalui saluran informasi dan kultural secara timbal balik.
Itulah strategi meng-hancurkan Islam yang di-usulkan Richard B. Michel kepada kepala dinas raha-sia (CIA) di pusat intelijen Amerika. Umat Islam di nina-bobokkan dengan usaha-usaha dakwah, penerbitan dan lain-lain, kemudian berusaha merusak usaha tersebut melalui yayasan pemberi bantuan semacam Lion Club, Ford Fondation, atau melalui tangan-tangan penguasa.
Ekses Penerapan Pancasila di Masa Orla dan Orba
Di zaman orde lama (orla), atas nama Panca-sila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup. Kekuasaan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demo-krasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mereduksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung Komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) sebagai aplikasi ideologi Pancasila.
Selama 20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan subur bagi golongan-golongan anti Islam; seperti zionisme, freemasonry, salibisme, komunisme, paganisme, sekularisme serta kelompok Yes Man. Sebaliknya, bagi orang-orang kritis, taat beragama, dan bercita-cita membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia tak ubahnya seperti tong spah. Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, pasti dituduh kontra revolusi, dan akhir-nya menjadi mangsa penjara.
Kezaliman politik, keruntuhan akhlak, kebencian antar warga masya-rakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat menindas yang lemah menjadi trade merk pemerintahan orla. Akibatnya, sepanjang pemerintahan rezim orla, perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah terhadap penguasa pusat, tidak pernah sepi. Tragisnya, setiap-kali terdapat perlawanan terhadap penguasa, diang-gap sebagai pemberon-takan terhadap NKRI.
Penerapan ideologi Pancasila dari masa ke masa, dan pada setiap pe-riode pemerintahan yang berbeda-beda, selalu me-nimbulkan korban yang tidak sedikit. Pemasungan demokrasi, pemerkosaan hak asasi manusia, adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan Pancasila oleh penguasa. Di negara Pancasila, seseorang bisa di penjara bertahun-tahun lamanya tanpa proses pe-ngadilan dengan tuduhan menentang Pancasila atau merongrong wibawa peme-rintah yang sah. Dan bila penguasa menghendaki, atas nama Pancasila pula, seseorang bisa kehilangan hak-hak sipil maupun politiknya sampai batas wak-tu yang tidak bisa ditentukan.
Dalam hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah dicoretnya tujuh kata dalam Pia-gam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu ‘Kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, kemu-dian menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuh kata yang di coret secara sepihak itu, pada mulanya dinilai se-bagai perjanjian moral antara umat Islam dan Non Islam. Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin Republik terhadap janjinya, telah menyulut api perlawanan dan menyebabkan kepercayaan rakyat mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat.
Di antara bentuk pengkhianatan orla terhadap janji yang diucapkan atas nama pemerintah Panca-sila, dan hingga kini mem-bawa akibat buruk bagi bangsa Indonesia, adalah kasus pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama seluruh Aceh (PUSA) beserta para pengikutnya. Pengkhianatan pemerintah orla itu terlihat jelas dalam dialog antara Tengku Muhammad Daud Beureueh dengan Presiden Soekarno. Inilah bagian akhir dialog itu:
Soekarno: “Saya minta bantuan kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dengan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945”.
Daud Beureueh: “Saudara presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang salib atau perang fie sabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid”.
Soekarno: “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan ‘merdeka atau syahid”.
Daud Beureueh: “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden, dengan demikian boleh lah saya mohon kepada Saudara Presiden bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syari’at Islam di dalam daerahnya”.
Soekarno: “Menge-nai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rak-yat Indonesia beragama Islam”.
Daud Beureueh: “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”.
Soekarno: “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.
Daud Beureueh: “Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.
Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu, Presiden Soekarno langsung menangis terisak-isak. Air mata yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak itu Presiden Soekarno berkata: “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya”.
Langsung saja Tengku Muhammad Daud Beureueh menjawab: “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”.
Lantas Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya berkata: “Wallahi, Billahi, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syari’at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari’at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”. Di jawab oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: “Saya tidak ra-gu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden”.
Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu”.
Dari dialog di atas, dapat dimaklumi bahwa secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi daerah penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia melawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya Syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku Syari’at Islam dalam bing-kai NKRI.
Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ter-nyata ia ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini, suatu hari dengan suara masygul, Teng-ku Daud Beureueh pernah berkata: “Sudah ratusan tahun Syari’at Islam berlaku di Aceh, tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya Syari’at Islam di Aceh”. Maka sejak saat itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh.
Kader Zionis
Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, Presiden Turki keturunan Yahudi yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan poli-tik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasi-onal Turki. Dia berkata: “Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhem-bus kencang.
Sebagaimana Kemal Attaturk, dalam pidato agitasinya di Amuntai Kalimantan Selatan, 1954, Soekarno juga pernah me-nyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik Indonesia.
Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rak-yat Aceh, dan menolak ber-lakunya Syari’at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. “Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya di-pengaruhi oleh seorang Sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, ‘jangan ber-paham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kema-nusiaan sedunia’”, kata-nya. Pengakuan ini diung-kapkan di hadapan sidang BPUPKI.
Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: “Tetapi pada tahun 1918, alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Cu I atau The Theree People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut”.
Berdasarkan telaah dari berbagai karya tulis, pidato serta riwayat hidup Bung Karno, kita menjadi paham, bahwa prinsip ideologi yang dikembangkannya, merupakan kombinasi dari paham kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bung Karno, yang terkenal dengan Marhaenisme, akronim Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini sangat berpengaruh terhadap aplikasi ideologi Pancasila selama masa kekuasaannya.
Setelah berkuasa lebih dari 20 tahun, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh. Dan riwayat hidupnya berakhir dihiasi kesedihan, mati dalam keadaan sakit.
Kemudian Soeharto naik ke tampuk kekuasaan melalui Supersemar 1966. Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan dominasi PKI dihancurkan, dapat dilakukan reformasi hukum dan politik secara total, tetapi harapan itu tidak pernah terwujud, hingga ia lengser dari kekuasaan, 21 Mei 1998 lalu.
Oportunisme Golkar
Indonesia di masa orba, bukan saja otoriter, tetapi hampir seluruh lembaga pemerintahan penuh dengan perdukunan, takhayul dan mistik. Kebijakan pemerintahan-nya banyak dipengaruhi oleh rekayasa paranormal. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto malah me-ngembangkan ideologi ya-ng merupakan ramuan dari jiwa Nasionalisme dan Paganisme.
Maka jelas terlihat, prestasi paling spektakuler rezim Soeharto adalah menjadikan ideologi Pan-casila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berne-gara dan bermasyarakat. Di zaman Soehartolah ideologisasi Pancasila mulai dikembangkan melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Penga-malan Pancasila),dan menjadikannya sebagai satu-satunya asas dalam kehi-dupan berbangsa dan ber-negara. Lebih dari itu, Soe-harto telah memposisikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Sejak awal berkuasa, 1966, Soeharto dan kemu-dian GOLKAR yang men-jadi kendaraan politiknya, mengusulkan paket un-dang-undang politik, yang salah satu diktumnya me-nyatakan, bahwa parpol dan ormas harus berasaskan idiologi Pancasila dan UUD ’45. Akan tetapi usulan ini mendapat tantangan keras dari umat Islam, sehingga baru pada 1982 usulan tersebut menjadi kenyataan.
Untuk hal ini, Soeharto pernah dengan bangga mengatakan di depan Sidang Paripurna DPR, 16 Agustus 1987: “Dengan lega hati kita dapat mengatakan, di bidang ideologi dan politik, kita telah berhasil meletakkan kerangka landasan yang kita perlukan. Sejarah kelak akan membuktikan ketidak-benaran anggapan bahwa ABRI tidak akan dapat mendorong pertumbuhan demokrasi”.
Mengenai ideologi, Soeharto mengatakan: “Kalau pemuda mempelajari ideologi selain Pancasila, termasuk ideologi-ideologi keagamaan, maka mereka akan menyadari kekurangan-kekurangan ideologi tersebut; dan akan lebih percaya terhadap kebenaran Pancasila”.
Dalam upaya meles-tarikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka cukup me-narik mendengarkan per-nyataan yang disampaikan oleh seorang pejabat tinggi keamanan di hadapan pim-pinan parpol dan ormas tentang tekadnya untuk menghancurkan “Ekstri-mis Muslim”.
Dengan topik “Situasi Keamanan Menjelang Pemilu 1987”, Kasrem 072 Pamungkas, Yogyakarta, Letkol Rudy Sukarno me-ngatakan: “Khusus masa-lah subversi dirasa perlu untuk dihancurkan. Sebab bila tidak dihancurkan a-kan muncul visi-visi seba-gai pemberontakan. Maka lebih baik dicegah dulu dengan memberantas subversi ini. Pembangunan sekarang harus berhasil. Kalau gagal, justru akan memberi peluang kepada kaum subversi untuk menyebarkan pendapat, bahwa ideologi Pancasila gagal dan tidak mampu menyukseskan pembangunan. Begitupun, bila terjadi kericuhan politik, yang dapat dimanfaatkan oleh oknum subversi untuk me-nyebar opini bahwasanya politik Pancasila juga gagal mengatasi situasi politik”.
Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung, Ali Said SH. menyerukan kepada seluruh pengadilan di Indonesia: “Fenomena subversi, korupsi dan narkotika semakin meningkat. Hakim-hakim yang menangani kasus-kasus tersebut harus mampu melaksana-kan langkah-langkah preventif secara represif”.
Semua ini merupakan bukti nyata, betapa gigih-nya mereka mempertahankan sikap represif tentara, dalam menjalankan roda kekuasaan. Akibatnya, pada tahun 80-an, pengadilan yang menangani kasus subversi, berubah menjadi lembaga penghukuman.
Ketika menyaksikan ketidak-beresan pengadilan dan kezaliman rezim orba terhadap para tahanan politik, sungguh tepat ucapan Letjend. HR. Dharsono, mantan Pangdam Siliwangi yang dipenjara-kan dengan tuduhan subversi. Ketika kasusnya di-sidangkan, dan tiba saat-nya membacakan pledoi, terdakwa Dharsono tampil dengan pledoi berjudul ‘Menuntut Janji Orba’. Ia mengatakan: “Sejarah te-lah mencatat bahwa dalam pengadilan seperti ini, terdakwa tidak pernah bebas atau menang, justru se-baliknya, sebagai forum penyingkiran lawan-lawan politik”.
Pledoi Dharsono memfokuskan kritiknya ke-pada dua hal, yaitu peng-asas-tunggalan Pancasila dan dwifungsi ABRI. Mengenai Asas Tunggal, Dharsono mengatakan: “Pengasastunggalan Pancasila dan sistem pemilihan anggota DPR/MPR se-lama ini tidak sesuai de-ngan UUD ’45”.
“Pancasila tidak bisa berjalan sendiri dan tidak bisa diasas-tunggalkan”, ujarnya. “Karena muatan Pancasila terletak pada pengakuannya akan kebhinekaan”, lanjutnya.
Kemudian Dharsono mempertanyakan relevansi dari dwifungsi ABRI. “Dwifungsi ABRI harus dipahami secara kontekstual. Sebab ia bukanlah doktrin yang kaku dan mati, yang bisa diberlakukan sepanjang zaman, tanpa melihat ruang sejarah ketika rumusan-rumusan itu dicetuskan. Dengan alasan apapun, tidaklah bisa dibenarkan wujud imple-mentasi dwifungsi ABRI seperti yang ada sekarang ini”, katanya tegas.
Seakan menjawab kritik Dharsono, dalam suatu pidatonya Soeharto meng-ingatkan: “ABRI mempunyai dwifungsi, yakni sebagai kekuatan politik dan pertahanan keamanan. Sebagai fungsi sospol, Soeharto menunjuk telah ditetapkan MPR. Tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang dapat mengubah hakekat ABRI yang mempunyai dwifungsi tersebut”.
Sebuah Koran daerah menurunkan berita di ba-wah judul “Usaha untuk Mengurangi Kepercayaan Terhadap Mandataris MPR”, berisi kritik terhadap kinerja MPR. Dalam hal ini, ketua MPR ketika itu, Amir Mahmud, meng-atakan: “Isu yang mendis-kreditkan orba datang dari paham atau aliran komu-nisme, liberalisme dan theokratisme ala DI/TII. Paham yang tak cocok dengan alam Pancasila itu bertujuan menghambat rencana tinggal landas ya-ng telah menjadi strategi orba”.
Musuh-musuh Orba
Tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, ia banyak dihujat oleh rakyat, yang membuatnya amat murka. Dan yang paling membuatnya jengkel adalah sikap LSM yang dinilai menjelek-jelekkan citra Indonesia di mata luar negeri. Kemudian munculnya tulisan David Jenkin, wartawan Australia dalam The Sidney Morning Herald, berkisar tentang korupsi dan kekayaan Soeharto, yang dipandang sebagai pendiskreditan nama Ke-pala Negara oleh pers asing, berdasarkan informasi dari orang Indonesia.
Terhadap tuduhan ini Soeharto menjawab cer-dik: “Berbagai isu yang di-karang oleh orang asing maupun Indonesia untuk mendeskreditkan saya, sama sekali tidak benar. Saya dan isteri saya tidak berdagang sebagaimana yang mereka isukan. Benar, sebagai kepala negara kami mendapat sumbangan dari berbagai pihak. Dan sebagai pimpinan negara sumbangan itu diterima, kemudian dikelola oleh yayasan yang dibentuk oleh Jend. Purnawirawan Soeharto, guna membantu yatim-piatu, janda yang suaminya gugur dalam pertempuran Trikora-Dwikora, Timor Timur, serta membangun tempat ibadah”.
Bukan hanya Soehar-to yang marah ketika ber-hadapan dengan kritik yang memojokkan dirinya. Pangab Leonardus Benny Moerdani, dengan sinis menyampaikan kecamannya: “Kalau ada orang yang mengeluarkan ide untuk membatasi wewenang presiden, mengungkit-ungkit serangan fajar di Yogya-karta, hak asasi, korupsi dan lingkungan yang rusak. Saya rasa ini dilakukan oleh orang yang kurang kerjaan. Atau mungkin ingin cepat populer. Tulisan atau isu yang mendiskreditkan Presiden RI, selain tidak benar, juga dilansir secara sentral, tetapi melalui mulut orang lain yang dipakai. Siapa me-reka? Pelaku-pelakunya sudah tahulah, orang-orang yang tidak senang pada kita orba. Ya PKI, ya orang-orang yang tidak senang pada orde baru”.
Siapakah musuh orba? Mereka itu, katanya, adalah ekstrim kiri atau kanan, yakni mereka yang menentang sistem calon tunggal dalam memilih calon presiden dan asas tunggal. Mereka inilah yang tergolong musuh negara.
Maka mulailah peme-rintah membungkam suara rakyat, dan menetapkan rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, dianggap merong-rong kewibawaan pemerintah, dan dapat diper-salahkan melanggar UU No. 11 PNPS/63, mengenai undang-undang pem-berantasan subversi. Di antara hal-hal yang tidak boleh dikritik adalah, masalah Panca-sila, lembaga kepresidenan, dwi-fungsi ABRI dan kekayaan pre-siden beserta kroni-kroninya.
Dalam su-atu pertemuan dengan para perwira pembantunya, Soeharto mengungkapkan kekesalan hati-nya melihat perkembangan si-tuasi yang berani mempertanyakan posisi dirinya, kemungkinan suksesi dan sebagainya. Untuk itu ia me-merintahkan menteri Da-lam Negeri masa itu, Rudini untuk menertibkan pengeritik-pengeritik itu. Beberapa lama setelah perintah itu diterima, agaknya Rudini belum berbuat apa-apa, maka Soeharto memerintahkan Pangab. Tapi Rudini, akhhirnya memanggil beberapa pimpinan LSM.
Cara pemerintah menghadapi pengeritiknya, membuat jengkel mahasiswa. Maka dalam suatu perhelatan di kampus ITB tanggal 5 Agustus 1989, Rudini di undang untuk membuka penataran P4.
Kedatangan Rudini, rupanya tidak dikehendaki mahasiswa, menurut mereka, ITB hanya dijadikan obyek kompetisi mencari credit point bagi para menteri. Terjadilah demonstrasi. Dan tercatat di sini, menteri-menteri yang per-nah di demo mahasiswa ITB antara lain: Adam Malik, Abdul Ghafur, dilempari telur busuk dan kotoran kerbau, Cosmas Batubara, Nugroho Noto-susanto dan Fuad Hasan. Dan kali ini, Rudini yang di demo mahasiswa. Di luar gedung pertemuan bermunculan poster. Antara lain berbunyi “Ganyang antek-antek penindas, jangan racuni putera-putera terbaik Indonesia dengan P4. Rudini penipu rakyat, dibodohi gubernur Yogi S. Memet, dan Yogi dibodohi walikota Ateng”.
Reformasi Asas Tunggal
Elastisitas ideologi Pancasila, telah memun-culkan persoalan dilematis dalam tafsir dan aplikasi-nya. Orientasinya mau kemana, juga tidak jelas. Sebagai idiologi dan dasar negara, tanpa adanya kitab rujukan yang jelas dan baku, mendorong setiap penguasa di Indonesia bebas menafsirkan dasar negara ini menurut seleranya masing-masing, sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk bertindak diktator dan berbuat zalim tanpa merasa bersalah. Dan itulah yang selama ini terjadi.
Menyaksikan berba-gai dampak negatif penerapan Pancasila, dan munculnya kekacauan pemahaman terhadap Pancasila itu sendiri, mengundang beragam perta-nyaan.
Benarkan Pancasila merupakan produk dalam negeri, atau made in Indonesia, sebagaimana dipahami banyak orang selama ini? Sebagai peletak dasar Pancasila, Bung Karno mengakui banyak terpengaruh pemikiran dari luar, seperti Dr. Sun Yat Sen dan A. Baars, se-orang sosialis Belanda dalam merumuskan dasar-dasar ideologi kebangsaan-nya. Oleh karena itu, adakah kaitan historis dan ideologis antara doktrin zionisme dengan Pacasila? Ternyata masih banyak misteri dalam Pancasila yang perlu diungkapkan secara terbuka dan terus te-rang oleh para ahli di bi-dang ini.
Setelah menyaksikan secara gamblang, prilaku politik para penguasa orla dan orba dalam menerapkan idiologi Pancasila, tidak bisa tidak muncul berbagai pertanyaan, guna mengungkapkan lebih jauh.
Misalnya, Mengapa Soekarno dan Soeharto mengesampingkan Pia-gam Jakarta, yang merupakan ikatan moral bangsa Indonesia, dan diputuskan melalui sidang PPKI (Pa-nitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berbulan-bulan lamanya? Mengapa Soekarno menerima kaum mulhid, PKI dalam wadah negara Pancasila, padahal dia sendiri seorang muslim, bahkan pernah diangkat sebagai Waliyul Amri ad-Dharuri bis Syaukah, dan pada waktu yang sama membubarkan Partai Masyumi?
Pertanyaan yang tidak kalah menarik, mengapa aliran sesat tumbuh subur di zaman orba? Bagai tana-man beracun, di masa reformasi bagai menuai hasil, aliran sesat berkedok Islam, lahir dan beranak pinak. Pada saat yang sama, kaum nasionalis PDIP, Golkar, Partai Demokrat, menuntut kembali ke asas tunggal pancasila, padahal sudah di amandemen di masa reformasi? Muncurigakan bukan?
(Artikel ini kerjasama Arrahmah.Com dengan Risalah Mujahidin)
Risalah Mujahidin
Rubrik Fokus Utama edisi 15
Ar Rahmah Articels
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media